Pengamatan arah kiblat melalui bayangan
Pengamatan arah kiblat melalui bayangan adalah salah satu cara menentukan arah kiblat, yaitu arah ke Ka'bah yang digunakan umat Islam untuk ibadah. Utamanya, pengamatan ini dapat dilakukan pada 27/28 Mei sekitar pukul sekitar pukul 12.18 Waktu Arab Saudi (WAS) atau 16.18 WIB dan 15/16 Juli pukul 12.27 WAS (16.27 WIB). Kedua waktu tersebut bertepatan saat matahari berada di titik tertingginya (kulminasi) di Ka'bah pada hari itu (sekaligus waktu azan zuhur), dan pada kedua tanggal tersebut matahari berada di posisi lintang yang sama dengan Ka'bah. Alhasil, matahari berada kurang lebih di atas Ka'bah sehingga dari tempat lain arah matahari yang tampak, maupun arah bayangan yang ditimbulkan oleh benda tegak akan menunjukkan arah Ka'bah. Untuk paruh bumi yang tidak mengalami siang pada kedua waktu ini (sehingga tidak menerima sinar matahari), pengamatan dapat dilakukan pada dua waktu lain saat matahari berada di atas titik antipode Ka'bah sehingga arah bayangan yang dibentuk tepat berlawanan.
Pengamatan kiblat lewat bayangan | |
---|---|
Jenis | fenomena astronomi terkait agama Islam |
Tanggal | 27/28 Mei pukul 16.18 WIB (12.18 WAS) 15/16 Juli pukul 16.27 WIB (12.27 WAS) |
Frekuensi | dua kali setahun |
Lokasi | seluruh lokasi dunia dengan jarak sudut <90° dari Ka'bah |
Fenomena ini terjadi akibat kombinasi gerak semu tahunan matahari sehingga matahari melalui setiap garis lintang antara 23,5° lintang utara dan 23,5° lintang selatan (termasuk posisi Ka'bah yang berada di sekitar 21°25’ LU), dan gerak semu harian sehingga setiap hari matahari mengalami kulminasi atau melewati garis meridian di suatu tempat. Hal ini diketahui setidaknya dari abad ke-13 oleh ilmuwan Jaghmini dan Nashiruddin ath-Thusi, tetapi karena ketika itu Dunia Islam tidak menggunakan penanggalan Masehi, jadwal peristiwa ini tidak bisa dinyatakan dalam tanggal yang tetap.
Latar belakang astronomi
suntingDari setiap lokasi di bumi, matahari mengalami gerak semu harian yaitu tampak bergerak dari timur ke barat setiap hari. Pada saat tertentu di tengah hari, terjadi titik kulminasi atas atau transit meridian atas, yaitu saat matahari berada di titik puncaknya dan matahari melalui garis bujur setempat. Namun, matahari juga memiliki gerak semu tahunan yaitu bergerak antara 23,5° lintang utara dan 23,5° lintang selatan (titik balik matahari), sehingga pada saat kulminasi atas matahari tidak selalu berada persis di atas, dan lebih sering berada tepat di utara atau selatannya. Untuk setiap tempat dengan lokasi di bawah 23,5° lintang utara atau selatan, pada saat tertentu dalam setahun posisi lintang matahari akan sama dengan posisi lintang setempat. Hanya pada masa itulah, pada saat kulminasi atas terjadi, matahari berada persis di atas tempat tersebut.[1] Kota Mekkah termasuk tempat yang mengalami hal ini, karena posisinya berada di sekitar 21°25’ lintang utara. Peristiwa ini terjadi dua kali setahun, pada 28 Mei dan 16 Juli.[2][1] Dalam ilmu falak, peristiwa ini disebut istiwa a'zham (kulminasi utama).[3][4]
Pengamatan utama
suntingPeristiwa istiwa a'zham (kulminasi utama) di Ka'bah terjadi dua kali setahun, pada 27/28 Mei sekitar pukul sekitar pukul 12.18 Waktu Arab Saudi (WAS) atau 16.18 WIB dan 15/16 Juli pukul 12.27 WAS (16.27 WIB).[2][1] Pada kedua saat tersebut, matahari melintas di titik tertinggi di atas Ka'bah sehingga semua benda tegak yang terkena cahaya matahari akan memiliki bayangan yang menunjukkan arah bangunan tersebut.[1] Waktu kulminasi ini juga bertepatan dengan waktu azan zuhur pada hari itu.[5] Ka'bah sendiri akan nyaris tidak memiliki bayangan.[5] Sekitar separuh bumi (termasuk Indonesia Timur, Australia, Samudra Pasifik dan kebanyakan Benua Amerika) mengalami malam saat peristiwa ini terjadi sehingga tidak bisa mengamati bayangan.[6] Di belahan bumi tersebut, bayangan yang menunjukkan arah kiblat dapat diamati pada waktu matahari berada tepat di bawah kiblat (atau tepat berada di atas titik antipode dari Ka'bah).[7] Arah bayangan yang terbentuk tepat berlawanan dengan arah bayangan pada saat rashd al-qiblat.[1] Peristiwa ini terjadi pada 12/13/14 Januari 00.30 WAS (06.30 WIT) dan 28/29 November 00.09 WAS (06.09 WIT).[8][9][a][b] Baik untuk saat rashd al-qiblat maupun saat sebaliknya, rentang waktu kurang lebih lima menit pada hari yang sama, atau kurang lebih dua hari pada saat yang sama masih menunjukkan pengamatan arah kiblat yang cukup akurat.[1][2]
Di antara tempat yang sulit mengamati kiblat saat peristiwa ini adalah tempat-tempat yang jaraknya ke Mekkah mendekati 90° (seperempat lingkaran, atau di sekitar tepi paruh bumi yang berpusat di Mekkah) sehingga peristiwa ini selalu terjadi mendekati saat matahari terbit atau terbenam. Contohnya adalah beberapa tempat di Amerika Utara, termasuk kota Boston dan New York (Amerika Serikat) serta Montreal dan Ottawa (Kanada). Sebagai contoh, saat rashd al-qiblat pertama (28 Mei pada pukul 12:18 waktu Mekkah) jatuh 6 menit setelah matahari terbit di Boston dan Montreal, 2 menit sebelum matahari terbit di Ottawa, dan 11 menit sebelum matahari terbit di New York. Alhasil fenomena ini tidak dapat diamati di Ottawa dan New York karena matahari belum terbit, sedangkan di Boston dan Montral posisi matahari terlalu rendah sehingga untuk mendapat sinar matahari langsung diperlukan tempat yang sama sekali bebas halangan dari bangunan atau bukit.[10]
Pengamatan harian
suntingSelain pengamatan kulminasi utama yang terjadi dua kali setahun, pada umumnya di setiap lokasi juga ada waktu tertentu di setiap hari ketika posisi matahari berada di garis menuju Ka'bah, atau garis yang tepat (180°) berlawanan. Seperti halnya saat pengamatahan tahunan, pada saat ini bayangan pun akan menunjukkan arah kiblat. Namun, waktu ini berbeda-beda tergantung tempat dan juga berubah setiap hari. Alhasil, untuk mengetahui jadwalnya dibutuhkan pengetahuan geografi dan perhitungan yang tidak sederhana untuk orang awam. Akibatnya metode ini jauh kurang praktis jika dibandingkan pengamatan tahunan yang hanya memerlukan diketahuinya jadwal yang sama di seluruh dunia, dan mengamati matahari pada jadwal tersebut.[11][8][c] Cara yang sama juga dapat digunakan pada saat bayangan membentuk sudut yang mudah diukur (seperti 90°).[10]
Sejarah
suntingMetode pengamatan arah kiblat melalui bayangan tercatat dalam karya ahli falak Asia Tengah Jaghmini (sekitar 1221 M) yang menyebut bahwa peristiwa ini terjadi saat matahari berada di posisi 7°21′ Gemini dan 22°39′ Cancer. Setelahnya, ilmuwan Nashiruddin ath-Thusi (1201–1276) juga menyebutkan metode yang sama di bukunya at-Tadzkirah an-Nashiriyyah fi 'ilm al-Ha'ya, tetapi dengan presisi yang tidak setepat Jaghmini:[12][8]
Matahari mengalami transit di posisi zenit Mekkah saat berada di derajat 8 Gemini dan 23 Cancer tepat di tengah hari. Perbedaan antara tengah hari di Mekkah dan tengah hari di lokasi lain diukur melalui selisih posisi bujur kedua tempat. Anggap selisih ini telah diketahui dan anggap perbedaan 1 jam untuk setiap 15 derajat dan perbedaan 4 menit untuk setiap derajat. Hasil penjumlahan ini akan menunjukkan selisih jumlah jam dari tengah hari [di tempat tersebut]. Lakukan pengamatan pada hari dan saat tersebut — sebelum tengah hari jika Mekkah berada di timur, dan setelah tengah hari jika [Mekkah] berada di barat; arah bayangan pada saat itu adalah arah kiblat.
Ath-Thusi menyatakan dua tanggal rashd al-qiblat (28 Mei dan 16 Juli) dengan menggunakan posisi matahari di bidang ekliptika pada kedua hari itu (8° Gemini dan 23° Cancer), karena pada saat itu Dunia Islam tidak menggunakan kalender Masehi. Kalender Hijriyah tidak didasarkan pada gerakan matahari sehingga kedua hari rashd al-qiblat tidak dapat dinyatakan dengan tanggal dan bulan yang tetap.[12][8] Karena bidang ekliptika perlahan terus bergerak, nilai pada zaman Ath-Thusi dan Jaghmini ini sedikit berbeda dengan nilai zaman sekarang (pada 2000, kedua nilai ini adalah 6°40′ Gemini dan 23°20′ Cancer).[8] Bagian akhir paragraf tersebut menyebutkan cara mengetahui waktu pengamatan (bertepatan dengan tengah hari di Mekkah) jika dinyatakan relatif terhadap tengah hari di waktu lokal.[12]
Catatan penjelas
sunting- ^ Dalam Waktu Indonesia Barat, peristiwa antipode ini terjadi pada 04.30 dan 04.09, saat matahari belum terbit.[7]
- ^ van Gent 2017 menyebutkan 12/13 Januari dan 28 November sedangkan Hadi Bashori 2015, hlm. 127 menyebutkan 14 Januari dan 29 November. Keduanya menyebutkan bahwa pengamatan yang dilakukan dengan selisih satu atau dua hari masih menghasilkan arah yang cukup akurat.
- ^ Contoh cara menghitung jadwal harian, dan data-data yang diperlukan, ada di Hadi Bashori 2015, hlm. 128–130
Referensi
suntingCatatan kaki
sunting- ^ a b c d e f Raharto & Surya 2011, hlm. 25.
- ^ a b c Hadi Bashori 2015, hlm. 125.
- ^ Raharto & Surya 2011, hlm. 24.
- ^ Hadi Bashori 2015, hlm. 123.
- ^ a b Khalid 2016.
- ^ Hadi Bashori 2015, hlm. 125–126.
- ^ a b Hadi Bashori 2015, hlm. 126–127.
- ^ a b c d e van Gent 2017.
- ^ Hadi Bashori 2015, hlm. 127.
- ^ a b Abdali 1997, hlm. 22.
- ^ Hadi Bashori 2015, hlm. 128.
- ^ a b c Abdali 1997, hlm. 21.
Daftar pustaka
sunting- Abdali, S. Kamal (1997). The Correct Qibla (PDF).
- Hadi Bashori, Muhammad (2015). Pengantar Ilmu Falak. Jakarta: Pustaka Al Kautsar. ISBN 978-979-592-701-3.
- Khalid, Tuqa (2016). "Sun will align directly over Kaaba, Islam's holiest shrine, on Friday". CNN.
- Raharto, Moedji; Surya, Dede Jaenal Arifin (2011). "Telaah Penentuan Arah Kiblat dengan Perhitungan Trigonometri Bola dan Bayang-Bayang Gnomon oleh Matahari". Jurnal Fisika Himpunan Fisika Indonesia. Universitas Indonesia. 11 (1): 23–29. ISSN 0854-3046.
- van Gent, Robert Harry (2017). "Determining the Sacred Direction of Islam". Webpages on the History of Astronomy.