Petrus Son Son-ji
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada Februari 2023. |
Katekis Petrus Son Seon-ji (1819-1866) adalah salah satu dari martir heroik Korea yang lahir pada tahun 1819. Dia menghadapi penganiayaan pada usia 47 tahun. Pada masa itu, dia menikah dan dikaruniai dua orang anak. Walaupun Petrus bukan Katolik sejak lahir (Ayahnya masih seorang katekumen ketika Petrus lahir), dia dibaptis ketika masih bayi dan diajarkan oleh ayahnya tentang doktrin dan hidup bakti.
Sejak dia berumur 16 tahun, dia terkenal di antara tetangganya karena kebajikannya. Tak lama kemudian dia menjadi seorang dewasa, Pastor Chastan menjadikannya sebagai seorang katekis. Petrus melaksanakan tugasnya sebagai seorang katekis dengan sangat setia sampai kemartirannya.
Di Taeseongdong di Cheongju, di mana Petrus tinggal, rumahnya digunakan sebagai sebuah stasi misi di mana dia dibaptis dan mengajar banyak orang. Banyak orang datang ke rumahnya untuk berdoa.
Pada musim gugur tahun 1866, pada masa musim panen, Petrus terkejut karena mendengar sekelompok pengumpul kayu bakar melewati rumahnya dan berkata bahwa tak lama lagi akan ada penganiayaan yang sangat parah. Pada hari Minggu tanggal 3 Desember 1866, ketika doa-doa hari Minggu selesai, dia mendengar seseorang memanggil namanya dari luar rumahnya. Setelah itu, dia membantu istri dan anak-anaknya melarikan diri melalui pintu belakang, kemudian Petrus ditangkap oleh polisi.
Sementara itu, ibu Petrus yang bukan seorang Katolik, pergi menghadap gubernur dan memohon kepada gubernur supaya menyelamatkan nyawa Petrus. Para pembantu gubernur bersikeras bahwa Petrus pertama kali harus menyangkal Allah, namun Petrus tidak mau melakukannya.
Pada hari berikutnya, Petrus dan sekelompok tahanan lainnya yang berjumlah tujuh orang pergi ke penjara Cheongju. Siksaan kejam tidak membuat dia menyangkal agamanya. Jaksa tahu bahwa Petrus itu seorang katekis, dan oleh karena itu dia disiksa dengan lebih kejam. Tangannya patah, sehingga dia tidak bisa makan ataupun minum tanpa bantuan orang lain. Dia menghadapi semua siksaan dan penderitaan dengan tenang.
Ketika saatnya pergi untuk mati sebagai martir, Petrus memberikan pakaiannya kepada salah seorang tahanan. Tepat sebelum dia dieksekusi, dia mengucapkan doa, dan terdengar membisikan nama Yesus dan Maria. Dia dipenggal di Supjeong-i di Cheonju pada tanggal 13 Desember 1866, pada usia 47 tahun.[1]
Referensi
sunting