Poskolonialisme Roman Bumi Manusia
Roman Bumi Manusia adalah buku pertama dari Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer yang diterbitkan pertama kali oleh P.T. Hasta Mitra pada tahun 1980.[1]
Roman ini ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer di Pulau Buru, namun tidak lama setelah terbit buku ini dilarang diterbitkan dan diedarkan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia Karenna dipandang mengandung pertentangan kelas.[1]
Roman ini menceritakan tentang adanya relasi yang kompleks antara penjajah dan yang terjajah.[2] Hal-hal kompleks dalam buku ini adalah hubungan antara Barat(penjajah) dan Timur (terjajah) menunjukkan hubungan yang bersifat hierarkis, dominatif, dan menindas.[1] Relasi Barat-Timur yang menunjukan kesetaraan dan saling simpatik. Dan relasi sesama pribumi yang memperlihatkan hubungan yang salin bertentangan.[3] Peristiwa perlawanan dalam novel ini dilakukan secara mimikri, oleh figur Minke dengan resistensi radikal melalui pendidikan kolonial Belanda. Hal ini dapat dilihat dari sudut pandang landasan teori poskolonial.[1]
Analisis Poskolonial
suntingPoskolonial jika dilihat dari etimologi dan morfologi katanya, merupakan kata yang dibentuk oleh kata post (setelah) atau pasca dan kata colonial (kolonial).[1] Maka kata postcolonial dalam bahasa Indonesia disebut sebagai pascakolonial atau poskolonial yang artinya setelah kolonial.[1] Poskolonial adalah sesuatu yang digunakan dalam berbagai bidang, menggambarkan seperangkat posisi subjek yang heterogen, bidang-bidang professional, dan aktivitas-aktivitas kritis.[1] Hal-hal yang mendasar dalam teori poskolonial yaitu oposisi biner Barat-Timur, penjajah terjajah sebagai pusat perhatian dan sifat konstruksi dari dikotomi tersebut, dan metode dekontruksi untuk membongkar relasi kolonialisme dengan melakukan oposisi biner yang ada dalam teks.[1]
Relasi dalam Roman Bumi Manusia
suntingDalam roman Bumi Manusia relasi penjajah dan terjajah, antara Eropa-Pribumi terbilang lumayan kompleks.[1] Hal ini dapat dilihat dari relasi yang terbangun antartokoh pada cerita, relasi yang dimkasud adalah relasi yang bersifat hierarkis, dominatif, dan menindas yang digambarkan oleh relasi antara Robert Suurhof dan Minke, Tuan Herman Mellema dan Minke, Robert Mellema dan nyai Ontosoroh, Robert dan Annelies.[4]Relasi sesama pribumi yang saling bertentangan yang digambarkan oleh Sastrotomo dan Sanikem, Bupati B, dan Minke.[4] Serta relasi yang bersifat setara yang digambarkan oleh Magda Peters dan Minke.[4]
Relasi hierarkis, dominatif, dan menindas
sunting- Robert Surrhof-Mike
Robert Surrof merupakan seorang indo yang mengaku dirinya Eropa (Belanda),memiliki karakteristik penjajah, kolonialisme Belanda yang secara terbuka menghina dan melecehkan Minke sebagai seorang pribumi yang buaya darat, mata keranjang, dan belum mempunyai peradaban yang tinggi.[1] Tergambar jelas relasi sosok indo yang negatif, karena menghina kemanusiaan orang yang terjajah.[4]
- Tuan Herman Mellema-(Sanikem) Nyai Ontosoroh
Tuan Herman Mellena merupakan seorang penjajah yang mempunyai mempunyai watak jahat terhadap orang yang terjajah.[1] Sanikem yang ketika itu berumur 14 tahun dipaksa untuk melayani nafsu birahi Tuan Herman Mellena.[4] Sanikem yang merupakan gadis cantik atau bunga desa yang lugu dan lemah, dijual ayahnya kepada Tuan Herman Mellema seharga 25 golden.[2][3]
- Tuan Herman Mellema-Minke
Digambarkan Tuan Herman Mellena dan Minke berada pada golongan sosial yang paling tertinggi.[1] Tuan Herman Mellena yang merasa dirinya superior menganggap Minke juga lebih rendah dari dirinya, walaupun berada pada golongan sosial yang sama.[4] Tergambar dengan jelas kesombongan dan arogansi penjajah yang seharusnya tidak dilakukan oleh orang yang sudah mempunyai peradaban tinggi.[2][3]
- Robert Mellena-Nyai Ontosoroh
Robert Mellena merupakan anak pertama dari Nyai Ontosoroh hasil buah cinta dengan Tuan Herman Mellema, akan tetapi tidak tercermin sama sekali bahwa keduanya seorang anak-ibu.[1][4] Hal tersebut terjadi karena Robert Mellena juga menganggap dirinya sebagai Eropa totok, yang hanya ingin memanfaatkan kekayaan alam yang dipunyai Nyai Ontosoroh di dalamnya.[2][3]
- Robert Mellena-Annelies
Robert Mellena dan Annelies merupakan kakak beradik, yang keduanya memiliki sifat berbeda.[1] Jika Robert Mellena yang seorang Indo mengaku bahwa dirinya sebagai orang Eropa asli, sedangkan Annelies meninggalkan keindoannya lalu memilih mengakui dirinya sebagai pribumi.[1] Annelies yang cantik jelita dan memiliki daya tarik, ternyata membuat Robert Mellena tertarik untuk memperkosanya.[4] Hal tersebut yang kembali menggambarkan relasi penjajah dan terjajah.[1]
Relasi Sesama Pribumi yang Saling Bertentangan
sunting- Sastrotomo-Sanikem
Sastrotomo merupakan seorang Priyayi Jawa yang mempunyai kedudukan sebagai juru tulis.[1] Akan tetapi Sastrotomo mempunyai sifat yang rakus, dia menginginkan kedudukan sebagai juru bayar.[4] Berbagai usaha dilakukan untuk memperoleh jabatan tersebut. Hal yang paling bertentangan dan terlihat jelas adalah ketika Sastromo menyuap Tuan Herman Mellena dengan menjual Sanikem seharga 25 golden.[4] Kejadian tersebut menggambarkan bahwa kolonialisme juga terjadi di kalangan pribumi.[3]
- Bupati B-Minke
Bupati B dan Minke merupakan ayah dan anak, akan tetapi terjadi ketimpangan hubungan atau relasi yang jelas.[1] Bupati B yang mempunyai tanggung jawab menjalankan birokrasi colonial Belanda yang kolonialis dan feodalis.[1] Sedangkan Minke merupakan individu yang independen, maju, modern, dan humanis.[1] Pertentangan terjadi ketika Bupati B memaksa Minke untuk pulang kampung, dan memaksa Minke untuk merangkak dan bersembah sujud walaupun dia adalah anaknya sendiri.[4] Tergambar meskipun Bupati B merupakan pribumi, tetapi melakukan kolonialisme terhadap Minke.[3]
Relasi Setara, Persaudaraan, dan Simpati
sunting- Magda Peters-Minke
Magda Peters dan Minke merupakan gambaran relasi yang saling bersimpati dan baik.[1] Magda Peters merupakan seorang guru, sedangkan Minke merupakan muridnya.[1] Dalam proses pembelajaran digambarkan Minke yang mendapat banyak pengetahuan dari Magda[4]. Proses pergaulan dan relasi yang baik antara tokoh etisi dan warga pribumi.[2]
Catatan Kaki
sunting- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v Rusdian Noor Dermawan (2010). Poskolonialisme Dalam Roman Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer. Yogyakarta: Beranda Publishing. hlm. 13. Kesalahan pengutipan: Tanda
<ref>
tidak sah; nama "”rujukan1”" didefinisikan berulang dengan isi berbeda - ^ a b c d e Asmara Ardhy (2010). Analisis Ringan Kemelut Roman Karya Pulau Buru Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer. Yogyakarta: Nurcahaya.
- ^ a b c d e f Eka Kurniawan (2010). Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. Yogyakarta: Yayasan Aksara Indonesia.
- ^ a b c d e f g h i j k l Pramoedya Ananta Toer (2006). Roman Bumi Manusia. Jakarta: Lentera Dipantara. Kesalahan pengutipan: Tanda
<ref>
tidak sah; nama "”rujukan4”" didefinisikan berulang dengan isi berbeda