Pelampung tsunami salah satu bentuk sistem peringatan dini tsunami (tsunami early warning system) di Indonesia, yang telah dikembangkan oleh Kementerian Negara Riset dan Teknologi sebagai koordinator pengembangan TEWS di Indonesia bersama BMG, BPPT, Bakosurtanal, LAPAN, LIPI, Dep. Kominfo, Dep. ESDM, Bappenas, Deplu, Bakornas PBP, DKP dan ITB pada awal tahun 2005.

Perangkat Kerja

sunting

Secara teknis, sistem peringatan dini tsunami buatan BPPT terdiri atas pelampung berdiameter satu meter yang mengapung di permukaan laut dan seperangkat alat di dasar laut (ocean bottom unit/OBU). Keduanya dihubungkan sejenis kabel yang menahan berton-ton beban. . Di pelampung terpasang sensor penerima sekaligus pengirim data ke satelit. Tepat di tengah pelampung dipasang antena telekomunikasi dan sensor meteorologi. Sementara di OBU terpasang sensor tekanan, baterai, komputer, pengirim data, alat pengapung, dan pemberat. Sensor di OBU secara otomatis mengirim data perubahan tekanan di kolom air. Pengiriman data dapat diatur waktunya. Dalam kondisi normal, pengiriman data per satu jam, namun jika terjadi pelampung tsunami akan mengirim data tiap satu menit. Waktu pengiriman data dari OBU sampai ke stasiun penerima adalah 1-2 menit.

Sistem Kerja

sunting

Pelampung tsunami terdiri dari sistem seafloor bottom pressure sensor (BPS) yang dapat mendeteksi kejadian tsunami sampai 1 cm, dan moored surface pelampung yang dapat digunakan untuk mengkomunikasikan informasi tsunami secara real-time. Komunikasi menggunakan gelombang akustik digunakan mentransmisikan data dari BPS di dasar laut ke surface pelampung yang ada di permukaan. Selanjutnya, unit surface pelampung akan meneruskan transmisi data dari BPS via satelit komunikasi ke Pusat Pemantauan Tsunami Nasional, dalam hal ini BMG. Surface pelampung ini tidak hanya memonitor dan mentransmisikan kejadian tsunami, tetapi juga mengamati parameter-parameter oseanografi dan meteorologi permukaan laut lainnya. Surface pelampung juga dilengkapi dengan peralatan DGPS (Differential Global Positioning System) untuk memonitor tinggi gelombang permukaan dan juga untuk memantau pergerakan pelampung (drifting).

Interval waktu pengukuran dan pengiriman data disesuaikan dengan ketentuan yang telah disepakati di pertemuan WMO, Maret 2005 di Jakarta. Dengan karakteristik kegempaan di wilayah laut Indonesia, info dari pelampung diharapkan dapat diterima dalam waktu 5-15 menit setelah gempa, namun tergantung lokasi pelampung terhadap pusat gempa, sehingga masyarakat punya cukup waktu evakuasi.

Perawatan sistem sensor serta monitoring sistem kerja peralatan surface pelampung dan BPS diserahkan kepada BPPT dengan menggunakan kapal-kapal riset Baruna Jaya. Jerman sebagai negara pendonor. Peralatan ini ikut berpartisipasi dalam operasional dan perawatan selama 5 tahun semenjak pemasangan. Dengan diserahkannya peralatan tersebut, diharapkan peneliti-peneliti BPPT dapat melakukan penelitian lebih lanjut tentang instalasi, operasional, perawatan dan pengembangannya sehingga dapat mengurangi ketergantungan dari luar negeri.

Lokasi penempatan pelampung tsunami

sunting

Dalam perencanaan 5 tahun (2005-2009) secara keseluruhan ada 15 moored surface pelampungs dan 25 Bottom Pressure Sensors (BPSs) yang akan dioperasikan mencakup seluruh perairan Indonesia yang teridentifikasi rawan tsunami. Pada tahun 2005, tahun pertama implementasi program TEWS, akan dilakukan penempatan dua surface pelampungs dan BPS. Antara tanggal 15 - 28 November 2005, Kapal Riset Jerman- SONNE- memasang dua pelampung tsunami. Dengan berbagai kajian ilmiah dan teknik, para peneliti dari Indonesia dan Jerman telah menentukan lokasi untuk kedua pelampung tersebut yaitu (1) berlokasi sekita 60 nm (sekitar 110km) barat laut P. Siberut, dan (2) pada posisi sekitar 50nm (93km) barat-baratdaya Bengkulu. Untuk mencari tempat yang sesuai di daerah perairan barat P. Sumatra, Kapal Riset Sonne telah melakukan investigasi dan batimetri (site survey) laut dalam sebelum penempatan BPS tersebut.

Pengembangan Pelampung tsunami pada tahun 2008

sunting

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada 2008 berencana memasang 23 unit alat pendeteksi tsunami atau pelampung di seluruh perairan Indonesia untuk mendeteksi gelombang pasang setelah terjadinya gempa di dasar laut. Ke-23 unit pelampung itu akan dipasang di sekitar perairan Aceh, Laut Banda, Laut Papua, Halmahera dan perairan utara Sulawesi. Pelampung yang rencananya akan dipasang pada 2008 ini terdiri dari 10 unit buatan Indonesia, 10 unit buatan Jerman, 1 unit buatan Amerika, 1 unit produksi bersama Indonesia dan Amerika serta 1 unit buatan Norwegia yang disediakan oleh Malaysia.

Kelemahan pelampung tsunami

sunting

Kelemahan pelampung tsunami adalah adanya kemungkinan kesalahan yang dapat dikelompokan atas kesalahan dan bisa yang terkait dengan satelit (berupa kesalahan jam satelit, ephemeris, dan selective availability), medium propagasi (berupa bias ionosfer dan bias troposfer ), Receiver GPS (meliputi kesalahan jam receiver, kesalahan yang terkait dengan antenna, dan noise), data pengamatan (seperti ambiguitas fase dan cycle slip), dan lingkungan sekitar receiver gps (multipath dan imaging). Terkait dengan sistem GPS Pelampung, hal yang dapat mencolok dari jenis kesalahan dan bias ini (termasuk dalam kesalahan signifikan) adalah kesalahan multipath, karena air (laut) bersifat reflektif. Untuk menangani kesalahan multipath ini maka alat antena GPS disusun sedemikian rupa sehingga dapat menangkal efek multipath tersebut.

Kegunaan

sunting

Rangkaian pelampung tsunami sangat penting dan berharga karena sangat bermanfaat untuk melindungi puluhan juta masyarakat Indonesia di pesisir dan ratusan juta masyarakat pesisir di Samudera Hindia.

Referensi

sunting