Peluru Shrapnel adalah jenis peluru yang ditembakkan dari meriam. Ditemukan pada abad ke-19 dan digunakan secara efektif pada Pertempuran Waterloo. Jenis peluru ini adalah peluru yang ketika ditembakkan dapat pecah dan melontarkan peluru-peluru kecil dengan berkecepatan tinggi sehingga dapat melumpuhkan pasukan kavaleri dan pasukan infantri lawan yang jumlahnya lebih besar.

Sebelum peluru Shrapnel ditemukan, peluru meriam umumnya menggunakan peluru berbentuk bola besi padat. Beberapa inovasi dilakukan dengan menggandeng peluru dengan rantai sehingga memunculkan peluru dengan bola ganda. Umumnya peluru jenis ini digunakan untuk menghantam dek kapal perang lawan yang pada abad ke 19 yang masih menggunakan bahan kayu. Nama Shrapnel sendiri diabadikan dari nama penemunya, Henry Shrapnel.

Penemuan Shrapnel dan Penggunaan Shrapnel

sunting

Peluru Shrapnel atau Shrapnel Shell ditemukan oleh Henry Shrapnel, yang berawal dari pengalamannya menghadapi serangan pasukan yang jumlahnya berkali-kali lipat dari pasukannya, terutama pada saat bertugas di Yorktown, benua Amerika. Konsepnya adalah peluru meriam atau artileri yang dapat melontarkan peluru-peluru kecil terhadap pasukan kavaleri dan infanteri lawan.

Penggunaan pertama kali dilakukan oleh Admiral Smith pada saat pertempuran di Pelabuhan Toulon, dimana Admiral Smith memesan 100 buah peluru ini.

Penggunaan Shrapnel Dalam Perang

sunting

Penggunaan Shrapnel dalam perang, selain digunakan dalam pertempuran di pelabuhan Toulon, juga dipakai dalam perang waterloo antara Pasukan gabungan Inggris-Belanda-Prusia yang dipimpin oleh Wellington, William van Oranje dan Blucher berhadapan dengan pasukan Prancis yang langsung dipimpin oleh Napoleon Bonaparte.

Kekuatan pasukan gabungan sebesar 62.000 prajurit berbanding dengan 72.000 prajurit Prancis. Dalam Pertempuran ini Napoleon harus menghancurkan pasukan gabungan Inggris-Belanda sebelum pasukan Prusia yang dipimpin Marsekal Blucher tiba, sehingga pasukan Inggris-Belanda harus dapat bertahan seefektif mungkin, sebab apabila pasukan Prusia terlambat tiba, maka kemenangan akan jatuh ke tangan Napoleon.

Untuk menahan serangan elit kavaleri Prancis, Pasukan Infantri Inggris menggunakan taktik "Landak" dimana unit-unit pasukan infantri membentuk formasi benteng kecil dimana pasukan terluar menempatkan senapan yang diberi bayonet yang dihunuskan kearah luar formasi dan pasukan-pasukan di dalam formasi menembaki pasukan kavaleri yang datang. Formasi ini efektif menghadapi gerak pasukan berkuda yang cenderung menghindari bayonet atau tombak lawan.

Selain formasi tersebut. Sejarahwan Dr Friedrich Lorenz, Napoleon, yang juga perwira artileri mengetahui ada senjata meriam jenis baru yang diarahkan ke pasukannya, terlebih memperhatikan kabut asap dari meriam yang ditembakkan kearah pasukannya, dan setiap kali terdapat kabut asap tersebut, pasukan istimewa yang dimilikinya mengalami gangguan serangannya. Dengan formasi dan tembakan meriam jenis ini. Pasukan Istimewa Napoleon Gagal menghancurkan tentara Inggris-Belanda dan gagal menahan serangan pasukan Prusia yang datang dari arah sebelah kiri pasukan Prancis. Hal ini mengakibatkan berakhirnya perang Napoleon dan Napoleon harus turun takhta untuk kedua kalinya.

Pengembangan Selajutnya

sunting

Peluru Shrapnel selanjutnya dikembangkan dari mulai berbentuk bola meriam menjadi berbentuk aerodinamis yang mirip bentuk perahu untuk menyesuaikan gerak aerodinamis peluru dan mengikuti perkembangan meriam yang diisi dari kamar tembak belakang laras, bukan dari ujung laras selayaknya meriam sebelumnya. Penyempurnaan dilakukan pada sumbu peluru agar dapat memuntahkan ratusan atau ribuan peluru-peluru kecil dalam kecepatan tinggi dengan tepat. Jenis Peluru ini tetap disempurnakan dan dipakai pada saat Perang Dunia I, Perang Dunia II hingga sekarang. Dan penamaannya pun tetap Shrapnel sebagai penghargaan kepada jasa penemunya.

Sumber

sunting
  • Yang Mengalahkan Napoleon, M.O Koesman, Artike Majalah Bahasa Sunda Mangle, edisi 1009 tahun 1985