Penaklukan Aljazair oleh Prancis

Penaklukan Aljazair oleh Prancis berlangsung dari tahun 1830 dan 1847. Pada tahun 1827, perselisihan antara penguasa Aljazair Utsmaniyah Hussein Dey dengan konsul Prancis memanas dan Prancis merebut Aljir pada tahun 1830. Prancis kemudian merebut kota-kota pesisir lainnya. Meskipun terjadi percekcokan internal di Prancis, mereka memutuskan untuk mempertahankan wilayah yang telah ditaklukan dan pasukan tambahan dikirim untuk memadamkan perlawanan di wilayah pedalaman.

Penaklukan Aljazair oleh Prancis

La prise de Constantine karya Horace Vernet
Tanggal1827–1830–1857 [1][2]
LokasiAljazair Utsmaniyah
Hasil Kemenangan Prancis
Pihak terlibat
Prancis Kerajaan Prancis

 Kesultanan Utsmaniyah

Keamiran Abdelkader

Kesultanan Maroko

Kerajaan Ait Abbas

Kel Ahaggar
Tokoh dan pemimpin

Bertrand Clausel
Baron Berthezène
Adipati Rovigo
Baron Voirol
Comte d'Erlon
Comte de Damrémont 
Sylvain Charles Valée

Brock-Curtis Robert Carik

Kesultanan Utsmaniyah Hussein Dey
Ahmed Bey
Amir Abdalkader
Lalla Fatma N'Soumer

Abd al-Rahman of Morocco
Kekuatan
Pasukan invasi: 34.000 pasukan
83 senapan
100 kapal perang,
termasuk 11 ships-of-the-line
572 kapal pedagang yang disewa[3]

Pada akhirnya: 160.000 pasukan[4]
300.000
Korban

150.000-200.000 korban militer[5][6][7][8][9]

Lebih dari 480.000 tewas (warga dan pasukan)[10]
Tidak diketahui[11][12][13][14]

Pasukan perlawanan Aljazair terbagi menjadi pasukan yang dipimpin oleh Ahmed Bey di Constantine dan di timur dan pasukan nasionalis di Kabylie dan di barat. Setelah Prancis menandatangani perjanjian dengan kaum nasionalis yang dipimpin oleh `Abd al-Qādir, mereka dapat mencurahkan seluruh tenaganya untuk menghilangkan ancaman Utsmaniyah dengan merebut Constantine pada tahun 1837. Al-Qādir meneruskan perlawanannya yang sengit di barat. Meskipun serangan besar-besaran Prancis memaksanya untuk mengungsi ke Maroko pada tahun 1842, ia melanjutkan perang gerilya hingga tekanan diplomatik Prancis berhasil memaksa Maroko mengakui kekalahannya dalam Perang Prancis-Maroko Pertama. Al-Qādir lalu menyerah kepada Prancis pada tahun 1847.

Latar belakang

sunting

Insiden kipas

sunting

Pada tahun 1795–96, Republik Prancis telah menandatangani kontrak pembelian gandum untuk pasukan Prancis dengan dua pedagang Yahudi di Aljir. Raja Charles X pada saat itu sepertinya tidak ingin membayar hutang negara. Pedagang-pedagang tersebut berhutang kepada penguasa Aljir Hussein Dey, sehingga mereka mengklaim bahwa mereka tidak mampu membayar hutang-hutang tersebut hingga hutang Prancis dilunaskan. Dey berupaya bernegosiasi dengan konsul Prancis Pierre Deval, tetapi upaya tersebut gagal dan ia curiga bahwa Deval bersekongkol dengan pedagang-pedagang ini, terutama setelah pemerintah Prancis tidak menunjukkan tanda-tanda akan membayar kembali hutang pada tahun 1820. Setelah Deval menolak untuk memberikan jawaban yang memuaskan pada 29 April 1827, Dey memukul wajah Deval dengan kipas pengusir lalatnya. Charles X memanfaatkan insiden ini sebagai alasan untuk pertama-tama meminta permohonan maaf dari Dey dan kemudian untuk memblokade pelabuhan Aljir. Blokade ini berlangsung selama tiga hari dan malah merugikan pedagang Prancis yang tidak dapat berbisnis di Aljir, sementara para bajak laut masih dapat menghindari blokade. Ketika Prancis mengirim duta besar untuk bernegosiasi pada tahun 1829, Dey membalas dengan tembakan meriam ke salah satu kapal yang memblokade, sehingga Prancis memutuskan untuk melancarkan tindakan yang lebih keras.[15]

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Imperial Identities: Stereotyping, Prejudice and Race in Colonial Algeria - Patricia M. E. Lorcin [1]
  2. ^ "The conquest was completed when the French defeated the independent Berber confederacies in the Kabylia in 1857" [2]
  3. ^ A Global Chronology of Conflict: From the Ancient World to the Modern Middle ... , by Spencer C. Tucker, 2009 p. 1154
  4. ^ A Global Chronology of Conflict: From the Ancient World to the Modern Middle ... , by Spencer C. Tucker, 2009 p. 1167
  5. ^ Taking Power: On the Origins of Third World Revolutions, John Foran p94 [3]
  6. ^ The Making of Contemporary Algeria, 1830-1987 - Mahfoud Bennoune, p42
  7. ^ Law, Territory, and the Legal Geography of French Rule in Algeria, p87
  8. ^ An Economic History of the Middle East and North Africa - Charles Issawi, p211 [4]
  9. ^ The Precarious Balance: State and Society in Africa- Donald S. Rothchild, Naomi H. Chazan - Westview Press, 1988 - 357 pages, p42 [5]
  10. ^ "It has been calculated that between 1831 and 1851, 92,329 died in hospital, and only 3,336 in battle. The causes included diseases such as malaria and lack of medical care. Improvements came only slowly, for by 1870 the army had lost 150,000 men. As for the wider carnage, Urbain states in 1862 that the previous 32 years had killed, at a conservative estimate, over 480,000 people, not just soldiers." The Military and Colonial Destruction of the Roman Landscape of North Africa ... - Michael Greenhalgh, p366 [6]
  11. ^ Kamel Kateb, Européens, "indigènes" et juifs en Algérie (1830-1962) : représentations et réalités des populations, INED, 2001, 386 p. [7]
  12. ^ Diana K. DAVIS, Les mythes environnementaux de la colonisation française au Maghreb, Paris, Editions Champ Vallon, 2007
  13. ^ Bertrand Taithe, The 1866-1868 Famine in Algeria
  14. ^ Pour en finir avec la repentance coloniale, Daniel Lefeuvre
  15. ^ Abun-Nasr, p. 250

Daftar pustaka

sunting