Pustaha Agung (bahasa Batak Toba: Pustaha Agong) adalah salah satu pustaha terbesar yang pernah dibuat. Kata 'Agung' merujuk pada pustaha tersebut sebagai koleksi pustaha terbesar di Tropenmuseum, Belanda.

Pustaha Agong yang dikoleksi oleh Herman Neubronner van der Tuuk.

Pustaha Agung adalah salah satu pustaha tertua di dunia. Panjangnya lebih dari 50 cm, tingginya 42 cm, bisa jadi yang terbesar di dunia.[1] Pustaha Agung telah dipamerkan sejak awal pendirian museum. Sebelum Tropenmuseum resmi dibuka, pengunjung dapat mengunjungi Pameran Peringatan 25 tahun masa pemerintahan Ratu Wilhelmina pada tahun 1923. Meskipun museum masih dalam pembangunan, benda-benda sudah dipajang di atas meja di galeri museum, termasuk Pustaha Agung.[2]

Sejarah

sunting

Pustaha Agung telah disimpan sejak tahun 1850-an, tetapi usia sebenarnya bisa jadi lebih tua. Isinya diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Pastor H.J.A. Promes in 1968. Pustaha Agung berisi nama-nama datu (lang-id|dukun) dan desa tempat mereka tinggal. Dengan mempelajari nama desa-desa tersebut, dapat diperkirakan bahwa ilmu sihir dalam pustaha menyebar dari barat Danau Toba ke barat daya, sampai ke desa Lobu Siregar di Siborongborong. Datu yang menulis dan memiliki Pustaha Agung bernama Guru Tumurun Hata ni adji, namora Simandjuntak tinggal di desa ini.[3]

Pustaha dibawa ke Belanda oleh linguis bernama Herman Neubronner van der Tuuk. Dia lahir di Malaka pada 1824. Pada usia 12 tahun, ia menempuh pendidikan di Belanda. Dia kemudian ditugaskan oleh Lembaga Alkitab Belanda ke Sumatra untuk untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Batak. Pada tahun 1851, ia tiba di Sumatera Utara. Pada tahun 1852, ia pindah ke kota pelabuhan Barus di pantai barat Sumatera. Dari sana ia melakukan perjalanan ke pedalaman tanah Batak tempat dia menemukan bahasa Batak dituturkan oleh penutur jati. Van der Tuuk mungkin orang Eropa pertama yang melihat Danau Toba. Van der Tuuk mengumpulkan berbagai kerajinan Batak selama tinggal antara tahun 1851 dan 1857, termasuk Pustaha Agung.[1]

Pada tahun 1857, Van der Tuuk terpaksa kembali ke Barus setelah hampir dibunuh oleh Sisingamangaraja. Setelah itu dia tidak pernah kembali ke Sumatera. Di Belanda, Van der Tuuk menyelesaikan empat jilid kamus Batak-Belanda dan menerjemahkan sejumlah kitab dalam Alkitab. Van der Tuuk kembali ke Hindia Belanda dan akhirnya menetap di Bali. Pada tahun 1894, Van der Tuuk meninggal karena disentri pada usia 70 tahun di sebuah rumah sakit militer di Surabaya.[4] Pada tahun 1862, sebelum ke Bali, van der Tuuk menyumbangkan koleksinya ke Museum Etnografi Masyarakat Zoologi Natura Artis Magistra di Amsterdam, sekarang dikenal sebagai Kebun Binatang ARTIS. Saat itu kebun binatang biasa memajang koleksi etnografis. Artefak biasanya diperoleh dari kolektor pribadi, administrator, agen perdagangan, pelancong, penjelajah, misionaris, perusahaan, dan masyarakat ilmiah. Tidak ada bidang minat tertentu, semua benua diwakili dalam sekelompok item etnografi yang tidak diklasifikasikan.[2]

Bentuk

sunting

Jika ditutup, pustaha berbentuk binatang yang berdiri di atas keempat kukunya. Bagian atas dihiasi dengan ukiran gambar binatang mirip ular berkepala singa. Di bagian bawah ada empat kaki atau kuku. Achim Sibeth, penulis The Batak, berkomentar bahwa hewan tersebut adalah representasi dari Naga Padoha, seekor ular air purba yang menguasai dunia bawah.[5] Mitos penciptaan Batak menceritakan bahwa pada zaman purba ketika dunia masih berbentuk lautan, ular mengaduk pasir dari dasar samudra untuk menciptakan pulau-pulau yang menjadi pulau-pulau di Indonesia.[1] Ahli lain berpendapat bahwa sosok tersebut mewakili singa, diserap dari bahasa Sansekerta saat kontak pertama dengan pedagang Hindu di daerah Batak selatan. Dalam budaya Batak, singa adalah makhluk mitos yang rumit yang berhubungan dengan ular betina. Contoh representasi singa dapat ditemukan pada kepala binatang dari kayu yang dikoleksi oleh Tassilo Adam, seorang pengusaha kebun berkebangsaan Jerman dan penyuka budaya Batak Toba.[1]

Halaman-halaman pustaha dilipat seperti buku musik yang digunakan dalam organ jalan mekanis. Lima pulih enam halamannya terbuat dari kulit batang gaharu. Panjang halaman kulit kayu mencapai 17 meter jika dibuka. Tinta terbuat dari campuran getah batang pohon yang direbus dan bahan lainnya. Tusuk bambu, tanduk kerbau atau lembaran daun aren digunakan untuk menulis. Pustaha Agung berisi deskripsi semua jenis mantra yang dibutuhkan oleh datu. Contoh mantra dalam pustaha adalah mantra untuk menghancurkan desa lain; mantra untuk menghilangkan lawan; untuk menimbulkan cinta; dan cerita tentang penciptaan dunia.[6]

Pustaha Agung selalu ditampilkan tanpa dibuka di museum, menekankan aspek fisiknya yang mirip binatang. Hal ini cenderung menggambarkan orang Batak sebagai orang yang tertinggal dan barbar.[7]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d "The great pustaha - Nationaal Museum van Wereldculturen - Google Arts & Culture". Google Arts & Culture (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 30 September 2020. 
  2. ^ a b Westerkamp (2009), hlm. 168.
  3. ^ Westerkamp (2009), hlm. 165.
  4. ^ Tropenmuseum (2012), hlm. 11, "Upon his return, he worked on translating the books of the Bible into Batak and on publishing his Batak-Dutch Dictionary (1861)."
  5. ^ Westerkamp (2009), hlm. 177.
  6. ^ Westerkamp (2009), hlm. 164-165.
  7. ^ Sinclair (2012), hlm. 131, "It has always been shown unopened, with emphasis on its physical aspect - a large magical creature carved on it - and surrounded by objects, thereby tending to stereotype the Batak as ferocious, primitive and heathen."

Daftar pustaka

sunting