Politik blok birokrasi

Politik blok birokrasi atau (bahasa Inggris: building blocks) dalam administrasi publik adalah menyangkut umumnya dilakukan oleh para politisi hasil dari sebuah pemilu dan para birokrat dalam kriteria normatif kebijakan untuk mengalokasikan tugas pembuat kebijakan oleh politisi non birokrat dalam pendelegasian dan menunjukkan bidang kerja birokrasi yang bersinambung bahwa keduanya umumnya dapat berbeda secara umum disebut jabatan karier dan non karier dalam bentuk dan tatanan yang mengandung struktur dan kultur, struktur yang mengetengahkan sebuah susunan dari suatu tatanan dan kultur yang mengandung nilai (values), sistem kebiasaan yang dilakukan oleh para pelakunya yang dapat mencerminkan perilaku dari sumberdaya manusianya. Hubungan antara pejabat politik (political leadership) dan birokrasi yang akan menjadikan suatu hubungan yang konstan (bersinambung) antara fungsi kontrol dan dominasi dalam hubungan seperti ini maka akan senantiasa timbul persoalan, siapa mengontrol siapa dan siapa pula yang menguasi, memimpin dan mendominasi siapa, persoalan ini sebenarnya merupakan persoalan klasik sebagai perwujudan dikotomi politik dan administrasi kemudian timbul dua pertanyaan yakni apakah birokrasi sebagai subordinasi dari politik (executive ascendancy) atau birokrasi sejajar dengan politik (bureaucratic sublation).[1]

Administrasi dan politik

sunting

"The question is always who controls the existing bureaucratic machinery. And such control is possible only in a very limited degree to persons who are not technical specialists. Generally speaking, the trained permanent official is (more) likely to get his way in the long run than his nominal superior, the Cabinet minister, who is not specialist"

— Max Weber (1947)

Executive ascendancy diturunkan dari suatu anggapan bahwa kepemimpinan para pejabat politik itu diperoleh berdasarkan kepercayaan, dalam teori supremasi mandat dapat diperoleh oleh kepemimpinan politik itu berasal dari Tuhan atau berasal dari masyarakat,public interest, supremasi mandat ini diligitimatisasi dapat melalui pemilihan atau penerimaan secara de facto oleh masyarakat, dalam model sistem demokrasi, kontrol berjalan dari otoritas tertinggi masyarakat melalui perwakilannya (political leadership) diberikan pada birokrasi sebagai kekuasaan untuk melakukan kontrol seperti ini yang diperoleh dari masyarakat disebut sebagai “overhead democracy”, kepemimpinan pejabat politik atas birokrasi itu timbul dari perbedaan fungsi antara politik dan administrasi, dan adanya asumsi tentang superioritas fungsi-fungsi politik atas administrasi. slogan klasik pernah juga ditawarkan bahwa manakala fungsi politik berakhir maka fungsi administrasi itu mulai (when politic end, administraion begin), slogan ini mengartikan bahwa birokrasi pemerintahan sebagai mesin pelaksana kebijakan politik yang dibuat oleh pejabat politik.

Bureaucratic sublation didasarkan dari anggapan bahwa birokrasi pemerintah sesuatu negara itu bukanlah hanya berfungsi sebagai mesin pelaksana, menurut Max Weber bahwa birokrasi yang real (sebagai lawan dari “tipe ideal”) itu mempunyai kekuasaan yang terpisah dari kekuasaan yang dilimpahkan oleh pejabat politik, pejabat birokrasi yang terlatih secara profesional mempunyai kekuatan tersendiri sebagai suatu pejabat yang permanen yang mempunyai catatan karier yang panjang jika dibandingkan dengan pimpinannya pejabat politik yang bukan spesialis, bila memperhatikan hal-hal seperti ini, birokrasi dapat disebut mempunyai kekuatan yang seimbang dengan pejabat politik, karena dalam kedudukannya tidak sekadar sebagai subordinasi dan mesin pelaksana, melainkan sebanding (co-equality with the executive). dengan demikian birokrasi bertindak sebagai kekuatan yang a politic but highly politized dalam artian bahwa birokrasi bukan merupakan bagian dari partisan politik akan tetapi karena keahliannya dapat mempunyai kekuatan untuk membuat kebijakan yang profesional.

Indonesia

sunting

Kedudukan birokrasi dalam kepentingan partai politik dimulai dari hasil pemilu 1955 dimana terdapat empat partai besar yang muncul sebagai pemenang pemilu kemudian setelah peristiwa prri berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 200 Tahun 1960 partai Masyumi dibubarkan dan menyisakan tiga partai besar lainnya sebagai partai politik yang besar yang merupakan elemen dari politik nasakom pada waktu itu, masing-masing berusaha mengusai sumber daya bagi partainya masing-masing, dari semangat dan keinginan seperti ini membuat birokrasi dan netralitas birokrasi terhadap kekuatan partai politik mulai menjadi sulit bisa terhindarkan berlanjut dengan pemerintahan selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 82 Tahun 1971 tanggal 29 Nopember 1971 didirikan Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) sebagai organisasi merupakan wadah tunggal bagi seluruh pegawai pemerintahan Indonesia yang selanjutkan dalam pemilu tahun 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997 terlibat langsung dan menyalurkan aspirasi politiknya melalui Golkar (karena waktu itu Golkar menyatakan dirinya bukan sebagai partai politik melainkan sebagai perwakilan dari golongan fungsional) sebagai jalur B berarti dari lingkungan birokrasi, dalam hasil sistem pemilu multi partai tahun 1999 terdapat pengangkatan seorang sekretaris jenderal yang berasal dari satu partai dengan menteri kehutanan [2] dan di beberapa kantor kementerian antara lain Diknas, BUMN dan lain sebagainya diangkat beberapa eselon satu yang juga berasal dari satu partai politik dengan menterinya[3] selanjutnya pada pemerintahan lanjutan hasil pemilu selanjutnya para ketua partai melalui jabatan menteri mulai berusaha untuk mengikuti cara-cara sebelum tahun 1998 dijalankan kembali dengan mengaburkan antara jabatan karier dan non karier dengan mengeser jabatan-jabatan karier birokrasi berpindah ke tangan orang-orang partai politik non karier dan birokrasi.[4]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ (Inggris) Woodrow Wilson (1955). The study of public administration Annals of American government. Public Affairs Press. 
  2. ^ http://www.tempo.co.id/harian/profil/prof-suripto.html Diarsipkan 2010-03-07 di Wayback Machine. Suripto "Akan Menggugat Presiden Wahid"
  3. ^ http://antikorupsi.org/indo/content/view/4125/6/ Diarsipkan 2009-08-16 di Wayback Machine. Heboh Penggantian Massal Eselon Satu
  4. ^ http://www.detiknews.com/read/2009/10/26/170157/1228884/10/hatta-wakil-menteri-pejabat-karier-belum-tentu-pns Hatta: Wakil Menteri Pejabat Karier, Belum Tentu PNS

Pustaka

sunting
  • (Inggris) Bennedsen, M. and C. Schultz (2007), Arm's Length Outsourcing of Public Services, mimeo, University of Copenhagen.
  • (Inggris) Besley, T. (2006), Principled Agents? The Political Economy of Good Government, Oxford University Press.
  • (Inggris) Maskin, Eric, and Jean Tirole (2004), The Politician and the Judge: Accountability in Government, American Economic Review
  • (Inggris) Prendergast, C. (2003), Limits of Bureaucratic Efficiency, Journal of Political Economy
  • (Inggris) Prendergast, C. (2007), The Motivation and Bias of Bureaucrats, American Economic Review