Peripeteia /ˌpɛrəpɪˈt.ə/ (bentuk Latin alternatif: Peripetīa, dari bahasa Yunani: περιπέτεια) adalah pembalikan keadaan, atau titik balik. Istilah ini terutama digunakan untuk merujuk pada karya sastra.[1]

sunting

Aristoteles, dalam karyanya yang berjudul Poetics, menggambarkan peripeteia sebagai "perubahan yang mengakibatkan suatu tindakan berbalik arah, yang selalu patuh pada aturan kemungkinan atau kebutuhan kita." Aristoteles percaya bahwa peripeteia, bersama dengan penemuan, memiliki dampak yang paling kuat dalam drama, terutama dalam genre tragedi. Dia menyatakan bahwa penemuan yang paling efektif adalah yang terjadi seiring dengan peripeteia, mirip dengan apa yang terjadi dalam kisah Oedipus.[2]

Aristoteles menyatakan bahwa peripeteia adalah elemen plot yang paling berpengaruh dalam sebuah tragedi. Peripeteia adalah perubahan dramatis dari satu keadaan ke keadaan yang berlawanan dalam cerita. Perubahan tersebut selalu sesuai dengan keteraturan atau kebutuhan yang ada dalam alur cerita. Seringkali, elemen seperti peripeteia dapat menciptakan rasa takut, empati, atau bahkan tawa dalam penonton.

Elemen tersebut cara terbaik untuk menarik dan mempertahankan perhatian melalui berbagai bentuk dan genre drama. Aristoteles, dalam karyanya yang dikenal dengan Poetics, menjelaskan bahwa tragedi berfungsi sebagai ukuran serta representasi kesejahteraan protagonisnya. Tetapi sepanjang isi Poetics, Aristoteles sangat menekankan bahwa tragedi terdiri dari peristiwa-peristiwa yang membangkitkan perasaan takut atau kasihan (1452a 1). Bahkan, pada suatu titik, Aristoteles mengidentifikasi peniruan tindakan yang memicu perasaan kasihan dan ketakutan sebagai ciri khas dari imitasi tragis (1452b 30).

Perasaan kasihan dan ketakutan timbul melalui pembalikan situasi dan pengenalan karakter. Di sinilah elemen paling emosional yang paling kuat dalam drama tragedi peripeteia atau pembalikan situasi, serta adegan pengenalan, semuanya merupakan bagian integral dari alur cerita terjadi (1450a 32). Peristiwa akan mengakibatkan perubahan nasib protagonis tragis dari keadaan baik ke buruk, yang menjadi kunci dalam mengembangkan cerita tragis. Seringkali, perubahan ini memiliki unsur-unsur ironi. Penggunaan peripeteia efektif perubahan nasib tokoh disertai dengan pembalikan situasi, pengenalan karakter, atau keduanya (Smithson).

Peripeteia mencakup perubahan karakter dan juga perubahan eksternal. Seorang tokoh yang menjadi kaya dan terkenal karena kemiskinan dan ketidakjelasan tsebelumnya.

Apabila seorang karakter/tokoh dalam sebuah cerita memperoleh pengetahuan baru yang sebelumnya tidak diketahuinya, ini umumnya dibedakan dari konsep peripeteia, dan disebut sebagai anagnorisis atau penemuan. Perbedaan ini pertama kali dikemukakan oleh Aristoteles dalam karyanya.

Aristoteles menganggap anagnorisis sebagai memicu peripeteia. Hal ini merupakan ciri khas dari tragedi yang luar biasa. Dalam dua drama tertentu, yaitu "Oedipus Rex," di mana Oedipus mengetahui bahwa dia telah membunuh ayahnya dan menikahi ibunya berdasarkan ramalan, hingga mengakibatkan kematian ibunya, kebutaan diri, dan pengasingan. Lalu ada pula dalam drama "Iphigenia di Tauris," di mana Iphigenia menyadari bahwa orang asing yang harus dia korbankan adalah saudara laki-laki dan temannya, ini menyebabkan mereka bertiga melarikan diri dari Tauris.

Aristoteles menganggap plot-plot ini sebagai contoh yang rumit dan bagus, yang memiliki kualitas lebih unggul daripada plot sederhana yang tidak melibatkan anagnorisis atau peripeteia. Contohnya seperti ketika Medea memutuskan untuk membunuh anak-anaknya dengan sadar mengetahui bahwa mereka adalah anak-anaknya, dan dia melakukan tindakan tersebut. Aristoteles mengidentifikasi "Oedipus Rex" sebagai salah satu karya utama yang mengilustrasikan perubahan dalam drama tragedi (Lihat Poetics oleh Aristoteles).

Contoh Penerapan Peripeteia

sunting

Oedipus Rex

sunting

Dalam drama "Oedipus Rex" karya Sophocles, terdapat perubahan penting yang terjadi menjelang akhir cerita saat Utusan Tuhan memberi tahu Oedipus tentang identitas orang tuanya. Dalam cerita ini, Oedipus sejak lahir ditakdirkan untuk membunuh ayahnya dan menikahi ibunya, Laius dan Jocasta. Orang tua kandungnya mencoba menghindari ramalan tersebut dengan menyuruh membunuh Oedipus saat bayi, tetapi dia justru dibesarkan oleh Polybus dan istrinya, Merope, yang merupakan penguasa kerajaan lain. Yang menarik, Utusan Tuhan seharusnya memberi Oedipus kabar yang menghibur dan meyakinkannya bahwa dia adalah putra Polybus. Namun, ironinya, Utusan Tuhan mengungkapkan, "Polybus tidak ada artinya bagimu, itu sebabnya Oedipus, darah tidak berguna" (Sophocles 1113).

Utusan Tuhan pertama kali mengambil Oedipus dari seorang pelayan yang bekerja untuk Laius, kemudian memberikannya kepada Polybus. Kunci cerita ini adalah ketika Oedipus menyadari bahwa dia sebenarnya adalah putra dan pembunuh Laius, serta putra dan suami Jocasta. Menurut Martin M. Winkler, peristiwa peripeteia dan anagnorisis terjadi pada saat yang sama dalam cerita ini, "untuk efek yang paling dramatis," karena Oedipus mengalami perubahan drastis yang disebabkan oleh takdir atau campur tangan dewa. Dia berubah dari seorang raja yang kuat dan agak sombong menjadi sosok yang sangat sengsara (Winkler 57).

Pertobatan Paulus dalam perjalanan menuju Damaskus

sunting

Pertobatan mendadak yang dialami oleh Paulus saat dalam perjalanan ke Damaskus merupakan contoh yang klasik dari peripeteia. Hal ini ditemukan dalam buku "Kehidupan Konstantinus" oleh Eusebius, yang juga menggunakan pola yang sama untuk menggambarkan pertobatan Konstantinus. Penulis biografi modern Konstantinus melihat pertobatannya bukan sebagai momen sesaat, tetapi sebagai langkah dalam perjalanan pertobatan yang berlangsung sepanjang hidupnya.

The Three Apples

sunting

Dalam cerita The Three Apples dari Arabian Nights abad pertengahan, setelah pelaku pembunuhan mengungkap identitasnya di tengah cerita, dia menjelaskan alasan di balik tindakan pembunuhan tersebut melalui kilas balik. Kilas balik dimulai dengan perjalanan pelaku untuk mencari tiga apel langka untuk istrinya. Namun, setelah kembali, dia mengetahui bahwa istrinya tidak bisa memakan apel-apel tersebut karena penyakitnya yang parah. Kemudian, di tempat kerjanya, dia melihat seorang budak yang membawa salah satu apel dan mengklaim bahwa dia mendapatkannya dari pacarnya, seorang wanita yang sudah menikah dengan tiga apel yang diberikan suaminya. Setelah kembali ke rumah, dia meminta istrinya untuk menunjukkan ketiga apel tersebut, tetapi istrinya hanya menunjukkan dua. Hal ini membuat dia yakin bahwa istrinya berselingkuh, dan akibatnya, dia membunuhnya. Setelah membuang jenazah istrinya, dia kembali ke rumah, di mana putranya mengaku bahwa dia telah mencuri salah satu apel dan bahwa seorang budak yang dia ceritakan kepada ayahnya telah melarikan diri bersamanya. Pada akhirnya, pelaku pembunuhan menyadari kesalahan besar yang telah dia lakukan dan merasa menyesal atas tindakan yang baru saja dilakukannya.[3][4]

Penggunaan peripeteia yang kedua terjadi menjelang akhir cerita. Setelah mengungkapkan identitas pelaku pembunuhan, protagonis Ja'far ibn Yahya diperintahkan oleh Harun al-Rashid untuk menemukan budak curang itu dalam waktu tiga hari, atau dia akan dihukum mati sebagai gantinya. Setelah berlalunya batas waktu yang ditetapkan, Ja'far bersiap-siap untuk dieksekusi karena kegagalannya dan mengucapkan perpisahan kepada keluarganya. Ketika dia memeluk putri bungsunya, dia merasa ada benda bulat di sakunya, yang ternyata adalah apel yang sama dengan yang dipegang oleh pelaku pembunuhan. Dalam akhir cerita yang mengejutkan, sang putri mengungkapkan bahwa dia mendapatkannya dari budak mereka, Rayhan. Ja'far akhirnya menyadari bahwa budaknya sendiri adalah pelaku sebenarnya selama ini. Dia kemudian menemukan Rayhan dan mengungkap kebenaran, mencegah eksekusi dirinya sendiri. Inilah jalan ceritanya.[5][6]

Referensi

sunting
  1. ^ "Peripeteia | Reversal, Tragedy, Catharsis | Britannica". www.britannica.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-09-05. 
  2. ^ Aristotle, Poetics, 1452a
  3. ^ Pinault, David (1992). "Story-telling techniques in the "Arabian nights"". Leiden: E. J. Brill. ISBN 9004095306. 
  4. ^ Marzolph, Ulrich, ed. (2006). The Arabian Nights reader. Series in fairy-tale studies. Detroit, Mich: Wayne State University Press. ISBN 978-0-8143-3259-7. 
  5. ^ Pinault, David (1992). "Story-telling techniques in the "Arabian nights"". Leiden: E. J. Brill. ISBN 9004095306. 
  6. ^ Marzolph, Ulrich, ed. (2006). The Arabian Nights reader. Series in fairy-tale studies. Detroit, Mich: Wayne State University Press. ISBN 978-0-8143-3259-7.