Perahu asmat

Perahu di Papua

Perahu asmat atau perahu lesung adalah suatu perahu tradisional yang dibuat oleh Suku Asmat. Perahu asmat dipergunakan masyarakat sekitar sebagai alat transportasi.

Perahu asmat

Pembuatan

sunting

Setiap 5 tahun sekali, Suku Asmat membuat perahu yang dibuat dari cendana, ketapang, bintangur, dan satu jenis kayu susu. Untuk membuat satu perahu, dibutuhkan waktu sekitar 5 minggu. Proses pembuatan dimulai dari memilih batang pohon hingga selesai diukir dan dicat. Setelah pohon dipilih, ditebang, dikupas kulitnya dan diruncingkan kedua bagian ujungnya, maka kayu itu sudah siap dibawa ke tempat pembuatan perahu.[1][2]

Pertama-tama, batang yang masih kasar dan bengkok diluruskan. Setelah bagian dalam digali, dihaluskan dengan kulit siput, sama halnya dengan bagian luar. Bagian bawah perahu dibakar supaya laju jalan perahu menjadi ringan. Panjang perahu mencapai 15-20 meter. Setelah semua ukiran dibuat di perahu maka perahu pun di cat. Bagian dalam di cat putih, bagian luar di cat putih dan merah. Setelah itu perahu dihiasi dengan daun sagu. Sebelum dipergunakan, semua perahu harus diresmikan melalui upacara.[2] Ada 2 macam perahu yang biasa digunakan, yaitu perahu milik keluarga yang tidak terlalu besar dan memuat 2-5 orang dengan panjang 4-7 meter. Sedangkan perahu clan biasa memuat antara 20-20 orang dengan panjang 10-20 meter. Sedangkan untuk dayung terbuat dari kayu yang tahan lama, misalnya kayu besi atau kayu pala hutan. Karena dipakai sambil berdiri, maka dayung orang Asmat sangat panjang ukurannya. Benda ini wajib dimiliki oleh setiap orang Asmat karena daerah tempat tinggal banyak dikelilingi dengan rawa-rawa.[3]

Setelahnya, bagian muka perahu yang disebut dengan cicemen diukir menyerupai burung atau binatang lainnya perlambang pengayau kepala. Atau ukiran dibentuk wujud manusia yang melambangkan saudara yang sudah meninggal. Biasanya, perahu dinamakan sesuai dengan nama saudaranya itu. Panjang perahu bias mencapai lima belas sampai dua puluh meter. Dengan mengukir bentuk dari keluarga yang telah meninggal itu, mereka percaya bahwa saudara tersebut akan senang karena diperhatikan dan kemana pun perahu serta penumpangnya pergi akan selalu dilindungi keselamatannya. Untuk membuat ukiran yang lebih halus, ukiran itu harus dikapur terlebih dulu. Setelah semua ukiran selesai dibuat, perahu siap untuk di cat. Setelah itu perahu dihias dengan daun sagu. Sebelum dipergunakan, semua perahu baru harus diresmikan dulu. Caranya, para pemiliki perahu berkumpul bersama dengan bernyanyi bersama, berkumpul dengan orang-orang yang berpengaruh di kampung itu sambil mendengarkan nyanyi-nyanyian dan penabuhan tifa. Kemudian kembali ke rumah masing-masing mempersiapkan diri untuk perlombaan perahu. Mereka berkumpul di tengah-tengah sungai dan aba-aba perlombaan pun dipekikkan. Kaum wanita dan anak-anak bersorak-sorai memberi semangat dan memeriahkan suasana. Ada juga yang menangis mengenang saudaranya yang telah meninggal.[1]

Menurut Orang Asmat, ada beberapa pantangan yang tidak boleh dilanggar oleh mereka; mereka percaya saat membuat kapal, tidak boleh banyak bunyi-bunyian di sekitar saat membikin perahu. Selain itu pula, mereka juga percaya bahwa jika batang kayu itu diinjak sebelum ditarik ke air, maka batang itu akan bertambah berat sehingga tidak bisa dipindahkan.[1]

Kegunaan

sunting

Dikarenakan letaknya di rawa-rawa, perahu lesung dipergunakan sebagai alat transportasi.[3] Hampir setiap keluarga Asmat punya kapal semacam ini. Mereka bisa berhari-hari di atas perahu untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Untuk mencari bahan makanan, atau kayu gaharu yang beraroma wangi sebagai bahan dupa. Tidak hanya kaum laki-laki saja yang pandai berperahu, anak kecil dan kaum hawa pun sangat lihai menggunakan dayung untuk mengayuh perahu tradisionalnya.[4]

Pada Pesta Budaya Asmat, aya mendayung Suku Asmat termasuk unik karena mereka berdiri sambil mendayung perahu, entah di sungai maupun di laut. Pengunjung akan menikmati perlombaan mendayung perahu baru oleh tiap kampung. Sesuai ketentuan panitia maka panjangan perahu harus lebih dari 12 meter dan semua ukiran dan simbol di badan perahu harus asli Asmat. Setiap perahu yang datang ke Agats untuk puncak festival adalah perahu yang telah ternominasi ketika seleksi tingkat distrik. Perahu diisi oleh 6 orang: 5 pendayung dan 1 tukang kemudi. Untuk menghindari kecelakaan maka panitia tetap memperhitungkan keadaan pasang surut air di Sungai Assuwets. Oleh karena itu waktu perlombaan entah pagi atau sore hari baru ditetapkan dua-tiga hari sebelum perlombaan dengan mencermati arus pasang surut sungai.[5]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c "Upacara Perahu Suku Asmat". Arts Craft Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-09-26. Diakses tanggal 22 September 2013. 
  2. ^ a b Marwan (1 November 2012). "Perahu Asmat, Fungsi dan Mitos". Museum Etnobotani Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-09-26. Diakses tanggal 22 September 2013. 
  3. ^ a b "Perahu Alat Transportasi Suku Asmat". Kebudayaan Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-09-26. Diakses tanggal 22 September 2013. 
  4. ^ DetikTravel Comunity (9 Desember 2010). "Asmat dan Perahu". Detik. Diakses tanggal 26 Oktober 2013. 
  5. ^ "Eksibisi". Museum Kebudayaan dan kemajuan Asmat. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-10-29. Diakses tanggal 26 Oktober 2013.