Pura Pancering Jagat Terunyan

bangunan kuil di Indonesia

Pura Pancering Jagat Terunyan (Pura Bali Dèsa Pancering Jagat Bali) adalah salah satu pura tertua di Bali yang memiliki peninggalan megalitikum berupa patung setinggi 4 meter. Pura ini terletak di sisi timur Danau Batur, di wilayah Desa Terunyan, Kintamani, Bangli, yaitu salah satu dari tiga desa Bali Aga selain Tenganan dan Sembiran. Pintu masuk utama pura ini berada di barat karena penduduk Desa Trunyan menganggap arah mata angin kelod (selatan) adalah ke arah Danau Batur, berbeda dari wilayah Bali lain yang menentukan kelod berada di arah laut.[1] Menurut falsafah yang dianut masyarakat Bali, gunung berada di utara sementara laut atau danau berada di selatan.

Pura Pancering Jagat Terunyan
Peta
Informasi umum
JenisPura
Gaya arsitekturArsitektur Bali
LokasiIndonesia Kintamani, Bangli, Bali
AlamatTerunyan, Kintamani, Bangli, Bali
Koordinat8°15′06″S 115°25′34″E / 8.251559°S 115.426204°E / -8.251559; 115.426204

Upacara (odalan) pura ini jatuh pada Purnamaning Sasih Kapat (sekitar bulan Oktober) untuk merayakan ulang tahun Ratu Sakti Pancering Jagat. Tarian Barong Brutuk terkadang dipentaskan pada saat odalan untuk memperingati pernikahan antara Ratu Sakti Pancering Jagat dengan Ratu Ayu Dalem Pingit.[2]

Sejarah

sunting

Legenda

sunting

Pada mulanya, penduduk tinggal di belongan Cimelandung yang berada di selatan lokasi Desa Trunyan sekarang. Lokasi sekarang mulanya adalah Dalem (tempat pemakaman jenasah yang telah diaben yang berupa hutan margasatwa kijang.[3]

Pada suatu hari, seorang petani hendak berburu kijang dengan ditemani anjingnya. Anjing tersebut tiba-tiba menggonggong ribut dan saat dilihat ternyata ada sebuah patung batu sebesar jamur payung (9 cm) yang melekat kuat ke tanah. Petani tersebut menutupi patung itu dengan saab (penutup sajian upacara) kemudian menceritakannya kepada penduduk desa. Ternyata patung tersebut membesar tiap hari sehingga penduduk membangun pelinggih gedong untuk menaunginya. Namun, atap bangunan tersebut ditembus patung yang terus membesar hingga akhirnya dibangun pelinggih méru tingkat sebelas (kini hanya tujuh tingkat karena empat tingkat teratas roboh). Bangunan ini menjadi cikal bakal Pura Bali Dèsa Pancering Jagat Bali. Patung berhenti tumbuh setelah ukurannya mencapai 4 meter. Penduduk desa selanjutnya berangsur-angsur pindah ke lokasi sekitar pura sementara belongan Cimelandung berubah fungsi menjadi ladang.[1][3]

Sumber prasasti

sunting

Komplek Pelinggih Maospait menyimpan beberapa buah prasasti yang berisi sejarah Desa Trunyan. Goris berhasil menerjemahkan dua buah prasasti yang disebut dengan nama Terunyan AI dan Terunyan AII. Prasasti Terunyan AI dikeluarkan Keraton Singha Mandawa untuk memberi izin pemerintah Desa Terunyan untuk membangun kuil bagi Bhatara Datonta. Penduduk diwajibkan memelihara kuil dan diberi imbalannya dibebaskan dari beberapa macam pajak. Prasasti Terunyan B (833 Saka) merupakan kelanjutan Prasasti Terunyan A.[1][3]

Prasasti Air Rawang (833 Saka) menjelaskan bahwa penduduk yang mendiami daerah Terunyan di sebelah timur Danau Batur diwajibkan turut serta dalam upacara keagamaan Dewa tertinggi di Terunyan setiap bulan Bhadrawada. Pada upacara itu, patung Dewa tersebut harus dimandikan dan dihiasi oleh sahayan padang ( padang rumput dari Desa Air Rawang).[1]

Konstruksi

sunting

Halaman Pura Pancering Jagat memiliki struktur berundak dan terbagi menjadi empat halaman (loka). Empat loka tersebut terbagi lagi menjadi komplek-komplek pura lengkap dengan bangunan pelinggihnya. Bangunan pura sendiri berbentuk empat persegi panjang.[1]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e Tim Arkeologis (30 Desember 2013). "Studi Teknis Arkeologi Di Pura Pancering Jagat Trunyan, Desa Trunyan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali". Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-08-08. Diakses tanggal 30 Oktober 2015. 
  2. ^ anonim. "Desa Trunyan". Pemerintah Kabupaten Bangli. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-10-22. Diakses tanggal 31 Oktober 2015. 
  3. ^ a b c James Danandjaja (1989). Kebudayaan petani desa Trunyan di Bali. Penerbit Universitas Indonesia. ISBN 979-456-034-0. 

Lihat pula

sunting

Pranala luar

sunting