Poros Jakarta-Pyongyang-Peking

Poros Jakarta-Pyongyang-Peking adalah salah satu bentuk pelaksanaan politik luar negeri Soekarno masa Demokrasi Terpimpin. Diresmikan pada Januari 1965, poros tersebut merupakan rumusan politik luar negeri Indonesia ala Soekarno yang cenderung anti-Barat dan condong kepada negara-negara komunis, meskipun mengusung politik luar negeri bebas aktif.

Hal tersebut dapat dilihat dari konfrontasi Indonesia atas Malaysia. Bagi Soekarno, pembentukan negara federasi Malaysia adalah bentuk imperialisme Barat di Asia. Oleh karena itu, saat Malaysia diberi kedudukan sebagai anggota tidak tetap dalam Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia menyatakan keluar dari PBB.

Hal itu tentu semakin meningkatkan pengucilan diplomatik Indonesia dari negara Asia-Afrika lainnya. Oleh karena itu, melalui Soebandrio, Indonesia mencoba untuk mengukuhkan hubungan Jakarta-Peking. Saat itu, Perdana Menteri Zhou Enlai menawarkan bantuan persenjataan milisi rakyat yang disebut sebagai Angkatan Kelima.[1] Dalam hal ini, Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dipimpin oleh Aidit mendesak pembentukan Angkatan Kelima, yang anggotanya direkrut dari kaum pekerja dan buruh perkotaan, buruh tani, serta petani miskin desa yang dipersenjatai.[2] Poros Jakarta-Peking ala Soekarno, yang didukung oleh PKI, juga menandai perubahan pendekatan nonkapitalis dan koeksistensi damai Moskow ke arah anti-imperialisme dan kemandirian sesuai gagasan Peking.[3]

Konflik Indonesia dan Malaysia telah menarik reaksi dari Inggris dan Australia yang mendukung Malaysia. Setelah pada 9 Agustus 1965, Lee Kuan Yew menyatakan Singapura berpisah dengan Malaysia, Soekarno semakin meneguhkan keyakinan kuatnya akan konfrontasi. Untuk memperkuat posisi Indonesia bersama dengan negara-negara anti-imperialisme lainnya, pada pidato dalam rangka peringatan 17 Agustus 1965, ia mengumumkan pembentukan poros Jakarta-Pyongyang-Peking.[4] Poros ini dimaksudkan untuk mematahkan Old Etablished Forces (OLDEFOS) dan menggalang New Emerging Forces (NEFOS).[5]

Inti dari gagasan Soekarno adalah bahwasanya dunia terbatas atas dua kekuatan. Kekuatan yang pertama adalah kekuatan imperialisme dan kolonialisme yang disebut dengan OLDEFOS, sedangkan kekuatan yang kedua adalah kekuatan anti-imperialisme dan kolonialisme yang disebut dengan NEFOS. Jika OLDEFOS direpresentasikan oleh negara-negara kapitalis barat, maka NEFOS digambarkan dengan negara-negara sosialis di Asia, Afrika, dan Amerika Latin.[6] Oleh karena itu, politik bebas aktif Indonesia bukan sebuah gagasan politik netralisme dalam hubungannya dengan non-alignment. Bagi Indonesia, politik non-alignment bukan politik netralisme. Pada hakikatnya, non-alignment adalah perwujudan dari aktif itu sendiri, sehingga diplomasi Indonesia pada saat itu diarahkan untuk menempatkan Indonesia bukan sebagai objek, tetapi sebagai subjek dalam politik internasional.[7]

Setelah kelahiran Orde Baru pada 1966, kebijakan politik luar negeri Indonesia mengalami perubahan. Akibat peristiwa Gerakan 30 September (G30S) pada 1965, hubungan Indonesia dan Cina mengalami ketegangan. Bahkan, kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Peking, ditutup untuk waktu yang tidak ditentukan. Sementara itu, konfrontasi dengan Malaysia dan Singapura dianggap sudah tidak sesuai lagi. Saat itu, arah politik yang semula konfrontatif berubah, dan poros Jakarta-Pyongyang-Peking pun berakhir.[8]

Referensi

sunting
  1. ^ Ricklefs, M.C. (2010). Sejarah Modern Indonesia 1200-2008. terjemahan Tim Penerjemah Serambi. Jakarta: Serambi. hlm. 576–578. ISBN 978-602-290-065-8. 
  2. ^ Mortimer, Rex (2011). Indonesian Communism Under Sukarno: Ideologi dan Politik 1959-1965. terjemahan Yudi Santoso. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 139. ISBN 979-3780-29-0. 
  3. ^ Trönquist, Olle (2011). Penghancuran PKI. terjemahan Harsutejo. Jakarta: Komunitas Bambu. hlm. 67. 
  4. ^ Ricklefs, M.C. (2010). Sejarah Modern Indonesia 1200-2008. terjemahan Tim Penerjemah Serambi. Jakarta: Serambi. hlm. 580. ISBN 978-602-290-065-8. 
  5. ^ Wibowo; Hadi, Syamsul (2009). Merangkul Cina: Hubungan Indonesia-Cina Pasca-Soeharto. Jakarta: Kepustakaan Gramedia Utama. hlm. 30. ISBN 978-979-22-4493-9. 
  6. ^ Budiman, Agus (2014). Jurnal Ilmiah Cakrawala: Hasil Penelitian dan Pemikiran. Vol. 5. Ciamis: LPPM Universitas Galuh. hlm. 154–155. 
  7. ^ Poesponegoro, Marwati Djoened; Notosusanto, Nugroho (1993). Sejarah Nasional Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Balai Pustaka. hlm. 345. 
  8. ^ Poesponegoro, Marwati Djoened; Notosusanto, Nugroho (1993). Sejarah Nasional Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Balai Pustaka. hlm. 476.