Rōmusha adalah kata dalam bahasa Jepang yang berarti "buruh". Dalam bahasa Inggris, kata ini biasanya merujuk pada orang non-Jepang yang dipaksa bekerja untuk militer Jepang selama Perang Dunia II. Perpustakaan Kongres Amerika Serikat memperkirakan bahwa di Jawa, antara 4 hingga 10 juta rōmusha dipaksa bekerja oleh militer Jepang selama pendudukan Jepang di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) pada masa Perang Dunia II,[1] dan banyak di antara mereka yang mengalami kondisi yang buruk dan meninggal atau terdampar jauh dari rumah. Namun, istilah ini tidak didefinisikan secara pasti oleh Jepang maupun Sekutu dan perkiraan jumlah total rōmusha terkadang mencakup pekerja yang tidak dibayar alias kinrōhōshi, serta pasukan pembantu pribumi, seperti pasukan tentara sukarelawan Pembela Tanah Air (PETA) yang disokong oleh Jepang, dan para transmigran sukarela ke pulau-pulau lain di Indonesia.[2]

Film propaganda Barisan Pekerdja yang diproduksi oleh Jepang selama menjajah Indonesia.

Ikhtisar

sunting
 
Monumen untuk mengenang para Rōmusha yang meninggal di Banten.

Rōmusha adalah pekerja wajib militer yang tidak dibayar, yang dimobilisasi di Sumatra dan Indonesia bagian timur serta Jawa. Sekitar sepuluh persen di antaranya adalah perempuan.[3] Masa kerja mereka berkisar dari satu hari hingga waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan proyek tertentu. Jenis pekerjaan yang dibutuhkan sangat beragam, mulai dari pekerjaan rumah tangga ringan hingga konstruksi berat. Pada umumnya, para rōmusha dimobilisasi di setiap kabupaten dan dapat berjalan kaki ke tempat kerja dari rumah. Namun, untuk proyek-proyek konstruksi yang sangat besar, para rōmusha dapat dikirim ke kabupaten lain. Ketika masa tugas mereka selesai, mereka dikembalikan ke rumah dan digantikan dengan pekerja baru.[4] Namun, banyak juga yang dikirim keluar dari Indonesia ke daerah-daerah yang dikuasai Jepang di Asia Tenggara.

Meskipun angka pastinya tidak diketahui, M. C. Ricklefs memperkirakan antara 200.000 hingga 500.000 buruh Jawa dikirim dari Jawa ke pulau-pulau di luar Jawa, bahkan sampai ke Burma dan Thailand. Dari mereka yang dibawa keluar Jawa, Ricklefs memperkirakan hanya 70.000 orang yang selamat dari perang.[5] Namun, Shigeru Satō memperkirakan sekitar 270.000 buruh Jawa dikirim ke luar Jawa, termasuk sekitar 60.000 ke Sumatra. Satō memperkirakan bahwa 135.000 orang dipulangkan ke Jawa setelah perang oleh Belanda dan Inggris (tidak termasuk mereka yang ditemukan di Sumatra). Selain yang dipulangkan, ada juga yang kembali dengan cara lain bahkan sebelum Jepang menyerah. Menurut Satō, proporsi pekerja rōmusha yang meninggal atau terdampar di luar negeri mencapai sekitar 15%.[6]

Sejarah

sunting

Praktik kerja rodi yang tidak dibayar sudah umum terjadi selama masa kolonial Hindia Belanda. Upah yang dibayarkan kepada para rōmusha tidak mampu mengimbangi inflasi, dan mereka sering dipaksa bekerja dalam kondisi yang berbahaya dengan makanan, tempat tinggal, dan perawatan medis yang tidak memadai. Perlakuan Jepang secara umum terhadap para pekerja sangat buruk. Para rōmusha dibantu oleh para pekerja yang tidak dibayar, kinrōhōshi, yang sebagian besar melakukan pekerjaan kasar. Kinrōhōshi direkrut untuk jangka waktu yang lebih singkat daripada rōmusha melalui asosiasi lingkungan yang dikenal sebagai tonarigumi, dan secara teoritis merupakan sukarelawan, meskipun paksaan sosial yang cukup besar diterapkan pada "sukarelawan" sebagai bentuk kesetiaan kepada tujuan Jepang. Pada tahun 1944, jumlah kinrōhōshi di Jawa berjumlah sekitar 200.000 orang.[7] Kebrutalan rōmusha dan sistem kerja paksa lainnya merupakan alasan utama tingginya angka kematian di kalangan masyarakat Indonesia selama pendudukan Jepang.[8] Sebuah laporan PBB kemudian menyatakan bahwa empat juta orang meninggal di Indonesia sebagai akibat dari pendudukan Jepang. Selain itu, sekitar 2,4 juta orang meninggal di Jawa akibat kelaparan selama tahun 1944-45.[9]

Dari tahun 1944, PETA juga menggunakan ribuan rōmusha untuk pembangunan fasilitas militer, dan untuk proyek-proyek ekonomi untuk membantu membuat Jawa lebih mandiri karena blokade Sekutu.[10]

Militer Jepang memanfaatkan tenaga kerja paksa tersebut secara ekstensif untuk pembangunan Jalur Kereta Api Burma-Thailand selama tahun 1942-43, dan Jalur Kereta Api Sumatra pada tahun 1943-45.[11] Tingkat kematian di antara para rōmusha akibat kekejaman, kelaparan, dan penyakit jauh lebih besar daripada tingkat kematian di antara tawanan perang Sekutu.

Dalam budaya populer

sunting
  • Rōmusha adalah nama untuk sebuah film tahun 1973 arahan Sjumandjaya tentang masa penjajahan Jepang, tetapi tidak jadi diputar karena dilarang pemerintah Indonesia.[12]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Library of Congress, 1992, "Indonesia: World War II and the Struggle For Independence, 1942-50; The Japanese Occupation, 1942-45" Access date: February 9, 2007
  2. ^ Post, The Encyclopedia of Indonesia in the Pacific War , pages 505, 578-579;
  3. ^ Post, The Encyclopedia of Indonesia in the Pacific War , pages 505, 578-579;
  4. ^ Post, The Encyclopedia of Indonesia in the Pacific War , pages 505, 578-579;
  5. ^ Ricklefs, Merle Calvin (2008). A History of Modern Indonesia Since c. 1200 (edisi ke-4th). Palgrave Macmillan. hlm. 337. ISBN 978-1-137-14918-3. 
  6. ^ Satō, Shigeru (1994). War, Nationalism, and Peasants: Java Under the Japanese Occupation, 1942-1945 (dalam bahasa English). Armonk, NY: M. E. Sharpe Incorporated. hlm. 159–160. ISBN 9781317452355. 
  7. ^ Post, The Encyclopedia of Indonesia in the Pacific War , pages 505, 578-579;
  8. ^ Cited in: Dower, John W. War Without Mercy: Race and Power in the Pacific War (1986; Pantheon; ISBN 0-394-75172-8).
  9. ^ Van der Eng, Pierre (2008) 'Food Supply in Java during War and Decolonisation, 1940–1950.' MPRA Paper No. 8852. pp. 35–38. http://mpra.ub.uni-muenchen.de/8852/
  10. ^ Post, The Encyclopedia of Indonesia in the Pacific War , pages 505, 578-579;
  11. ^ Hovinga, Henk (2010). The Sumatra Railroad: Final Destination Pakan Baroe 1943–45. Leiden: KITLV Press. ISBN 9789067183284. 
  12. ^ http://www.waseda-coe-cas.jp/paper/20030709_gotou_eng.pdf[pranala nonaktif permanen]