Pemberontakan Satsuma

Pemberontakan samurai melawan kekaisaran di bawah pemerintahan Meiji

Pemberontakan Satsuma (西南戦争, Seinan Sensō, Perang Barat Daya) adalah pemberontakan klan samurai Satsuma yang dipimpin Saigō Takamori terhadap Tentara Kekaisaran Jepang yang berlangsung 11 bulan di awal era Meiji, dimulai pada tahun 1877. Perang saudara ini merupakan perang saudara terakhir dan terbesar di Jepang. Perang terjadi di Kyushu, tepatnya di tempat yang sekarang bernama Prefektur Kumamoto, Prefektur Miyazaki, Prefektur Oita, Prefektur Kagoshima.

Pemberontakan Satsuma
Tanggal29 Januari – 24 September 1877
LokasiKyūshū, Jepang
Hasil Kemenangan Kekaisaran Jepang
Pihak terlibat
 Kekaisaran Jepang Domain Satsuma
Tokoh dan pemimpin
Emperor Meiji
Arisugawa Taruhito
Yamagata Aritomo
Kuroda Kiyotaka
Tani Tateki
Saigō Takamori 
Kirino Toshiaki 
Beppu Shinsuke 
Kekuatan
227,000
10 kapal perang
25,000
Korban
15,000 tewas dan terluka[1] 21,000 tewas dan terluka[1][2]
4,000 ditangkap

Latar belakang

sunting

Pemberontakan Satsuma disebabkan oleh adanya perubahan sistem pada pemerintahan yang menyebabkan kekecewaan para samurai. Modernisasi Jepang telah menyebabkan hilangnya kekuasaan samurai dan penghancuran sistem tradisional. Peraturan Penghapusan Pedang (廃刀令, Haitō-rei) yang melarang samurai membawa katana juga merupakan salah satu penyebab terjadinya pemberontakan ini.

Pemberontakan ini dipimpin oleh Saigō Takamori, yang pada sepuluh tahun lalu memimpin pasukan Jepang untuk mengalahkan samurai klan Tokugawa. Mulanya, Saigō setuju dengan konsep Restorasi Meiji. Tapi, perlahan-lahan ia jadi ikut membangkang, karena Restorasi Meiji menghapus segala bentuk samurai dan atributnya. Slogan para pemberontak adalah "Pemerintah Baru, Moralitas Tinggi" (Shinsei Kōtoku). Mereka tidak meninggalkan atribut Barat, seperti memakai meriam dan senjata api. Saigō sebagai panglima perang juga memakai baju militer ala barat. Barulah di saat stok senjata mereka habis, mereka memakai katana dan panah.

Peperangan

sunting

Pada Januari 1877, pasukan Angkatan Laut Jepang bergerak untuk menguasai kota Kagoshima, sebuah kota utama milik klan samurai dari Satsuma. Tentara ini disambut serangan oleh Saigō dan anak buahnya. Pasukan Saigō memakai senjata api untuk melawan pasukan AL Jepang, tetapi mereka masih memakai taktik militer lama.

Banyak pasukan Jepang yang dikirim merupakan bekas samurai dulunya yang pada waktu itu sudah mengadopsi sistem Barat dan sudah bersumpah kepada kaisar Meiji.

Pada bulan Februari 1877, pasukan Saigō Takamori yang terdiri dari 25 ribu hingga 40 ribu prajurit bersiap-siap menantikan penyerangan pasukan pemerintah di garis depan kota Kagoshima. Hal ini dicatat oleh para sejarawan sebagai kesalahan dalam strategi berperang Saigō Takamori karena pasukan pemerintah di bawah komando Sumiyoshi Kawamura memiliki banyak waktu untuk mempersiapkan penyerbuan dengan 300 ribu prajurit. Seorang samurai berhasil membunuh dua pasukan pemerintah seperti direncanakan sebelumnya. Namun, para samurai kalah dalam jumlah dibandingkan prajurit pemerintah. Pertempuran berlangsung selama enam minggu, dan Saigō Takamori hanya memiliki 300-400 prajurit yang tersisa. Pada pertempuran terakhir, yaitu pertempuran Shirōyama, Saigō luka berat. Dalam keadaan hampir tertangkap pasukan pemerintah, Saigō melakukan seppuku pada 24 September 1877. Peperangan ini menghabiskan dana besar di pemerintah Jepang, sekaligus merupakan akhir dari kelas samurai di Jepang. Sepuluh tahun kemudian, Kekaisaran Jepang meminta maaf dan memberikan gelar kemuliaan kepada Saigō Takamori sebagai samurai yang terakhir.

Sumber bacaan

sunting
  • Craig, T.1999. Remembering Aizu: The Testament of Shiba Goro. Honolulu,HI: University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-2157-2
  • Henshall, K.2001. A History of Japan: From Stone Age to Superpower. New York City, NY: St. Martin's Press. ISBN 0-312-23370-1

Pranala luar

sunting
  1. ^ a b Hane Mikiso Modern Japan A Historical survey p. 115
  2. ^ Kallie Szczepanski. "The Satsuma Rebellion". Thoughtco.com. Diakses tanggal March 16, 2019.