Prasasti Saruaso I

salah satu prasasti peninggalan Adityawarman
(Dialihkan dari Prasasti Suruaso)

Prasasti Saruaso I merupakan salah satu dari prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman.[1] Prasasti ini juga dinamakan dengan Prasasti Batu Bapahek. Prasasti ini dinamakan Prasasti Suruaso karena pada manuskripnya tersebut kata Sri Surawasa yang merupakan asal kata dari nama nagari Suruaso di (wilayah Kabupaten Tanah Datar sekarang). Prasasti ini berangka tahun 1297 Saka atau 1375 M.[2]

Kira-kira 1 km dari Suruaso terdapat sebuah pengairan menembus bukit yang dipahat, jaraknya hanya sekitar 2 meter dari tepi Batang Selo, dan pada bahagian kiri dan kanan saluran irigasi ini terdapat prasasti, dan salah satunya adalah prasasti ini. Prasasti ini menggunakan aksara Melayu dan sebuah lagi menggunakan aksara Nagari (Tamil). Pembangunan saluran irigasi ini dapat menunjukan kepedulian Adityawarman untuk peningkatan taraf perekonomian masyarakatnya dengan tidak bergantung dengan hasil hutan dan tambang saja.

Saat ini, prasasti masih berada di lokasi penemuannya (in situ) dan telah diberi atap tradisional Minangkabau sebagai pelindung,[3] serta berada di bawah pengawasan BPCB Batusangkar.[4]

Teks prasasti

sunting

Teks prasasti menurut pembacaan Kern, sbb.:[5][2]

subhamastu //o// bhuh karṇṇe nava-darçaçane Saka gate Jeṣṭhe çaçi Manggale / sukle ṣaṣṭithir nṛpottamaguṇair [r] Ādittyavarmmanṛpaḥ / kṣettrajñaḥ racito Viçesadharaṇīnāmnā surāvāçavān hāçāno nṛpa āsanottamasadā khādyam pivan nissabhā // puṣpakoṭisahāçrāni / teṣāṁgandham pṛthak-pṛtak / Ādittyavarmmabhūpāla- / homagandho samo bhavet //

Penafsiran teks prasasti

sunting

Prasasti Saruaso I menyebutkan Adityawarman menyelesaikan pembangunan selokan untuk mengairi taman Nandana Sri Surawasa yang senantiasa kaya akan padi,[6] yang sebelumnya dibuat oleh pamannya yaitu Akarendrawarman yang menjadi raja sebelumnya.

Dr. Uli Kozok berpendapat bahwa hal tersebut memastikan bahwa adat Minangkabau, yaitu pewarisan dari mamak (paman) kepada kamanakan (keponakan), sesungguhnya telah terjadi pada masa tersebut.[7]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Kozok, Uli (2016-05-13). 14th Century Malay Code of Laws (dalam bahasa Inggris). Flipside Digital Content Company Inc. ISBN 9789814620499. 
  2. ^ a b Istiawan, Budi (2006) Selintas Prasasti dari Melayu Kuno, Cet.1, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar (Wilayah Kerja Provinsi Sumatera Barat dan Riau), hlm 26-28.
  3. ^ Anom, I. G. N.; Sugiyanti, Sri; Hasibuan, Hadniwati (1996-01-01). Hasil Pemugaran dan Temuan Benda Cagar Budaya PJP I. Direktorat Jenderal Kebudayaan. 
  4. ^ Dit.PCBM. "Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya". cagarbudaya.kemdikbud.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-09-14. Diakses tanggal 2018-09-14. 
  5. ^ Reichle, Natasha (2007). Violence and Serenity: Late Buddhist Sculpture from Indonesia (PDF). University of Hawai‘i Press. hlm. 202–204. ISBN 978-0-8248-2924-7. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2018-09-14. Diakses tanggal 2018-09-14. 
  6. ^ Casparis, J. G. de., (1992), Kerajaan Malayu dan Adityawarman, Seminar Sejarah Malayu Kuno, Jambi, 7-8 Desember 1992. Jambi: Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jambi, hlm. 235-256.
  7. ^ Kozok, Uli, (2006), Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-603-6.