Privatisasi air di Jakarta
Privatisasi air di Jakarta dimulai ketika perusahaan air asal Britania Raya, Thames Water, membuat perjanjian konsesi air dengan putra Presiden Suharto pada tahun 1993. Melalui pengaruh perusahaan air asal Prancis, Suez, pemerintah memutuskan membagi wilayah pasokan air kepada dua perusahaan tersebut. Pemerintah memberikan konsesi untuk separuh kota kepada Thames Water tanpa tender. Kontrak ini memicu kenaikan imbalan air yang memberikan perusahaan 22 persen keuntungan. Akan tetapi, dua bulan setelah kontrak ditandatangani, nilai rupiah jatuh akibat krisis keuangan Asia Timur dan Presiden Suharto mundur. Konsesi tetap bertahan, tetapi pemerintah membekukan tarif dan kontraknya harus dinegosasikan ulang untuk mengurangi targetnya. Pada tahun 2006, Suez menjual separuh operasinya dan Thames Water menjual seluruh operasinya kepada investor Indonesia.
Target utama konsesi ini adalah meningkatkan wilayah operasi dari 46 persen dan mengurangi kebocoran dari 61 persen. Target awal konsesi adalah 75 persen wilayah operasi per 2008 dan 100 persen per akhir konsesi. Mereka juga berusaha mengurangi kebocoran air hingga 25 persen per 2008 dan 20 persen per akhir konsesi.[1] Target ini dikurangi saat negosasi ulang. Target baru untuk tahun 2008 adalah 68 persen wilayah operasi dan 42 persen kebocoran air. Pada tahun tersebut, wilayah operasi hanya mencapai 64 persen dan kebocoran air berkurang hingga 50 persen. Pada saat yang sama, tarif air naik tiga kali lipat. Kenaikan ini disebabkan oleh naiknya harga listrik dan air curah yang dialirkan oleh perusahaan swasta kepada pelanggan.
Tanggal 4 Maret 2015, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan bahwa privatisasi air Jakarta bersifat ilegal dan memerintahkan agar sistem air dikembalikan ke publik. Pengadilan menyatakan bahwa operator swasta "lalai memberikan hak atas air yang merupakan hak asasi manusia.”[2] Operator swasta kemudian menang banding di Pengadilan Tinggi Jakarta.[3] Pada Oktober 2017, Mahkamah Agung RI membatalkan banding tersebut dan mengukuhkan putusan pengadilan negeri bahwa privatisasi air Jakarta adalah tindakan ilegal.[4]
Latar belakang
suntingUntuk memahami konteks privatisasi air di Jakarta, perlu dipahami pola penggunaan air oleh penduduk, terutama penduduk miskin, mekanisme keuangan konsesi di Jakarta, berbagai jenis sumber air yang dan sumber yang dipakai kota, dan tantangan pasokan air lainnya yang secara tidak langsung berhubungan dengan privatisasi, misalnya banjir, overeksploitasi air tanah, dan penurunan muka tanah.
Air dan penduduk miskin
suntingBerdasarkan survei pemakaian air keluarga pada tahun 2005 yang dilakukan terhadap 110 keluarga miskin di berbagai daerah, keluarga miskin biasanya bergantung pada berbagai sumber air, termasuk air pipa, air jajaan, dan air tanah.[5] Air pipa dan air tanah biasanya dibeli dari keluarga lain yang memiliki sambungan pipa atau sumur atau dari hidran publik yang dioperasikan penjaja swasta.[6] Sumber air berganti-ganti seiring waktu tergantung perubahan kualitas, ketersediaan, dan tekanan. Beberapa keluarga juga mengumpulkan air hujan. Menurut survei, air jajaan 10 sampai 32 kali lebih mahal daripada air pipa dan 43 persen keluarga yang disurvei menghabiskan lebih dari 5 persen pendapatannya untuk air.[5]
Pelanggan miskin tidak terlalu peduli dengan tarif yang ditagihkan oleh perusahaan air swasta karena lebih murah daripada harga yang perlu dibayar kepada penjaja jalanan. Mereka lebih peduli dengan biaya penyambungan yang tinggi ke jaringan pipa air yang terlalu mahal bagi mereka. Meski penduduk kaya memakai pompa dan tangki untuk memperbaiki pasokan, penduduk miskin mendapat tekanan air yang lebih rendah dan pasokan terputus.[6] Penjaja jalanan terbebas dari regulasi kualitas layanan dan harga air. Untuk mendapatkan air dari sumur pribadi atau hidran, warga perlu mengantre selama dua jam dan memakan biaya 15.000 rupiah (US$1,66) per bulan dan keluarga. Air botolan juga biasanya dibeli dengan harga mencapai 85.000 rupiah (US$9,44) per bulan dan keluarga. Air dari sumur biasanya tercemar bakteri dan rasanya asin. Konten garam meningkat di daerah utara yang lebih dekat dengan pantai. Air tanah di beberapa daerah memiliki kandungan besi yang tinggi dan perlu disaring. Menurut Jakarta Environmental Management Body, 90 persen air tanah terkontaminasi logam, nitrat, dan e-coli pada tahun 2011.[7] Warga sering memasak air.[6] Air dari jaringan air publik, termasuk hidran, kadang menyala beberapa jam sehari dan kualitasnya kadang-kadang buruk.[6]
Skema keuangan dan konsesi
suntingDi bawah kontrak konsesi, sebuah perusahaan swasta mengoperasikan, mengelola, dan memperluas infrastruktur milik negara dalam jangka waktu tertentu, biasanya 20 sampai 30 tahun. Operator swasta bertugas mendanai seluruh investasi dan mendapat pendapatan tarif dari pelanggan atas nama pemerintah. Sebagai imbalan, operator swasta boleh mendapat laba, biasanya berasal dari pendapatan tarif yang selalu diteruskan ke operator swasta. Namun demikian, konsesi Jakarta didasarkan pada skema keuangan yang tidak lazim. Perjanjian ini terdiri dari tarif air yang dikumpulkan oleh operator swasta atas nama pemerintah provinsi DKI Jakarta, berbeda dengan imbalan air yang dibayarkan oleh pemerintah kepada operator swasta.[8] Rencana awalnya adalah tarif yang ditagihkan ke pelanggan lebih tinggi daripada imbalan yang dibayarkan ke operator swasta. Surplusnya memungkinkan pemerintah melunasi utang ke pemerintah pusat karena yang didanai pinjaman internasional. Pinjaman-pinjaman ini dimanfaatkan untuk membangun infrastruktur air kota pada tahun-tahun sebelumnya dengan total 1,6 triliun rupiah (USD 400 juta menurut nilai tukar sebelum krisis). Imbalan untuk operator swasta menggunakan nilai tetap dalam mata uang rupiah per m3 tanpa mempertimbangkan kategori daya beli pelanggannya. Skema ini dirancang sedemikian rupa sehingga perusahaan swasta mendapat tingkat imbal sebesar 22 persen.[9][10] Sistem penagihan ini dirancang untuk memberi insentif untuk operator swasta agar menyambungkan pipa ke penduduk miskin meski potensi keuntungannya sedikit. Kini, pemeirntah mempertanyakan sistem ini karena malah merugikan sektor publik.
Tarif air. Tarif di Jakarta dibedakan menjadi tujuh kategori pelanggan. Pelanggan di kategori teratas membayar 14 kali lebih mahal daripada kategori terendah:
- Kategori I adalah tarif preferensial tinggi untuk lembaga-lembaga sosial seperti masjid dan hidran (1% dari semua sambungan pipa tahun 2003);
- Kategori II terdiri atas tarif preferensial untuk keluarga sangat miskin serta rumah sakit umum (IIa, 12% dari semua sambungan pipa) dan keluarga miskin (IIb, 47%);
- Kategori III terdiri atas tarif reguler untuk keluarga berpendapatan menengah dan UKM (IIIa, 20%) serta keluarga berpendapatan menengah ke atas dan kantor pemerintahan (IIIb, 15%);
- Kategori IV adalah tarif tinggi yang dirancang sebagai subsidi silang untuk pengguna di kategori tarif bawah. Kategori ini terdiri atas hotel besar, gedung, bank, dan pabrik (IVa, 5%) dan pelabuhan (IVb, 1%).
Dengan porsi konsumsi air yang lebih besar, 6% konsumen terkaya menyubsidi 60% pelanggan air yang miskin dengan porsi konsumsi air yang rendah.[5] Pada tahun 2010, pelanggan di Kategori IVa membayar 9.880 Rupiah (USD 1,00) per m3, sedangkan sebagian besar konsumen miskin di Kategori II hanya membayar 1.050 Rupiah (USD 0,11) per m3.[11] Pada tahun 2006, tarif air rata-rata tahun 2006 sekitar 6.000 Rupiah (USD 0,62).[12] Sebagai perbandingan, harga air adalah 7.020 Rupiah (USD 0,73) tahun 2007.[13]
Defisit antara tarif air dan imbalan air. Ada dua masalah dengan sistem penagihan ini: Pertama, imbalan air disesuaikan dengan inflasi dan secara otomatis naik setiap enam bulan, sedangkan kenaikan tarif air harus disetujui oleh DPRD DKI Jakarta. Usai krisis Asia Timur, DPRD membekukan tarif air dan menciptakan defisit bagi Perusahaan Daerah Air Minum Jakarta Raya (PAM Jaya) pada paruh akhir 1998.[5] Kedua, semakin banyak penduduk miskin yang tersambung, semakin rendah tarif rata-rata yang diterima karena mengikuti struktur tarif yang ada. Mitra kontrak perusahaan swasta, PAM Jaya, menerima pendapatan yang lebih tinggi dari pelanggan komersial dan pelanggan kaya daripada pelanggan miskin. Semakin banyak orang miskin yang tersambung oleh operator swasta, semakin besar defisit yang dialami perusahaan induk mmilik negara. Untuk setiap pelanggan miskin baru, perusahaan harus membayar imbalan ke perusahaan swasta lebih mahal daripada tarif yang dibayarkan oleh pelanggan. PAM Jaya lantas menyarankan agar perusahaan swasta tidak menyambungkan pipa air ke penduduk miskin dengan mengusahakan "komposisi sambungan berimbang" sehingga tidak membebani anggaran provinsi DKI Jakarta.[6] Antara tahun 1998 dan 2004, hanya 25% sambungan baru TPJ yang ada di dua kategori terbawah, sedangkan 60% pelanggan tahun 2003 berada di dua kategori tersebut.[5] Akibat faktor-faktor tersebut, PAM Jaya belum membayar penuh imbalan air ke operator dan menunggak pembayaran. Tunggakan ini bisa mencapai 18,2 triliun Rupiah (USD1,9 miliar) sampai kontrak berakhir tahun 2022, apabila tarif air masih dibekukan dari tahun 2007 sampai 2022.[14]
Pendanaan. Pada tahun 1998, Palyja mendapat pinjaman sebesar USD 61 juta dari European Investment Bank dan Calyon Merchant Bank Asia asal Singapura. Untuk melunasi pinjaman bermata uang asing ini, perusahaan mencari pendanaan dalam mata uang lokal. Mereka menerbitkan obligasi senilai Rp650 miliar di bursa efek Indonesia pada tahun 2005.[13] Tahun 2007, Asian Development Bank menyetujui pinjaman sebesar Rp555 miliar untuk Palyja. ADB tidak memberi syarat pinjaman karena Palyja dapat dipercaya.[15] Pinjaman ini dikritik karena didasarkan pada "asumsi serampangan" dengan proyeksi penjualan air yang tidak realistis.[13] Pada tahun 2008, Aetra mengikuti jejak Palyja dan menerbitkan obligasi korporat di bursa efek Indonesia.[16]
Sumber air
suntingBanjir. Banjir adalah masalah besar yang menerjang Jakarta. Misalnya, banjir tahun 2007 merendam lebih dari 70 persen kota dan memaksa 450.000 orang mengungsi.[17] Akan tetapi, manajemen banjir adalah tugas pemerintah, bukan perusahaan air swasta.
Penyedotan air tanah berlebihan dan penurunan muka tanah. Ekstraksi air tanah di Jakarta sejauh ini melebihi kemampuan pengembalian air tanah sehingga air tanah semakin berkurang dan muka tanah turun. Penurunan muka tanah pertama kali diketahui ketika retakan ditemukan di jembatan Sarinah pada tahun 1978. Penurunan tanah juga disebabkan oleh bobot pencakar langit. Penurunan tanah tidak merata di semua tempat. Antara tahun 1993 dan 2005, penurunan terbesar (2,40 m) terjadi di Jakarta Pusat dari 3,42 m ke 1,02 m di atas permukaan laut. Di Jakarta Utara, tanah turun 57 cm dari 2,03m ke 1,46m. Di Jakarta Barat, Timur, dan Selatan, tanah masing-masing turun 2, 11, dan 28 cm. Akan tetapi, perusahaan swasta tidak menyedot air tanah, melainkan membeli air permukaan curah dari luar Jakarta.
Air permukaan yang dipakai perusahaan. Sebagian besar perusahaan swasta membeli air baku dengan harga murah dari Perum Jasa Tirta II, BUMN yang mengoperasikan Saluran Irigasi Tarum Barat. Saluran tersebut memasok 80 persen pasokan air baku untuk Jakarta. Airnya berasal dari Waduk Jatiluhur di Sungai Citarum, 70 km di tenggara Jakarta. Menurut laporan Asian Development Bank pada tahun 2007, pasokan air Jakarta terancam oleh perawatan dan perbaikan kanal dan pompa yang tidak memadai.[15] Sumber air saat ini tidak cukup untuk memasok kota yang kebutuhan airnya terus meningkat sehingga proyek-proyek pasokan air baru sedang direncanakan.
Aetra mendapatkan seluruh air bakunya dari Saluran Irigasi Tarum Barat, sedangkan Palyja melengkapi pasokan air baku murah dari Saluran Irigasi Tarum Barat dengan membeli air olahan curah mahal dari Tempat Pengolahan Air Cisadane milik Perusahaan Air Minum Tangerang, 30 km di barat daya Jakarta.[18] Palyja juga mengambil air dari Kali Krukut di Jakarta Selatan setelah melewati sumur penyaring dan tempat pengolahan air.[19] Selain itu, pada masa kelangkaan, air dari Sungai Ciliwung yang berpolusi berat digunakan untuk pasokan cadangan.
Sejarah
suntingAwal (1993-1997)
suntingPada tahun 1993, perusahaan air asal Britania Raya, Thames Water International, datang ke Indonesia untuk memperoleh kontrak konsesi Jakarta. Perusahaan ini membuat kesepakatan dengan Sigit Harjojudanto, salah satu putra Presiden Suharto. Meski tidak berpengalaman memasok air, perusahaan milik Sigit, PT Kekar Pola Airindo, mendapat 20 persen saham usaha patungan dengan Thames Water. Perusahaan air Prancis, Lyonnaise des Eaux, sekarang Suez Environnement, sebelumnya sempat beroperasi di Indonesia dan tidak mau ketinggalan. Perusahaan ini pernah bekerja sama dengan Salim Group milik Anthony Salim, kroni Suharto, untuk memproduksi dan mendistribusikan air industri di Serang sejak 1994. Mereka bersama-sama membentuk PT Garuda Dipta Semesta (sekarang Palyja). Karena tidak mau berhadapan dengan Presiden, Salim awalnya berhati-hati. Setelah Lyonnaise des Eaux berhasil memengaruhi pemerintah untuk membagi konsesi Jakarta ke dua perusahaan tanpa tender, Salim setuju. Tahun 1995, pemerintah mengundang Lyonnaise des Eaux dan Thames Water International untuk mulai merundingkan konsesi. Keduanya menerbitkan kajian kelayakan pada tahun 1996. Negosiasi berlangsung selama satu tahun lebih dan cukup rumit. Salah satu isu yang dibahas adalah perusahaan-perusahaan ini ingin dibayar dengan mata uang asing. Permintaan tersebut ditolak oleh Gubernur Jakarta.[20]
Pada awal 1990-an, Bank Dunia menekan pemerintah Indonesia untuk memprivatisasi pasokan air. Namun demikian, Proyek Pembangunan Kota Jabotabek Kedua, proyek air besar untuk Jakarta yang disetujui dewan Bank Dunia tahun 1990, tidak mencantumkan syarat privatisasi.[21]
Konsesi (1997)
suntingPada Juni 1997, dua konsesi air selama 25 tahun diberikan dan mulai berlaku pada Februari 1998. Anak perusahaan Lyonnaise des Eaux, PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja), mendapat konsesi untuk Jakarta bagian barat, sedangkan anak perusahaan Thames Water International, Thames PAM Jaya (TPJ), mendapat konsesi Jakarta bagian timur. Konsesi ini bertujuan memperluas wilayah operasi ke seluruh Jakarta dan mengurangi air tak berekening hingga 20 persen pada akhir periode konsesi. Untuk mencapainya, Rp1.520 miliar ditanamkan selama lima tahun pertama konsesi ini.[9] Jumlah tersebut setara dengan US$610 juta menurut nilai tukar penandatanganan sebelum krisis keuangan. Namun demikian, usai devaluasi Rupiah saat krisis keuangan Asia Timur, nilai komitmen investasi pun turun menjadi US$160 juta.[22] Saat kekacauan pasca-Suharto, sebagian besar ekspatriat pergi dari Indonesia dan Direktur Jendera PAM Jaya membatalkan kontrak konsesi. Pejabat eksekutif dan diplomat Britania dan Prancis meyakinkan pemerintah pusat untuk mempertahankan konsesi karena perusahaan-perusahaan asing sudah memutus hubungan dengan mitranya di Indonesia yang berkaitan dengan bekas rezim Suharto.[5] Setelah menyetujui kenaikan tarif sebesar 15 persen pada Februari 1998 di tengah krisis, DPRD dihujani kritik dan memutuskan pembekuan tarif selama tiga tahun selanjutnya.
Renegosiasi (2001-2004) dan pembentukan regulator
suntingAkibat krisis finansial Asia 1997, kontrak air dinegosasikan ulang melalui "Perjanjian Kerja Sama Kembali" yang ditandatangani bulan Oktober 2011. Pemerintah juga membentuk Badan Regulator Pelayanan Air Minum DKI Jakarta sebagai regulator "independen" yang bertugas mengawasi konsesi dan meninjau permintaan kenaikan tarif atas nama Gubernur Jakarta dan Kementerian Pekerjaan Umum.[23] Awalnya, PAM Jaya bertugas mengawasi kinerja kedua perusahaan swasta ini atas nama pemerintah provinsi sekaligus menjadi perusahaan induk aset. Dengan membentuk badan regulator, fungsi regulasi dipisahkan dari fungsi induk aset sehingga menghindari potensi konflik kepentingan. Pada April 2001, DPRD menyetujui kenaikan tarif sebesar 35 persen dan tidak menaikkan tarif di dua golongan konsumen termiskin.[11] Usai penandatanganan kontrak baru, dengan bantuan penasihat luar berkat dukungan Bank Pembangunan Asia, negosiasi panjang untuk "penyesuaian harga" periode 2002-2007 dimulai. Selama negosiasi, dua kenaikan dua tarif lain disetujui pada April 2003 dan Januari 2004 dan tidak menaikkan tarif golongan termiskin.[11] Untuk pertama kalinya sejak 1998, tarif air rata-rata tahun 2003 lebih tinggi daripada imbalan air, masing-masing 5.000 dan 4.000 rupiah per meter kubik.[5]
Pada Juli 2004, DPRD menyetujui penyesuaian tarif otomatis setiap enam bulan selama lima tahun agar pemerintah provinsi dapat membayar kekurangannya kepada operator swasta. Rumus penyesuaian tarifnya menetapkan bahwa kenaikan imbalan air akan dibebankan kepada konsumen sekaligus segala perubahan syarat finansial perusahaan induk aset PAM Jaya dan lembaga regulator.[24]
Pada tahun 2004, organisasi konsumen menuntut para pemegang konsesi karena pelayanan buruk berdasarkan survei yang dilakukan Koalisi Rakyat untuk Hak Air (KRuHA).[9] Pengacara perusahaan menolak klaim tersebut karena bukti-buktinya lemah dan surveinya tidak dilakukan oleh lembaga independen.[25]
Keluarnya Thames Water dan pembekuan tarif dan imbalan air (2006-2009)
suntingPada Januari 2006, Gubernur Jakarta Sutiyoso dan DPRD menunda kenaikan tarif air karena diprotes DPRD.[26] Pada tahun yang sama, Suez Environnement mengurangi porsi konsesinya menjadi 51 persen; tindakan ini sudah lama direncanakan oleh perusahaan. Sisa sahamnya dijual ke PT Astratel Nusantara (30 persen), bagian dari konglomerasi Astra International, dan Citigroup US (19 persen).[15] Tidak lama kemudian, Thames Water keluar dari pasar Indonesia dengan menjual 9 persen sahamnya di TPJ ke Acuatico, konsorsium ReCapital Advisors dan Glendale Partners.[27] Meski kedua perusahaan induk Acuatico tidak punya pengalaman operasi pelayanan air minum, Acuatico sendiri pernah memasok air untuk konsumen di Jakarta. Pemilik barunya mempertahankan manajemen TPJ, tetapi nama TPJ diganti menjadi PT Aetra Air Jakarta (Aetra).[16]
Gubernur Fauzi Bowo, dipilih sebagai pengganti Sutiyoso tahun 2007, membekukan tarif air. Katanya, perusahaan-perusahaan swasta tersebut tidak mampu mencapai targetnya sesuai kontrak.[28] Tahun 2008, target kinerja dikurangi lagi dalam rangka perubahan nilai tukar periode 2008-2012. Tahun 2009, tarif air juga dibekukan.
Renegosiasi dan keluarnya Suez (2011-2012)
suntingTahun 2011, DPRD Jakarta meminta PAM Jaya memulai perundingan dengan kedua perusahaan karena kontrak tersebut dinilai sepihak dan merugikan PAM Jaya. Perundingan berjalan buntu, dan Direktur PAM Jaya Maurits Napitupulu dipecat pada Desember 2011. Situasi Palyja diangkat dalam surat dari CEO GDF Suez, Gerald Mestrallet, untuk Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia dan dibahas dalam pertemuan antara Perdana Menteri Prancis Francois Fillon dan Presiden Indonesia pada Juli 2011. Perbincangan tingkat tinggi ini menunjukkan bahwa pemerintah provinsi DKI Jakarta selaku mitra kontrak resmi bukan satu-satunya penghubung perusahaan swasta dalam perundingan ini.[18] Sementara itu, Amrta Institute for Water Literacy, Serikat Pekerja Air Jakarta, dan berbagai LSM menuntut agar kontrak tersebut dibatalkan,[14] meski terancam membayar denda pembatalan kontrak sebesar 3,1 triliun rupiah (US$347 juta) kepada Palyja dan 2,8 triliun rupiah (US$$313 juta) kepada Aetra.[18]
Pada Oktober 2012, Suez Environment mengumumkan akan menjual 51% sahamnya di Palyja kepada Manila Water asalkan didukung DPRD.[29] Pada Juni 2013, DPRD dan PAM Jaya menyatakan menolak penjualan tersebut. DPRD justru mengumumkan akan membeli sendiri saham tersebut.[30]
Penolakan privatisasi (sejak 2013)
suntingKoalisi Masyarakat Menentang Swastanisasi Air Jakarta membuat petisi menolak pengelolaan pasokan air Jakarta oleh swasta. PEtisi tersebut ditandatangani oleh 588 orang pada 2011. Organisasi ini juga mendukugn petisi serupa oleh 12 orang di pengadilan pada tahun 2013. Tanggal 24 Maret 2015, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan bahwa privatisasi air Jakarta melanggar hak atas air seperti yang dijamin oleh Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Pengadilan juga menilai operator swasta "lalai memberikan hak atas air yang merupakan hak asasi manusia.”[2][31] Pemerintah Indonesia dan operator swasta mengajukan banding terhadap putusan tersebut. Konsesi masih bertahan hingga putusan final pengadilan.[32] Pada Februari 2016, pengadilan banding membatalkan putusan pengadilan negeri atas dasar bahwa penggugat tidak punya dasar gugatan. Penggugat mengajukan banding ke Mahkamah Agung.
Dampak privatisasi
suntingKontrak konsesi meliputi target-target spesifik untuk wilayah operasi, produksi air, penjualan air, dan air tak berekening. Kontrak ini juga menetapkan bahwa per 2008, tahun kontrak kesepuluh, standar kualitas air minum dapat dipenuhi dan pasokan air tidak berhenti dengan tekanan kolom air 7,5 meter.[10] Sebelum 2004, kedua operator swasta berhasil meningkatkan jumlah penduduk yang memilik iakses air dan mengurangi kebocoran air sesuai target kontrak yang dinegosiasikan ulang. Setelah 2004, mereka meningkatkan akses dan mengurangi kebocoran air, tetapi tidak lagi mencapai target-target tersebut. Secara keseluruhan, sejak 1998 sampai 2008, akses air meningkat dari 46 persen menjadi 64 persen (revisi target: 68 persen) dan kebocoran air berkurang dari 61 persen menjadi 50 persen (revisi target: 42 persen). Setelah target dikurangi ke angka yang lebih realistis tahun 2008, kedua operator dapat mencapai hampir semua target barunya.
Operasi
suntingAkses keseluruhan
suntingPerkiraan perubahan akses air pipa pada masa konsesi tidak pasti. Menurut badan regulator, akses sangat meningkat. Di wilayah operasi Palyja, akses hampir berlipat dari 209.000 konsumen tahun 1998 menjadi 399.000 konsumen tahun 2008, melebihi target kontrak negosiasi ulang sebanyak 392.000 konsumen. Di wilayah operasi TPJ, akses meningkat dari 278.000 menjadi 380.000 konsumen, di bawah target 403.000 konsumen.[33] Secara relatif, Palyja mengatakan bahwa di wilayah konsesinya, akses berlipat dari 34 persen pada 1998 menjadi 64 persen pada 2011.[34] Di wilayah operasi TPJ, akses meningkat dari 557 persen pada 1998 menjadi 67 persen pada 2004, lalu stagnan.[35] Akan tetapi, survei sosial-ekonomi nasional tahunan (SUSENAS) yang dilakukan Badan Pusat Statistik DKI Jakarta menunjukkan penurunan porsi rumah tangga yang memiliki akses sumber air bersih dari 59 persen tahun 1998 menjadi 39 persen tahun 2008 dan 28 persen tahun 2010.[36] Sebab penurunan massal tersebut belum jelas. Kenaikan dan penurunan besar angka BPS dari satu tahun ke tahun berikutnya membuat sebagian pihak meragukan ketepatan angka tersebut.
Akses orang miskin
suntingPerusahaan swasta telah berupaya memperbaiki pasokan air minum bersih ke daerah kumuh yang sebaran rumahnya tidak rapi karena penduduk tidak memiliki tanah tempat tinggal. Akan tetapi, upaya tersebut terhambat. Misalnya, Palyja telah memasang Master Meter sehingga penduduk setempat bisa mengakses air dengan bantuan beberapa LSM seperti Mercy Corps. Per 2012, hanya ada 3 Master Meter, satu di Rawa Bebek dan 2 di Jembatan Besi.[37] Master Meter memasok air yang lebih bersih kepada penjaja air dengan separuh harga jual ke konsumen rumahan, tetapi dampak program ini tidak besar karena ukurannya terbatas.[38] Selain itu, Palyja telah membangun 47 kios di atau dekat daerah kumuh sehingga penduduk dapat mengakses air bersih.[39] Panjang pipa air juga bertambah. Salah satunya adalah proyek pemipaan Palyja di Jakarta Barat yang menghubungkan lebih dari 5.000 keluarga miskin dan diganti oleh hibah bantuan berbasis hasil dari Global Partnership on Output-Based Aid. Sebagai bagian dari proyek, biaya pemasangan pipa diturunkan menjadi US$13 atau kurang dari sepersepuluh biaya normal. 75 persen subsidi dibayar ke Palyja setelah verifikasi independen terhadap pemasangan pipa air. 25 persen sisanya setelah verifikasi pelayanan memuaskan selama tiga bulan berturut-turut.[40] Contoh lainnya adalah TPJ menghapus biaya pemasangan pipa di Marunda dan bahkan memasang pipa dalam rumah secara gratis untuk 1.600 keluarga berkat dana hibah dari Thames Water. Program ini memungkinkan keluarga miskin membayar biaya pemasangan pipa dengan angsuran 12 bulan lewat tagihan air. Akan tetapi, upaya ini dibatasi karena tidak ada untungnya memberi akses air ke wilayah miskin sekalipun penduduknya punya sertifikat tanah. Kerugian ini muncul ketika sistem dikelola secara publik dan berada di bawah manajemen swasta: Pendapatan dari konsumen miskin cukup rendah sehingga meningkatkan defisit perusahaan yang menyediakan pasokan air; biaya memasang pipa di permukiman miskin yang padat lebih mahal daripada permukiman kelas menengah baru; dan "mafia" penajaja air dan operator hidran melakukan monopoli penjualan air kepada keluarga miskin dengan harga tinggi, bahkan sampai mengintimidasi konsumen, penjaja saingan, polisi, dan pejabat pemerintah kota .[5]
Penjualan air
suntingKontrak konsesi meliputi target meningkatkan volume air yang dijual. Penjualan air memang meningkat drastis tanpa peningkatan pasokan air curah, tetapi tidak setinggi yang dikehendaki kontrak. Di Jakarta bagian barat, volume naik dari 89 juta m3 per tahun pada 1998 menjadi 130 pada 2007 dan 153 pada 2011.[34] Di Jakarta bagian timur, volume naik dari sekitar 90 juta m3 per tahun menjadi lebih dari 140 pada 2004. Jumlah tersebut turun menjadi 120 pada 2007, jauh di bawah target sesuai kontrak.[41]
Kualitas pelayanan
suntingMenurut survei oleh badan regulator pada tahun 2007, hanya 30 persen pelanggan jaringan air publik yang menikmati pasokan air berkelanjutan. Rata-rata, pelanggan menerima 12 jam pasokan air per hari.[42] Kualitas air keran kadang-kadang kotor di beberapa wilayah. Misalnya, penduduk Cilincing, Jakarta Utara, mengeluh bahwa air keran mereka keruh selama dua bulan. Iritasi kulit dan diare diduga disebabkan oleh pasokan air yang kotor.[43] Menurut wawancara dengan penduduk Jakarta Selatan dan Barat tahun 2011 oleh Amrta Institute for Water Literacy, kualitas pelayanan menurun sejak konsesi diberikan.[44] Karena tekanan rendah, sejumlah pelanggan memompa air langsung dari pipa sehingga menyedot air tanah kotor melalui kebocoran pipa.
Kebocoran air
suntingKebocoran air terus berkurang, tetapi lebih lambat dibandingkan target kontrak konsesi. Di wilayah timur, kebocoran meningkat lagi antara tahun 2003 dan 2007. Menurut Palyja, di wilayah barat, air tak berekening menurun dari 57 persen pada tahun 1998 menjadi 47 persen tahun 2007 dan 37 persen tahun 2012.[34] Menurut data Badan Regulator Pelayanan Air Minum DKI Jakarta, air tak berekening di wilayah timur menurun dari 58 persen tahun 1998 menjadi 44 persen tahun 2003, tetapi naik lagi menjadi 52 persen. Jumlah ini jauh dari target tahun 2007 sebesar 34 persen.[45] Salah satu penyebab kebocoran air adalah pipa ilegal yang digunakan keluarga miskin untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Tarif
suntingKenaikan tarif. Pada tahun 1998 sampai 2010, tarif air naik tiga kali lipat dari 375 menjadi 1.050 rupiah (USD 0,04 ke USD 0,12) per m3 di kategori bawah dan dari 5.200 menjadi 14.650 rupiah (USD 0,58 ke USD 1,63) di kategori atas.[11][46] Tarif tersebut jauh di atas pertumbuhan pendapatan keluarga pada periode yang sama sehingga menambah beban tarif air bagi semua pelanggan, termasuk pelanggan miskin.
Keterjangkauan. Menurut penelitian Universitas Katolik Atma Jaya tahun 2008, porsi tagihan air dalam anggaran keluarga miskin (tarif Kategori II) sebesar 2,8 persen. Menurut Palyja, jumlah tersebut di wilayah operasinya tahun 2009 hanya sebesar 1,6 persen.[47]
Perbandingan dengan kota-kota lain. Dengan rata-rata USD 0,70/m3, tarif air Jakarta lebih mahal daripada kota-kota lain di Indonesia pada tahun 2005.[48] Tarifnya kurang lebih setara dengan Manila (USD 0,60/m3 dan USD 0,71/m3 masing-masing di Manila Timur dan Barat tahun 2008), lebih mahal daripada Kuala Lumpur (USD 0,45/m3 tahun 2007), tetapi lebih murah daripada Singapura (USD 1,22/m3 tahun 2012).[49]
Keteruntungan
suntingKontrak konsesi menetapkan tingkat balik modal tahunan sebesar 22 persen untuk operator swasta.[50][51] Laba bersih Palyja berkisar antara Rp58 juta (9 persen penjualan) tahun 2005 dan Rp137 juta (15 persen penjualan) tahun 2008.[52] Laporan keuangan Palyja tahun 2010 menunjukkan laba yang lebih tinggi sebesar Rp216 miliar (USD 25 juta),[14] dan laba Aetra tahun 2010 adalah Rp142 miliar (USD 16 juta).[44] Akan tetapi, laba ini didasarkan pada asumsi bahwa imbalan air yang belum terbayarkan kepada PAM Jaya akan dibayarkan sepenuhnya kepada operator. Sebenarnya imbalan-imbalan tersebut tidak dibayar dan pemutihannya akan menjatuhkan laba yang tercantum di laporan keuangan perusahaan.
Kepuasan pelanggan
suntingBadan Regulator Pelayanan Air telah melakukan survei kepuasan pelanggan untuk seluruh wilayah operasi sejak 2003. Pada tahun 2007, survei ini menunjukkan tingkat kepuasan responden sebagai berikut: 85 persen untuk kualitas air, 71 persen untuk kelancaran pasokan, 64 persen untuk tekanan, tetapi 28 persen untuk kecepatan respons keluhan.[42] Palyja telah melakukan survei kepuasan pelanggan tahunannya sendiri di wilayah oeprasinya melalui lembaga riset Taylor Nelson Sofres (TNS) Indonesia sejak 2005. Menurut survei, kepuasan pelanggan naik dari 57 persen tahun 2005 menjadi 75 persen tahun 2011.[53] Menurut survei Universitas Katolik Atma Jaya tahun 2008, lebih dari 70% pelanggan puas dengan tekanan air, kualitas air, kelancaran pasokan, meteran, dan penagihan. Akan tetapi, kurang dari separuh pelanggan yang mengajukan komplain yang puas dengan respons terhadap komplain mereka.[54]
Lihat pula
suntingPranala luar
sunting- Jakarta Water Supply Regulation Body[pranala nonaktif permanen]
- PAM JAYA, the asset holding company for water supply in Jakarta Diarsipkan 2017-10-25 di Wayback Machine.
- Aetra, the water concessionnaire for East Jakarta Diarsipkan 2017-11-08 di Wayback Machine.
- Palyja, the water concessionnaire for West Jakarta Diarsipkan 2018-11-09 di Wayback Machine.
Referensi
sunting- ^ Jakarta Water Supply Regulatory Body. "Concession Agreement: Technical Targets and Service Standards". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-08-04. Diakses tanggal 19 May 2012.
- ^ a b Elyda, Corry. "Court decision ends privatization of water in Jakarta". Jakarta Post. Diakses tanggal 24 March 2015.
- ^ Charmila, Winda A. (10 October 2017). "Coalition opposing Jakarta water privatization wins appeal". The Jakarta Post. Diakses tanggal 1 February 2018.
- ^ Varagur, Krithika (19 October 2017). "Massive Water Privatization Program to End in Jakarta After 18 Years". VOA News. Voice of America. Diakses tanggal 1 February 2018.
- ^ a b c d e f g h Karen Bakker; Michelle Kooy; Nur Endah Shofiani & Ernst-Jan Martijn (2006). "Disconnected: Poverty, Water Supply and Development in Jakarta, Indonesia". Human Development Report 2006, Occasional Paper. UNDP. Diakses tanggal 11 October 2016.
- ^ a b c d e Esther Gerlach and Alizar Anwar:Case Study 5:Jakarta, Indonesia, p. 110-121, in:R. Franceys and Esther Gerlach, Regulating water and sanitation for the poor, 2008
- ^ KRuHA People's coalition for the rights to water (7 June 2011). "Poor Water Service, Most of Jakarta People Threatened by E-Coli". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-04-26. Diakses tanggal 20 November 2011.
- ^ Nila Ardhianie and Irfan Zamzami:No Pro-poor Agenda in Jakarta Water Concession, Amrta Institute for Water Literacy and KRuHA - People's coalition for the rights to water, 21 October 2010
- ^ a b c Hamong Santono, Coordinator Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA)/Peoples Coalition for The Rights to Water, Indonesia:Current Situation of Jakarta Water Privatization Diarsipkan 2016-03-04 di Wayback Machine., ca. 2005
- ^ a b Jakarta Water Supply Regulatory Body. "Concession Agreement". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-04-15. Diakses tanggal 19 May 2012.
- ^ a b c d Jakarta Water Supply Regulatory Body. "Tabel Tarif Air Per m3 Tahun 1998 - 2010 (Water tariff table per m3 for the years 1998-2010): 2007-2010" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2012-06-16. Diakses tanggal 19 May 2012.
- ^ Jakarta Water Supply Regulatory Body:The First Ten Years of Implementation of the Jakarta Water Supply 25-Year Concession Agreement (1998-2008) Diarsipkan 2011-07-27 di Wayback Machine. (A Draft Translation), by Achmad Lanti, Firdaus Ali, Agus Kretarto, Riant Nugroho, Andi Zulfikar as Board Members of the Jakarta Water Supply Regulatory Body Period 2005-2008, 2009, p. 66-69
- ^ a b c Nila Ardhianie. "Questioning ADB's Loan to Palyja". Amrta Institute for Water Literacy. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-04. Diakses tanggal 20 May 2012.
- ^ a b c Ardhianie, Nila (20 May 2012). "Thirteen years of privatized water in Jakarta". Jakarta Post. Diakses tanggal 20 November 2011.
- ^ a b c Asian Development Bank:Report and Recommendation of the President to the Board of Directors: Proposed Loan to the Republic of Indonesia: West Jakarta Water Supply Development Project Diarsipkan 2009-03-06 di Wayback Machine., August 2007
- ^ a b Aetra. "Aetra at a glance". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-09-09. Diakses tanggal 20 November 2011.
- ^ Indonesia's Urban Studies (14 April 2007). "Jakarta's Vulnerability to Global Warming". Diakses tanggal 25 November 2011.
- ^ a b c Zamzani, Irfan (March 2012). "Jakarta Water Privatization Today: Dried Water Tap, or Change" (PDF). Amrta Institute for Water Literacy. Diakses tanggal 20 May 2012.
- ^ Palyja:River Water Treatment in Jakarta Attracs Participants of SIWW Diarsipkan 2015-09-25 di Wayback Machine., 7 July 2011, retrieved on 2 August 2012
- ^ Jakarta Water Supply Regulatory Body. The First Ten Years of Implementation of the Jakarta Water Supply 25-Year Concession Agreement (1998-2008) Diarsipkan 2011-07-27 di Wayback Machine. (A Draft Translation), by Achmad Lanti, Firdaus Ali, Agus Kretarto, Riant Nugroho, Andi Zulfikar as Board Members of the Jakarta Water Supply Regulatory Body Period 2005-2008, 2009, p. 44-55
- ^ World Bank:Staff appraisal report, Second jabotabek urban development project, 10 May 1990
- ^ Calculated based on exchange rates from www.oanda.com
- ^ Lanti, Achmad:A Regulatory Approach to the Jakarta Water Supply Concession Contracts, in: International Journal of Water Resources Development, Volume 22, Number 2, June 2006, pp. 255-276(22)
- ^ Jakarta Water Supply Regulatory Body. The First Ten Years of Implementation of the Jakarta Water Supply 25-Year Concession Agreement (1998-2008) Diarsipkan 2011-07-27 di Wayback Machine. (A Draft Translation), by Achmad Lanti, Firdaus Ali, Agus Kretarto, Riant Nugroho, Andi Zulfikar as Board Members of the Jakarta Water Supply Regulatory Body Period 2005-2008, 2009, p. 96-99
- ^ "Jakarta Post". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-11-24. Diakses tanggal 2017-11-08.
- ^ Jakarta Post:Governor bows to pressure; delays water charges increase Diarsipkan 2016-03-04 di Wayback Machine., 5 January 2006
- ^ Global Water Intelligence (October 2006). "Thames continues Asian exit plan. Buyout firms seek to reassure regulator as PAM Jaya sale goes ahead". Diakses tanggal 20 November 2011.
- ^ Andreas Lako and Nila Ardhianie:Jakarta Water Privatization: Financial Machination and the Impact to the Customer, KRuHA People's Coalition for the Right to Water, Amrta Institute for Water Literacy and Public Services International, 31 January 2010, p. 2
- ^ Global Water Intelligence:Suez to exit Jakarta water concession after 14 years, 18 October 2012
- ^ "City turns down Palyja offer to sell water shares". Jakarta Post, 25 June 2013. Diakses tanggal 8 January 2014.
- ^ "Indonesia: Jakarta Court Bans Water Privatization". Global Legal Monitor, The Library of Congress. Diakses tanggal 25 May 2015.
- ^ Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamaReferenceA
- ^ Jakarta Water Supply Regulatory Body:The First Ten Years of Implementation of the Jakarta Water Supply 25-Year Concession Agreement (1998-2008) Diarsipkan 2011-07-27 di Wayback Machine. (A Draft Translation), by Achmad Lanti, Firdaus Ali, Agus Kretarto, Riant Nugroho, Andi Zulfikar as Board Members of the Jakarta Water Supply Regulatory Body Period 2005-2008, 2009, p. 112-113
- ^ a b c Palyja. "Key Figures". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-01-18. Diakses tanggal 19 May 2012.
- ^ Jakarta Water Supply Regulatory Body:The First Ten Years of Implementation of the Jakarta Water Supply 25-Year Concession Agreement (1998-2008) Diarsipkan 2011-07-27 di Wayback Machine. (A Draft Translation), by Achmad Lanti, Firdaus Ali, Agus Kretarto, Riant Nugroho, Andi Zulfikar as Board Members of the Jakarta Water Supply Regulatory Body Period 2005-2008, 2009, p. 121-122
- ^ "Percentage of Households by Province and Source of Improved Drinking Water, 1993-2010". Badan Pusat Statistik (BPS). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-07-10. Diakses tanggal 31 May 2012.
- ^ Palyja. "Master Meter". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-07-10. Diakses tanggal 20 May 2012.
- ^ Voice of America (3 August 2010). "Jakarta Struggles to Provide Clean Water to All". Diakses tanggal 20 May 2012.
- ^ Palyja. "Water Kiosks". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-07-09. Diakses tanggal 20 May 2012.
- ^ Iain Menzies & Irma Magdalena Setiono (November 2010). "Output-Based Aid in Indonesia: Improved Access to Water Services for Poor Households in Western Jakarta" (PDF). OBApproaches. Diakses tanggal 20 May 2012.[pranala nonaktif permanen]
- ^ Iwan, Renalia (November 2008). "Ten Years of Public Private Partnership in Jakarta Drinking Water Service (1998-2007) Eastern Jakarta Drinking Water Service by Thames PAM Jaya" (PDF). Master Thesis. School of Geography, Environment and Earth Sciences Victoria University of Wellington, New Zealand. hlm. 42–44. Diakses tanggal 20 November 2011.
- ^ a b Jakarta Water Supply Regulatory Body:The First Ten Years of Implementation of the Jakarta Water Supply 25-Year Concession Agreement (1998-2008) Diarsipkan 2011-07-27 di Wayback Machine. (A Draft Translation), by Achmad Lanti, Firdaus Ali, Agus Kretarto, Riant Nugroho, Andi Zulfikar as Board Members of the Jakarta Water Supply Regulatory Body Period 2005-2008, 2009, p. 83 and 88-89
- ^ Jakarta Globe (4 April 2011). "Cilincing Residents Blame Dirty Tap Water for Spate of Health Problems". Diakses tanggal 20 May 2012.
- ^ a b Transnational Institute:. "Video: Through the Empty Tap - Water Privatisation in Jakarta, March 2011". Diakses tanggal 31 May 2012.
- ^ Jakarta Water Supply Regulatory Body:The First Ten Years of Implementation of the Jakarta Water Supply 25-Year Concession Agreement (1998-2008) Diarsipkan 2011-07-27 di Wayback Machine. (A Draft Translation), by Achmad Lanti, Firdaus Ali, Agus Kretarto, Riant Nugroho, Andi Zulfikar as Board Members of the Jakarta Water Supply Regulatory Body Period 2005-2008, 2009, p. 128-130
- ^ Nilai tukar tahun 2010 setelah devaluasi massal tahun 1997 kurang lebih sama seperti tahun 1998, yaitu 9.000 rupiah per USD
- ^ Palyja: Affordability study (Power Point Presentation)
- ^ Jakarta Water Supply Regulatory Body. The First Ten Years of Implementation of the Jakarta Water Supply 25-Year Concession Agreement (1998-2008) Diarsipkan 2011-07-27 di Wayback Machine. (A Draft Translation), by Achmad Lanti, Firdaus Ali, Agus Kretarto, Riant Nugroho, Andi Zulfikar as Board Members of the Jakarta Water Supply Regulatory Body Period 2005-2008, 2009, p. 9
- ^ Public Utilities Board:Water tariff, accessed on 6 November 2010
- ^ Nur Hidayat:Privatization of Jakarta water: How far can it go? Diarsipkan 2015-09-25 di Wayback Machine., Jakarta Post, 2 May 2007, retrieved on 19 May 2012
- ^ "Indonesia: Better water management needed to prevent crisis". Jakarta Post. 2004. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-07-20. Diakses tanggal 19 May 2012.
- ^ Andreas Lako and Nila Ardhianie:Jakarta Water Privatization: Financial Machination and the Impact to the Customer, KRuHA People's Coalition for the Right to Water, Amrta Institute for Water Literacy and Public Services International, 31 January 2010, p. 4-5
- ^ Palyja. "Customer Satisfaction Survey". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-12-25. Diakses tanggal 20 May 2012.
- ^ Atma Jaya Catholic University of Indonesia: Customer Satisfaction Survey 2008, Presentation by Palyja