Pulau Sailus Kecil
Poleonro (Bugis: ᨄᨚᨒᨙ ᨕᨚᨋᨚ, translit. Polé Onro, har. 'kembali seperti semula')[1], Sailus Caddi, atau Sailus Kecil (Ejaan Van Ophuijsen: Sailoes Ketjil) adalah nama sebuah pulau kecil berpenghuni yang berada di gugusan Kepulauan Tengah, perairan Laut Flores dan secara administratif masuk pada wilayah Desa Poleonro, Kecamatan Liukang Tangaya, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan, Indonesia. Pulau Sailus Kecil memiliki wilayah seluas 1.553.486,6911900 m2.[2]
Koordinat | |
---|---|
Negara | Indonesia |
Gugus kepulauan | Tengah |
Provinsi | Sulawesi Selatan |
Kabupaten | Pangkajene dan Kepulauan |
Luas | 1.553.486,6911900 m² |
Secara astronomis, Pulau Sailus Kecil terletak pada titik 7°34'55,56" LS dan 117°26'49,20" BT. Pulau yang merupakan satu-satunya pulau berpenghuni di Desa Poleonro ini di sebelah Utara berbatasan dengan Pulau Sailus Besar, di sebelah Timur dan Selatan berbatasan dengan perairan Selat Makassar, dan di sebelah Barat dengan Pulau Karangan Dondo. Waktu yang diperlukan untuk mencapai pulau ini adalah antara 25 dan 30 jam dari Pelabuhan Paotere Kota Makassar dan antara 6 dan 8 jam dari Sumbawa/Lombok dengan menggunakan perahu motor nelayan.
Demografi
suntingLuas pulau dan perairan sekitarnya yang dihuni 990 jiwa (515 laki-laki dan 475 perempuan) atau 160 KK ini adalah 17,40 km² (PMU Coremap II Kabupaten Pangkep, 2007). Sebagian besar warga beretnis Mandar, meskipun demikian terdapat juga warga yang beretnis Bugis dan Makassar. Selain itu juga terdapat warga pendatang dari Bima, Lombok, Sumbawa dan Flores yang telah menetap dan berbaur dengan warga setempat. Bahasa yang dominan digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari adalah bahasa Mandar.
Ekosistem dan sumberdaya hayati
suntingPulau Sailus Kecil memiliki kondisi terumbu karang yang cukup bervariasi, ada yang sangat bagus, ada pula yang rusak parah. Hampir sepertiga dari tutupan habitat terumbu karang tersusun oleh hancuran karang, mati bekas pemboman. Selain itu, pemandangan pasir sebagai komponen abiotik juga cukup besar. Genus Echinopora merupakan karang yang dominan pada kedlaman lebih dari 5 meter, kemudian disusul jenis Acropora, Goniastrea, Favia, dan Montipora. Kehadiran kima (Tridacna) sebagai biota laut langka masih umum ditemukan di berbagai titik.
Avertebrata lain seperti teripang sangat jarang ditemukan. Vegetasi lamun dengan penutupan berkisar maksimum 75% ditemukan 3 jenis yakni Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii dan Halophila ovalis. Khusus jenis Thalassia hemprichii merupakan jenis yang sangat dominan. Kelimpahan ikan karang cukup tinggi terutama didominasi oleh ikan yang selalu bergerombol seperti ikan ekor kuning (Caesionidae) dan Pomacentridae dengan jumlah yang lebih dari 500 individu/500m2. Berbagai jenis ikan lain yang soliter juga ditemukan lebih banyak terutama ikan-ikan konsumsi seperti Acanthuridae, Scaridae, Siganidae, dan Lutjanidae.
Aktivitas pengelolaan sumberdaya
suntingSebagaimana warga yang berdiam di pulau, mata pencaharian warga juga tergantung pada laut. Sebagian besar mereka mencari ikan di laut dengan menggunakan berbagai macam alat tangkap. Warga menangkap ikan hiu dengan menggunakan alat tangkap berupa jaring hiu dan pancing hiu (rawai hiu). Umumnya mereka menangkap ikan hiu di daerah yang terletak di sebelah Selatan Daya dan Barat Daya Pulau Sailus Kecil. Ikan hiu hasil tangkapan kemudian dikeringkan siripnya kemudian dijual kepada pengumpul yang kemudian Biofisik Perairan menjualnya kembali di Sumbawa atau Lombok. Alat tangkap berupa jaring digunakan oleh warga untuk menangkap ikan tendro. Area penangkapan dengan menggunakan jaring ini umumnya berada di perairan di sekitar pulau dengan kecenderungan di sebelah Barat pulau. Hal ini karena di sebelah Timur relatif bergelombang lebih besar.
Alat tangkap yang digunakan tersebut, menurut warga tidak lagi memberikan hasil sebanyak tangkapan pada tahun-tahun yang lalu, karena areal penangkapan mereka kadang-kadang juga menjadi areal penggunaan alat tangkap berupa bom dan bius. Warga mengklaim bahwa pelaku pemboman dan pembiusan berasal dari daerah lain, seperti Desa Sailus Besar (Pulau Sailus Besar, Pulau Makarangana, dan Pulau Marabatuang), Desa Kapoposang Bali dan Pulau Medang NTT.
Ikan hasil tangkapan berupa ikan hidup biasanya ditampung terlebih dahulu dalam keramba penampungan sebelum dijual kepada pengumpul. Ikan hidup yang mereka dapatkan umumnya jenis ikan kerapu dan ikan sunu. Ikan tersebut dijual dengan harga yang ditentukan berdasarkan berat ikan. Hasil tangkapan seperti ikan katambak, laccukang, tendro dan lain-lain sebelum dijual kepada pedagang pengumpul terlebih dahulu dikeringkan selama beberapa hari. Pengumpul inilah yang kemudian menjual ikan kering tersebut ke Sumbawa atau Lombok.
Budidaya rumput laut yang digeluti oleh warga umumnya memanfaatkan wilayah pantai pulau dan perairan dangkal berupa taka yang terletak disekitar pulau. Taka tersebut juga adalah areal pemancingan yang dapat dicapai dalam waktu 30 menit dengan menggunakan perahu kecil (jolloro') dari Pulau Sailus Kecil. Beberapa warga pernah mengusahakan budidaya rumput laut di perairan pantai sebelah Timur pulau, namun hal tersebut tidak berlangsung lama. Warga akhirnya berhenti karena rumput laut yang mereka usahakan terserang hama dan penyakit yang menyebabkan rumput laut mati sehingga menimbulkan kerugian. Hasil panen umumnya dijemur di atas terpal plastik. Setelah kering, rumput laut tersebut dijual kepada pengumpul untuk kemudian dijual lagi ke Sumbawa atau Lombok.
Mata pencaharian yang berbasis darat berupa perkebunan juga menjadi bagian dari aktifitas warga setempat. Keberadaan pohon kelapa yang banyak terdapat di desa ini kadangkala diolah menjadi minyak kelapa oleh kaum perempuan lalu kemudian dijual.
Sarana dan prasarana
suntingSarana kesehatan yang terdapat di pulau ini berupa satu unit Pustu dan 4 buah Posyandu. Sarana umum lain adalah SD, dermaga, mesjid, mushalla, dan jalan desa. Sarana pelayanan listrik dulunya disuplai oleh sebuah mesin generator milik PLN, namun saat ini mesin generator tersebut sudah tidak berfungsi lagi karena mengalami kerusakan. Hal ini telah berlangsung ± 2 tahun lamanya, sehingga sebagian warga menggunakan generator pribadi untuk memenuhi kebutuhan listrik, sedangkan sebagian besar lainnya menggunakan lampu teplok dan petromaks untuk kebutuhan penerangan pada malam hari.
Kebutuhan air tawar bersih warga dipenuhi dari sumur-sumur kecil yang mereka gali disekitar rumah kediamannya. Sarana jalan dengan lebar 1,5 m terbuat dari bahan paving block yang mengelilingi pulau. Jalan ini dimanfaatkan oleh warga yang memiliki sepeda, sepeda motor maupun berjalan kaki. Sarana umum lain yang terdapat di desa ini adalah sebuah lapangan voli. Sarana ini menjadi salah satu alternatif hiburan warga karena sarana hiburan lain seperti televisi tidak dapat dinikmati akibat tidak berfungsinya sarana listrik umum.[3]
Referensi
sunting- ^ Said, Muhammad Ide (1977). Kamus Bahasa Bugis - Indonesia (PDF). Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. hlm. 156.
- ^ Abdul Haris Farid, Suhardjono, dan Dwi Wulan Titik Andari. Laporan Penelitian: Penguasaan dan Pemilikan atas Tanah Pulau-Pulau Kecil di Propinsi Sulawesi Selatan. Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Yogyakarta, 2013. Hlm. 1–53.
- ^ Direktorat Pendayagunaan Pulau-Pulau Kecil, Ditjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (2012). "Direktori Pulau-Pulau Kecil Indonesia". www.ppk-kp3k.kkp.go.id. Diakses tanggal 25 September 2022.