Pelacuran di Singapura

Pelacuran di Singapura bukanlah perbuatan ilegal, tetapi beragam aktivitas yang berkaitan dengan pelacuran merupakan kegiatan kriminial. Hal ini termasuk menjajakan diri di tempat umum, hidup dari pendapatan sebagai pekerja seks dan menjalankan rumah bordil. Dalam praktinya, pihak kepolisian secara tidak resmi mentoleransi dan mengawasi sejumlah rumah bordil. Pekerja seks yang bekerja di tempat-tempat seperti itu diharuskan menjalani pemeriksakaan kesehatan berkala dan membawa kartu kesehatan.[1]

Sejarah

sunting

Pertumbuhan ekonomi yang cepat dari Singapura di abad ke-19 dikombinasikan dengan ketidakseimbangan gender di Singapura (populasi pria lebih banyak dari wanita)[2] menyebabkan pelacuran dan rumah bordil menjadi bisnis yang menjanjikan dan berkembang.[3] Pekerja seks biasanya berasal dari Tiongkok dan Jepang, datang ke Singapura sebagai Karayuki-san.[2] Diperkirakan 80% dari wanita dan perempuan yang datang dari Tiongkok dan Singapura pada akhir 1870-an dijual ke bisnis pelacuran.[2] Berkembangnnya kantong-kantong penduduk Jepang di Jalan Tengah, Singapura berhubungan dengan berdirinya rumah bordil di timur Sungai Singapura, yaitu Hylam, Malabar, Malay and Bugis Streets pada akhir 1890-an.[3] Pada 1905 terdapat 109 rumah bordil Jepang di Singapura.[4]

Pelacuran dilihat oleh otoritas kolonial sebagai kejahatan yang diperlukan[2] tetapi beberapa langkah diambil untuk membatasi pelacuran di kota. Pendaftaran pekerja seks dan rumah bordil dijadikan kewajiban sebagai upaya untuk mencegah pemaksaan pelacuran, dan Office to Protect Virtue didirikan untuk menolong orang-orang yang tidak mau terlibat di dunia pelacuran.[2] Tidak lama setelah pecahnya Perang Dunia I, otoritas kolonial melarang pelacuran oleh wanita kulit putih sebagai akibatnya rumah bordil wanita kulit putih di Singapura (berjumlah lebih dari 21 rumah bordil) tutup pada 1916.[5]

Laporan tahun 1916 mendeskripsikan penderitaan dan ketidaksenonohan pekerja pelacuran di distrik lampu merah disekitar Malay Street dan Smith Street, dan tekanan yang diberikan kepada Kantor Kolonial di Britania Raya untuk membatasi lisensi pelacuran. Sir Arthur Young, Gubernur Jenderal Negeri-Negeri Selat, mempertimbangkan pelacuran sebagai hal yang tidak tergantikan untuk ekonomi dan suplai tenaga kerja Singapura[5] tetapi penjualan wanita dan perempuan ke pelacuran dilarang pada 1917.[2] Figur berpengaruh komunitas Jepang di Singapura yang peduli terhadap martabat dan moralitas menekan konsulat Jepang untuk mengakhiri pelacuran asal Jepang. Pada 1920, konsulat memerintahkan untuk mengusir semua pekerja seks asal Jepang di Singapura, walaupun beberapa wanita tetap menjadi pekerja seks ilegal.[5] Impor pekerja seks wanita dan perempuan dilarang pada 1927 dan rumah bordil dilarang pada 1930, tetapi kegiatan pelacuran tetap legal.[2]

Selama masa Pendudukan Jepang di Singapura (1942–1945), rumah bordil didirikan untuk digunakan tentara Jepang. Terdapat 20 rumah bordil di kota, biasanya berada di masion milik etnis Tiongkok.[6] Saat Jepang menyerah pada 1945 kegiatan pelacuran berkembang.[7]

Pada 1950-an pertunjukan tari telanjang berlangsung di GetaiShows yang dilakukan oleh kelompok spesialis tari telanjang. Pertunjukan ini memberkan citra buruk karena kabar bahwa sebagian dari penari bekerja sebagai pekerja seks. Selama satu dekade kepolisian melaksanakan operasi untuk menurunkan jumlah pekerja seks dan Kepala Menteri Lim Yew Hock mencari saran bagaimana jumlah pekerja seks bisa dibatasi. Aktivis hak perempuan Shirin Fozdar mendeskripsikan Singapura sebagai "satu rumah bordil besar"[8] dan pusat kota menjadi pusat regional dari pekerja seks. Partai Tindakan Rakyat dibawah kepemimpinan Lee Kuan Yew awalnya melarang kegiatan pelacuran saat mereka memegang kekuasaan pada akhir 1950-an, dan mengganti strategi dengan pembatasan pada pertengahan 1960-an.[9]

Dari 1950-an sampai dengan awal 1980-an Bugis Street terkenal dengan pertunjukan malam bertema dewasa yang dilakukan oleh transgender dan sekelompok pekerja seks yang juga mencari pelanggan.[10] Johore Road yang letaknya berdekatan juga menjadi bagian dari distrik lampu merah pada 1960-an sampai dengan 1970-an dimana pekerja seks transgender membuka jasanya di ruko dan lorong. Pemberantasan pekerja seks dimulai pada 1970-an, dan bisnis tersebut tersebar ke area sekitar seperti Jalan Besar. Bugis Street lama dihancurkan pada pertengahan 1980-an dan Johore Road menghilang diakhir 1990-an.[11]

Seks Komersial dengan Orang di Bawah Umur

sunting

Setiap orang yang memperoleh layanan seks dari seseorang dibawah umur 18 tahun (dengan kata lain, melakukan transaksi seks dengan orang tersebut) melanggar hukum dan dapat dihukum dengan hukuman penjara sampai dengan tujuh tahun atau denda atau keduanya.[12] Istilah jasa seksual didefinisikan sebagai jasa seksual yang melibatkan penetrasi seksual ke vagina atau anus dari seseorang dengan menggunakan bagian tubuh seseorang selain penis atau dengan menggunakan hal lain atau penetrasi ke vagina, anus, atau mulut seseorang menggunakan penis pria.[13] Juga merupakan sebuah pelanggaran jika seseorang berkomunikasi dengan orang lain dengan tujuan untuk mendapatkan jasa seks dari orang berusia dibawah 18 tahun.[14] Hukum ini juga berlaku di luar Singapura.[15]

Adalah kejahatan bagi seseorang untuk:

  • Membuat atau mengatur rencana perjalanan apapun untuk memfasilitasi pesanan dari seseorang yang melakukan pelanggaran kepada pasal 376 C (pelanggaran berkaitan dengan seks komersil dengan seseorang berusia dibawah 18 tahun di luar Singapura), apakah tindakan tersebut telah dilakukan ataupun tidak dilakukan.[16]
  • Mentransportasikan seseorang ke tempat diuar Singapura dengan tujuan untuk memfasilitasi pesanan seseorang yang melakukan pelanggaran pada pasal 376C, apakah tindakan tersebut telah dilakukan ataupun tidak dilakukan[17] atau
  • Mencetak, mempublikasikan atau mendistribusikan informasi yang dimaksudkan untuk mempromosikan kegiatan yang melanggar pasal 376C atau membantu orang untuk melalukan hal tersebut.[18]

Orang yang dinyatakan bersalah atas pelanggaran tersebut dapat dihukum penjara sampai dengan 10 tahun atau denda atau keduanya.[19]

Mucikari

sunting

Merupakan pelanggaran pidana untuk:

  • Menjual, membiarkan untuk disewa atau dengan cara lain membeli atau menyewa atau mendapatkan kepemilikan wanita atau gadis manapun dengan tujuan akan menjadi mereka pekerja atau digunakan untuk tujuan pelacuran dengan atau tanpa warga negara Singapura, atau mengetahui atau memiliki alasan untuk percaya bahwa mereka akan dipekerjakan atau digunakan.[20]
  • Mendapatkan wanita atau gadis dengan atau tanpa hubungan jasmani dengan warga negara Singapura diluar hubungan perkawinan dengan pria atau untuk tujuan pelacuran dengan atau tanpa Singapura.[21]
  • Dengan ancaman atau intimidasi untuk mendapatkan wanita atau gadis untuk melakukan hubungan badan diluar hubungan perkawinan dengan pria manapun dengan atau tanpa Singapura.[22]
  • Membawa ke Singapura, menerima atau menampung wanita atau gadis manapun atau mempunyai alasan untuk percaya bahwa mereka diperoleh untuk tujuan berhubungan badan diluar hubungan perkawinan dengan pria manapun atau untuk tujuan pelacuran dengan atau tanpa Singapura dan dengan keinginan untuk membantu tercapai tujuan tersebut.[23]
  • Mengetahui atau memiliki alasan untuk percaya bahwa wanita atau gadis manapun didapatkan dengan ancaman dan itimidasi untuk alasan agar bisa melakukan hubungan badan diluar hubungan perkawinan dengan pria manapun, dengan atau tanpa Singapura, untuk menerima atau menampung wanita atau gadis dengan tujuan agar tercapainya tujuan tersebut.[24]
  • Mengetahui atau mempunyai alasan untuk percaya bahwa setiap wanita dan gadis yang dibawa ke Singapura melanggar pasal 142 dari Woman Charter atau telah dijual atau dibeli yang melanggar pasal 140(1)(a), untuk menerima atau menampung wanita atau gadis dengan tujuan agar mereka dipekerjakan atau digunakan untuk kegiatan pelacuran, dengan atau tanpa Singapura.[25]
  • Menahan wanita atau gadis apapun secara paksa di tempat manapun dengan tujuan agar mereka melakukan hubungan seksual diluar hubungan perkawinan dengan pria manapun atau menahan wanita atau gadis secara paksa di rumah bordil.[26]
  • Menahan wanita atau gadis manapun di tempat apapun secara paksa dengan niatan agar mereka dipekerjakan atau digunakan untuk tujuan pelacuran atau tujuan pelanggaran hukum apapun atau tujuan tidak bermoral.[27]
  • Percobaan untuk melakukan tindakan yang tertulis di atas.[28]

Hukuman atas tindakan mucikari maksimal selama lima tahun dan denda maksimal $10.000.[29] Pria yang terbukti secara hukum melakukan pelanggaran hukum di atas[30] untuk kedua kali dan seterusnya dapat dihukum pukulan rotan sebagai tambahan dari hukuman penjara.[31]

Pelacuran dan Penegakan Hukum dalam Praktik

sunting

Pelacuran menempati posisi ambivalen di masyarakat Singapura. Kontrol pembatasan besar diterapkan walaupun pelacuran merupakan kegiatan legal.[9] Polisi secara tidak resmi mentoleransi dan mengawasi beberapa rumah bordil, dimana pekerja seks secara rutin melakukan cek kesehatan, akan tetapi pekerja seks di luar rumah bordil juga ada seperti melalui agensi pendamping sosial yang menggunakan situs web dan Facebook. Pelacuran di luar distrik lampu merah yang ditunjuk secara informal beropasi melalui tiga saluran utama yaitu iklan internet, menjajakan diri di jalan, karaoke box serta pekerja panti pijak. Pekerja seks yang memasang iklan daring beroperasi di hotel tanpa nama, dan profil dari setiap pekerja seks tersedia di iklan internet. Calon pelanggan menghubungi agen pekerja seks melalui layanan pesan singkat, yang mengatur jam dan memberikan alamat hotel kepada pelanggan. Pekerja seks yang beroperasi melalui mucikari ilegal terutama datang dari Thailand, Tiongkok, dan Filipina melalui visa kunjungan turis, sehingga tidak melakukan cek kesehatan berkala. Terdapat juga tukang pijat, terapis, wanita panggilan, dan social escorts lokal Singapura yang bekerja sebagai pekerja seks yang berdalil sebagai pelajar dari institusi pendidikan lokal, seperti politeknik, model, pekerja profesional atau mantan pramugari. Beberapa menyatakan diri memiliki sertifikat terapis. Terlepas dari Tionghoa Singapura yang mampu berbicara dua bahasa yaitu bahasa Inggris dan juga bahasa ibu seperti bahasa Mandarin, ras etnis lain di Singapura seperti wanita dari etnis Melayu dan India yang bekerja sebagai social escorts sering kali menggunakan nama dalam bahasa Inggris, Eropa, dan Rusia. Pekerja seks dari Vietnam di Singapura memiliki harga yang tinggi untuk layanan yang mereka sediakan.[32]

Terdapat daerah abu-abu seperti layanan social escorts yang tidak melanggar woman charter di hukum Singapura[butuh rujukan].

Terlepas dari rumah bordil regular, pekerja seks komersial juga bisa ditemukan di tempat "panti pijat" dan "spa". Beberapa panti pijat termasuk gerai tui na mempekerjakan wanita dari Tiongkok dan menawarkan pijat sebagai dalil dari layanan seksual tambahan.[33] Aktivitas ini merupakan aktivitas ilegal, dan operator panti pijak terancam hukuman penjara jika digerebek oleh petugas kepolisian. Namum, hampir setiap orang yang mengunjungi tempat tersebut menyadari bahwa disana disediakan layanan seksual, dan mereka datang kesana karena itu. Distrik lampu merah utama di Singapura terletak di Geylang. Orchard Towers memiliki julukan "empat lantai pelacur" merupakan pusat perbelanjaan yang sering dikunjungi oleh pelacur. Beberapa bar di Duxton Hill juga menawarkan jasa seksual, dan yang paling kontroversial teretak di basemen gedung Adelphi yang juga terdapat beberapa firma hukum di gedung yang sama[34][35] serta terletak tidak jauh dari gedung Kementerian Hukum Singapura.

Penggerebekan Kejahatan

sunting

Ketika tahun 2015 menjelang akhir, terdapat peningkatan sekitar 40% dari perilaku kejahatan komersil termasu pelacuran, dan penipuan terkait kegiatan seksual yang melibatkan internet dan masyarakat telah diingatkan oleh National Crime Prevention Council (Singapore) untuk waspada terhadap kegiatan kontroversial seperti sugar mommies[36], penipuan kredit atau penipuan internet love[37]. Dengan panti pijat sensual dan kegiatan kejahatan terkait seks juga muncul di daerah pinggiran kota seperti Woodlands, Sembawang, Sengkang, Selatan Jurong, Yishun, Pecinan, dan River Valley,[38][39] Pemerintah Singapura mencari beragam pilihan dari peraturan dan menghukum pelanggar seperti kasus pekerja seks ilegal atau rumah bordil ilegal.

Pada 2016, sebagai contoh pengadilan menghukum Chew Tiong Wei dengan pidana penjara 85 bulan dan denda S$130.000 karena menjalankan bisnis mucikari daring[40] dan menghindari pajak pendapatan senilai S$26.964,65.[41]

Terdapat pula laporan kasus aktivitas malam yang melibatkan pekerja seks transgender di tempat parkir kendaraan yang terletak di old Woodlands Town Garden yang berada tidak jauh dari Jalan Layang Johor–Singapura.[42] Terdapat kemungkinan transgender asal Malaysia bekerja sebagai pegawai tetap di Singapura dan bekerja sampingan agar mendapatkan uang tambahan untuk operasi ganti kelamin.[43] Halimah Yacob, Anggota Parlemen pada 2016 mengumumkan perubahan yang melibatkan National Parks Board untuk menghilangkan tempat untuk pekerjaa n seks dengan merenovasi taman dan mall yang ada disana.[44]

Terdapat juga kasus langka dimana seseorang berpura-pura menjadi polisi dengan niatan untuk merampok pekerja seks. Perbuatan tersebut melanggar hukum di Singapura, seperti kasus yang melibatkan Teo Zhi Jie, Melvin Tan Shen Kang, Andrew Tan Zhi Wei dan Lee Qing Yew. Teo Zhi Jie dihukum penjara dua tahun tujuh bulan dan 12 hukuman cambuk.[45]

Perdagangan Seks

sunting

Singapura merupakan negara tujuan bagi wanita dan gadis dari negara-negara di Asia yang menjadi korban perdagangan seks dan sumber negara untuk wanita dan anak-anak Singapura yang menjadi korban perdagangan seks. Beberapa dari 965.000 pemegang izin kerja atau seperempat angkatan kerja Singapura rentan terhadap perdagangan seks, sebagian besar korban bermigrasi sukarela. Pelaku perdagangan memaksa korban untuk dieksploitasi secara seksual melalui penahanan gaji, ancaman pemulangan paksa tanpa dibayar, pembatasan pergerakan, dan pelecehan fisik dan seksual. Wanita asing terkadang datang di Singapura dengan tujuan untuk terjun ke dunia pelacuran tetapi berada dibawah ancaman kekerasan atau bentuk kekerasan lain sehingga mereka menjadi korban perdagangan seks.[46]

Departemen Luar Negeri Amerika Serikat untuk Memantau dan Memerangi Perdagangan Orang menempatkan Singapura sebagai negara kategori ' Tingkat 2 '.[47]

Referensi

sunting
Catatan
  1. ^ "2008 Human Rights Report: Singapore". U.S. Department of State. 25 February 2009. Diakses tanggal 25 February 2016. 
  2. ^ a b c d e f g Abshire, Jean (2011). The History of Singapore. The Greenwood Histories of the Modern Nations. ABC-CLIO. hlm. 70. ISBN 9780313377433. 
  3. ^ a b Lai, Chee Kien (July 2006). "Multi-ethnic Enclaves around Middle Road: An Examination of Early Urban Settlement in Singapore". Biblioasia. 2 (2): 8–9. ISSN 0219-8126. 
  4. ^ Warren, James Francis (2003). Ah Ku and Karayuki-san: Prostitution in Singapore, 1870-1940. NUS Press. hlm. 61. ISBN 9789971692674. 
  5. ^ a b c Hirakawa, Hitoshi; Shimizu, Hiroshi (2002). Japan and Singapore in the World Economy: Japan's Economic Advance into Singapore 1870-1965. Routledge Studies in the Modern History of Asia. Routledge. ISBN 9781134651733. 
  6. ^ Hicks, George (1997). The Comfort Women: Japan's Brutal Regime of Enforced Prostitution in the Second World War. W. W. Norton & Company. hlm. 129–130. ISBN 9780393245530. 
  7. ^ Tan, Kevin (2008). Marshall of Singapore: A Biography. Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 140. ISBN 9789812308788. 
  8. ^ Ho Hui Lin (2013–14). The 1950s Striptease Debates in Singapore: Getai and the Politics of Culture (Tesis). National University of Singapore. https://scholarbank.nus.edu.sg/bitstream/10635/49345/1/HoHL%20MA%20thesis.pdf. 
  9. ^ a b Ling, Khong How; Jomo, K.S. (2009). Labour Market Segmentation in Malaysian Services. Book collections on Project MUSE. NUS Press. hlm. 35. ISBN 9789971694876. 
  10. ^ Johnny Chen (26 June 2014). "The Original Bugis Street". Ghetto Singapore. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-06-10. Diakses tanggal 2020-06-10. 
  11. ^ Belmont Lay (14 December 2017). "Why do Desker Road & Rowell Road have brothels with transgender prostitutes?". Mothership. Singapore. 
  12. ^ Penal Code (Cap. 224, 2008 Rev. Ed.), s. 376B(1). It is not an offence to obtain sexual services from one's own spouse: s. 376B(3).
  13. ^ Penal Code, s. 376B(4).
  14. ^ Penal Code, s. 376B(2); the penalty is imprisonment for up to two years, a fine, or both.
  15. ^ Penal Code, s. 376C.
  16. ^ Penal Code, s. 376D(1)(a).
  17. ^ Penal Code, s. 376D(1)(b).
  18. ^ Penal Code, s. 376D(1)(c). Publication of information means the publication of information by any means, whether by written, electronic or other form of communication: s. 376D(2).
  19. ^ Penal Code, s. 376D(3).
  20. ^ Women's Charter, s. 140(1)(a).
  21. ^ Women's Charter, s. 140(1)(b).
  22. ^ Women's Charter, s. 140(1)(c).
  23. ^ Women's Charter, s. 140(1)(d).
  24. ^ Women's Charter, s. 140(1)(e).
  25. ^ Women's Charter, s. 140(1)(f).
  26. ^ Women's Charter, s. 140(1)(g).
  27. ^ Women's Charter, s. 140(1)(h).
  28. ^ Women's Charter, s. 140(1)(j).
  29. ^ Women's Charter, 140(1)
  30. ^ Women's Charter, ss. 140(1)(a) to (f).
  31. ^ Women's Charter, s. 140(2).
  32. ^ "More bang for your buck: How new technology is shaking up the oldest business". The Economist. 9 August 2014. 
  33. ^ Koh, Hui Theng (18 Apr 2012). "He wanted massage, but was offered 'special'". The New Paper. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-04-02. Diakses tanggal 24 February 2016. 
  34. ^ "ENGELIN TEH PRACTICE LLC". Diakses tanggal 24 February 2016. 
  35. ^ "Contact Us". Genesis Law Corporation. Genesis Law Corporation. Diakses tanggal 24 February 2016. 
  36. ^ Cheong, Danson (23 Feb 2016). "Online "sugar mummy" scams on the rise: police". Diakses tanggal 24 February 2016. 
  37. ^ "Don't be a victim Know the scams". Scam Alert Singapore. National Crime Prevention Council. Diakses tanggal 24 February 2016. 
  38. ^ Foo, Jie Ying (7 November 2015). "One-woman anti-vice squad". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-05. Diakses tanggal 24 February 2016. 
  39. ^ Cheong, Danson (10 July 2015). "34 women, 2 men arrested in 2-day anti-vice sweep". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-10-20. Diakses tanggal 24 February 2016. 
  40. ^ Hussain, Amir (11 Feb 2016). "Online vice ring pimp who received nearly $2.6m in revenue over 5 years jailed". Diakses tanggal 24 February 2016. 
  41. ^ Hussain, Amir (12 Feb 2016). "Online pimp jailed and fined for evading more than $26,000 in income tax". Diakses tanggal 24 February 2016. 
  42. ^ Cheong, Danson (11 October 2015). "MP pledges to clean up sleazy Woodlands park". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-05. Diakses tanggal 24 February 2016. 
  43. ^ "'Sisters' peddle sex in cars at park". Straits Times. 11 Oct 2015. Diakses tanggal 24 February 2016. 
  44. ^ Cheong, Danson (11 October 2015). "MP pledges to clean up sleazy Woodlands park". The Straits Times (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 31 March 2018. 
  45. ^ Chong, Elena (24 February 2016). "Man robbed, tied up 2 Chinese masseuses". Asia One. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-05. Diakses tanggal 2020-06-10. 
  46. ^ "Singapore 2018 Trafficking in Persons Report". U.S. Department of State. Diarsipkan dari versi asli tanggal 30 July 2018. Diakses tanggal 30 July 2018.    Artikel ini memuat teks dari sumber tersebut, yang berada dalam ranah publik.
  47. ^ "Singapore 2018 Trafficking in Persons Report". U.S. Department of State. Diarsipkan dari versi asli tanggal 30 July 2018. Diakses tanggal 30 July 2018.    Artikel ini memuat teks dari sumber tersebut, yang berada dalam ranah publik.
Artikel
Buku

Pranala luar

sunting