Prasasti Sanghyang Tapak

prasasti Sunda Kuno

Prasasti Sanghyang Tapak, juga dikenal sebagai Prasasti Sri Jayabhupati atau Prasasti Cicatih,[1] adalah kumpulan empat prasasti kuno dengan tarikh tahun 952 saka (1030 M), yang terdiri dari 40 baris tulisan yang dituliskan di atas permukaan empat buah batu. Prasasti-prasasti tersebut ditulis dalam aksara Jawa kuno dan bahasa Jawa kuno.[2]

Prasasti Sanghyang Tapak
Prasasti nomor D96, salah satu dari empat prasasti batu Sanghyang Tapak yang disebut juga Prasasti Jayabupati atau Prasasti Cicatih
Bahan bakuBatu
Sistem penulisanAksara Jawa Kuno
Dibuat952 Saka (1030 Masehi)
DitemukanTepi Sungai Cicatih di Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat, Indonesia
Lokasi sekarangMuseum Nasional Indonesia, DKI Jakarta, Indonesia
RegistrasiD.72, D.96, D.97, D.98
BahasaBahasa Jawa Kuno

Keempat batu prasasti ini kini disimpan di Museum Nasional Republik Indonesia, Jakarta, dengan kode D 73 (Cicatih), D 96, D 97, dan D 98.[3]

Penemuan

sunting

Keempat prasasti tersebut ditemukan di tepi Sungai Cicatih, Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat. Tiga diantaranya ditemukan di dekat Kampung Bantar Muncang, sementara sebuah lainnya ditemukan di Kampung Pangcalikan.[3]

Berikut ini alihaksara tiga prasasti pertama menurut etnolog C.M. Pleyte:[3][4]

D 73: //O// Swasti shakawarsatita 952 karttikamasa tithi dwadashi shuklapa-ksa. ha. ka. ra. wara tambir. iri- ka diwasha nira prahajyan sunda ma-haraja shri jayabhupati jayamana- hen wisnumurtti samarawijaya shaka-labhuwanamandaleswaranindita harogowardhana wikra-mottunggadewa, ma-

D 96: gaway tepek i purwa sanghyang tapak ginaway denira shri jayabhupati prahajyan sunda. mwang tan hanani baryya baryya shila. irikang lwah tan pangalapa ikan sesini lwah. Makahingan sanghyang tapak wates kapujan i hulu, i sor makahingan ia sanghyang tapak wates kapujan i wungkalagong kalih matangyan pinagawayaken pra-sasti pagepageh. mangmang sapatha.

D 97: sumpah denira prahajyan sunda. lwirnya nihan.

Terjemahan D 73, D 96, dan D 97
Selamat dan sejahtera. Pada tahun Saka 952, bulan Kartika pada hari ke-12th bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, hari pertama, Wuku Tambir. Hari ini adalah hari dimana raja kerajaan Sunda, Maharaja Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa, membuat tanda tapak di bagian timur Sanghiyang Tapak. Dibuat oleh Sri Jayabhupati raja kerajaan Sunda. Tidak ada seorangpun yang boleh melanggar aturan ini. Di bagian sungai ini tidak boleh menangkap ikan, di kawasan pemujaan Sanghyang Tapak dekat hulu sungai. Jauh hingga ke batas Sanghyang Tapak yang ditandai dua pohon besar. Demikanlah tulisan ini dibuat, ditegakkan dengan sumpah kerajaan Sunda.

D 98: //O// indah ta kita kamung hyang Hara Agasti purbba, Daksina, Paccima, Uttara, Agniya neritibayabya aicanya urddhadah rawi caci patalapawanahutasanapah bhayu akaca teja sanghyang maho-ratra saddhya yaksa raksa-sa picaca preta sura, Garuda, Graha, kinaramahoraga catwara lokapala Yama Baruna Kuwera bacawa mwang putra dewata Panca kucika nandicwara mahakala du-Rggadewi ananta surindra anakta hyang kalam- R tyu gana bhuta sang prasiddha mulu manarira umasukisarwwajanma ata regnyaken iking sa- patha samaya sumpah pamangmang ni lebu ni paduka haji sunda iriki ta kamung hyang kabeh. .........paka dya umalapa ikan..... i sanghyang tapak ya patyananta ya kamung hyang denta t patiya siwak kapalanya cucup etekna belah dadanya inum rahnya rantan ususnya wekasaken pranantika............. .......i sanghyang kabeh tawat hana wwang baribari cila irikang lwah i Sanghyang tapak apan iwak pakan parnnahnya kapangguh i sanghyang..... ......maneh kaliliran Paknanya kateke dlaha ning dlaha....... .......paduka haji i sunda umade- makna kadarman....... ing samangkana wekaet Paduka haji i sunda sanggum nti ring kulit i kata kamanah ing kanang..... ...... i sanghyang tapak makatepa lwah watesnya i hulu i sanghyang tapak i...... ....... i hilir mahingan i-rikang..... umpi ing wungkal gde kalih. Iwruhhanta kamung hyang kabeh //O//

Terjemahan D 98:
Sungguh indah kamu sekalian Hiyang Siwa, Agas-Tya, Timur, Selatan, Barat, Utara, Tenggara, Barat-Daya, Barat-Laut, Timur-Laut, zenith, nadir, matahariBulan, bumi, air, angin, api, sungai, kekuatan, angkasa, cahaya, sanghyang malam, senja, yaksa, Raksasa, pisaca (sebangsa peri), sura, garuda, buaya, Kinara (manusia burung), naga, keempat pelindung dunia, Yama, Baruna, Kuwera, Besawa dan putera Dewata Panca Kusika, lembu tunggangan Siwa, Mahakala, Dewi Durga, Ananta (Dewa Ular), Surin-Dra, putera Hiyang kalamercu, gana (makhluk setengah dewa), buta (sebangsa raksasa), para arwah. Semoga ikut menjelma meraksuki semua orang. Kalian gerakkanlah supata, janji, sumpah dan seruan raja Sunda ini. Oh, ketahuilah kamu sekalian hyang.
Prasasti ini D 98 isinya adalah piagam persumpahan raja, yang terdiri atas 20 baris. Sumpah ini memanggil semua kekuatan gaib, dewata (hyang) dari langit dan bumi untuk membantu menjaga dan melindungi mandat sang raja. Siapa saja yang melanggar aturan ini akan dihukum oleh segenap makhluk halus, mati dengan cara yang mengerikan seperti otaknya disedot, darahnya diminum, ususnya dihancurkan, dan dada dibelah dua. Prasasti ini ditutup dengan kalimat, "I wruhhanta kamung hyang kabeh" yang artinya Oh ketahuilah kamu sekalian hyang).[4]

Perbandingan dengan naskah Sunda

sunting

Penanggalan prasasti Sanghyang Tapak menunjukkan tanggal 11 Oktober 1030 M. Sejarawan Saleh Danasasmita membandingkan tanggal prasasti tersebut dengan keterangan dalam naskah Pustaka Nusantara, Parwa III Sarga 1, dan ia menduga Sri Jayabhupati berkuasa selama 12 tahun (952-964 Saka; 1030-1042 M). Ia menilai bahwa penulisan pada prasasti ini mirip dengan prasasti-prasasti di Jawa Timur dari segi aksara, bahasa, serta gaya bahasanya; bahkan gelar kebesaran sang raja juga mirip dengan gelar bangsawan keraton di zaman Dharmawangsa dari Kerajaan Medang.[4]

Selain itu, Danasasmita juga membandingkan Sri Jayabhupati dengan tokoh Prabu Detya Maharaja yang disebut dalam naskah Carita Parahyangan, yaitu raja Kerajaan Sunda yang memerintah setelah Maharaja Tarusbawa.[4]

Prasasti sebagai bukti hubungan Kerajaan Sunda dengan Medang dan Airlangga

Sri Jayabupati adalah Raja Sunda yang ke-20. Ia putra Sanghiyang Ageng (1019 – 1030 M). Adapun permaisuri Sri Jayabupati adalah puteri dari Dharmawangsa, raja Kerajaan Medang, dan adik Dewi Laksmi isteri Airlangga. Karena pernikahan tersebut Jayabupati mendapat anugerah gelar dari mertuanya, Dharmawangsa. Gelar itulah yang dicantumkannya dalam prasasti Cibadak - Sukabumi. Sementara dalam naskah Carita Parahiyangan, disebutkan seorang raja bernama Prabu Detya Maharaja yang berkuasa di Tanah Sunda selama 12 tahun dan di Galuh selama 7 tahun. Dalam naskah yang sama, Prabu Detya Maharaja juga disebut sebagai Raja Sunda yang ke-20 dengan nama lain Maharaja Sri Jayabuphati.

Sang Maharaja berkuasa di Kerajaan Sunda sejak 1030 -1042 masehi, menggantikan ayahnya Prabu Sanghyang Ageung (1019-1030 m). Secara keseluruhan Jayabuphati tercatat memiliki tiga orang istri, yaitu Dewi Wulansari (puteri dari Sri Dharmawangsa Teguh/Kahuripan-Jawa Timur), Dewi Suddhiswari (puteri dari Kerajaan Sriwijaya), dan Bhatari Prethiwi atau Batari Pertiwi (puteri dari Kerajaan Galuh). Untuk kian memperkokoh persatuan dengan kerajaan-kerajaan tetangga, Sri Jayabuphati juga menikahkan adik-adiknya dengan raja-raja tetangga. Adik perempuan Jayabhupati diperisteri oleh Raja Wurawari dari Lwaram (sekarang Ngloram di sekitar Blora-Cepu Jawa Tengah). Ironisnya, Raja Wurawari adalah musuh dari Sri Dharmawangsa (mertua Jayabhupati) dan Prabu Airlangga dari Kerajaan Kahuripan.

Dari pernikahannya dengan Dewi Wulansari, Sri Jayabhupati dikaruniai empat orang anak, yaitu Prabu Darmaraja (menjadi Raja Sunda sepeninggal Sri Jayabhupati),  Panglima Suryanagara (Panglima Angkatan Perang Kerajaan Sunda), Dewi Nirmala (dinikahi seorang menteri dari Kerajaan Bali), dan Dewi Sugara (dinikahi seorang menteri dari Kerajaan Kahuripan).

Referensi

sunting
  1. ^ Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto (1992). "Kerajaan Sunda". Sejarah nasional Indonesia: Jaman kuno. PT Balai Pustaka. hlm. 376. ISBN 979-407-408-X ISBN 978-979-407-408-4. 
  2. ^ Simanjuntak, Truman; Handini, Retno; Riyanto (ed.), Sugeng. Karawang dalam Lintasan Peradaban: Seri pertama monografi workshop-penelitian 2015. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. hlm. 174. ISBN 978-602-433-426-0. 
  3. ^ a b c Suryaatmana, Emon; Darsa, Undang Ahmad; Erlyane, Ane; Wartini, Tiem (1992-01-01). Paririmbon Sunda (Jawa Barat). Direktorat Jenderal Kebudayaan. hlm. 94–96. 
  4. ^ a b c d Danasasmita, Saleh (2022-01-29). Menemukan Kerajaan Sunda. Kiblat Buku Utama. hlm. 19–21. ISBN 978-623-7295-69-3.