Petrus Cho Hwa-so (1814-1866) adalah seorang martir Katolik Korea. Ia lahir di Suwon pada tahun 1814, putra dari Andreas Cho yang menjadi martir pada tahun 1839. Kemudian dia pindah ke Sinchang di Provinsi Ch’ung-ch’ŏng dan bekerja sebagai asisten Pastor Thomas Choe Yang-eop. Pada tahun 1864, dia pindah ke Jeonju untuk bertani. Dia menikah dengan Magdalena Han dan mereka dikaruniai seorang putra bernama Yosef Cho. Setelah istri pertamanya meninggal, dia menikah lagi dengan Susana Kim. Dia berusia 40 tahun ketika penganiayaan dimulai.

Petrus seorang pria yang berhati lembut. Dia berusaha sebaik mungkin untuk hidup sebagai seorang Katolik, dia memenuhi tanggung jawabnya dengan setia. Dia terkenal karena dia seorang yang suka mendengarkan dan memahami orang lain. Petrus tinggal di wilayah pegunungan yang sangat terpencil sehingga sulit sekali mendengar berita dari luar. Pada tanggal 5 Desember 1866, ketika Petrus mengunjungi masyarakat sekitar bersama dengan putranya yaitu Yosef, sekelompok polisi menyerbu dan menangkap Petrus. Dia mengatakan kepada yang menangkap mereka bahwa dia adalah seorang Katolik dan mempelajari katekismus dari ayahnya. Dia berkata bahwa dia tidak tahu tentang umat Katolik lain kecuali putranya sendiri.

Ketika Yosef putranya itu pulang, Petrus mendesaknya supaya dia melarikan diri. Yosef tidak melarikan diri namun menyerahkan diri kepada para polisi. Mereka berdua dibawa ke Chonju dan bergabung bersama umat Katolik lainnya di penjara. Dalam perjalanannya ke Chonju, Petrus dan putranya saling menguatkan supaya mereka tetap teguh dalam iman mereka. Bahkan orang-orang non-Katolik yang mendengarkan kisah mereka merasa kagum akan kekuatan iman mereka.

Petrus menguatkan teman-teman satu sel di penjara untuk menerima kemartiran dan bersiap-siap untuk mati. Oleh karena sikapnya ini, dia disiksa lebih kejam daripada yang lain. Kenyataan itu diketahui bahwa Petrus menguatkan Bartolomeus Cho supaya tidak menyerahkan imannya dengan berkata demikian, “Kita akan mendapatkan balasan yang berlimpah-limpah di Surga.” Dia juga mengingatkan putranya bahwa mereka akan berjumpa kembali di Surga. Dia terus menerus disiksa karena telah menyangkal bahwa dia mengetahui ada umat Katolik lainnya dan mempunyai buku-buku Barat.

Ketika dia mencapai tempat eksekusi, dia membuat tanda salib dengan perlahan dan penuh ketaatan, dia mengatakan kepada para algojo bahwa dia percaya kepada Allah. Kemudian dia dipenggal di Supjeong di Jeonju pada tanggal 13 Desember 1866 pada usia 52 tahun.[1]

Referensi

sunting