Gaweda alias Tadjongga, yang lebih dikenal dengan nama Papa i Melempo, adalah seorang Kabose dari To Kadombuku dan To Lage, sebuah sub-suku Pamona yang saat ini mendiami wilayah Lage, Sulawesi Tengah. Ia adalah orang yang berperan dalam mendamaikan rangkaian peperangan yang terjadi antara To Napu dan To Ondae yang berlangsung sejak tahun 1892 hingga 1902.[1] Papa i Melempo wafat saat menjabat sebagai Kepala Distrik Lage, dan posisinya digantikan oleh Talasa, keponakannya yang di kemudian hari akan menjabat sebagai Raja dari Kerajaan Poso.[2]

Papa i Melempo pada tahun 1903
Foto oleh C. W. Th. van Boetzelaer

Peran sebagai Kabose

sunting

Albertus Christiaan Kruyt, misionaris Belanda, menggambarkannya sebagai seorang pria bertubuh kecil dan kurus. Meskipun demikian, namanya dikenal di seantero Sulawesi Tengah, dan dirinya diakui dan diperhitungkan oleh semua orang.[3]

Bagi kami, ini adalah jawaban yang sangat biasa; Tetapi jika seseorang mengetahui keserakahan orang-orang Toraja, maka seseorang harus mengakui bahwa jawaban Papa i Melempo membuktikan bahwa ia tidak mementingkan diri sendiri.

Albertus Christiaan Kruyt, misionaris Belanda.[1]

Sekitar tahun 1892 hingga 1902, rangkaian perang suku yang terjadi antara To Napu menghadapi To Ondae terus menerus terjadi, dan memakan korban 194 jiwa di kedua belah pihak. Rangkaian upaya untuk perdamaian antara Ondae dan Napu akhirnya berakhir dengan kesepakatan pada tahun 1898.[a] Papa i Melempo bersama dengan keponakannya, Talasa, diutus sebagai tokoh netral dan perwakilan dari To Lage. Sesuai dengan adat yang berlaku di tanah Poso, seseorang yang ingin mendamaikan kedua pihak yang bertikai, harus membeli dua ekor kerbau, dan diberikan kepada pihak-pihak yang bertikai. Sesuai adat yang sama, semua penghuni desanya turut membeli kerbau. Syarat tersebut sebenarnya sudah terpenuhi, tetapi Papa i Melempo masih berniat untuk mencukupinya, dan berkata: "Jika masih belum cukup, saya juga ingin berkontribusi". Hal ini dilakukannya, dan perdamaian antara kedua suku pun tercipta.

Kruyt, dalam laporannya yang bertajuk "Posso", menyebutkan bahwa Papa i Melempo adalah orang yang tidak mementingkan diri sendiri dan pemberani. Ini dibuktikan saat rombongan besar Datu Luwu yang berkuasa atas orang-orang Poso sedang dalam perjalanan ke Poso. Desas-desus yang beredar menyebutkan bahwa mereka datang untuk mengusir orang-orang Belanda dan guru-guru yang didatangkan dari Minahasa. Peristiwa ini membuat semua orang Poso ketakutan, mereka bahkan tidak berani mendatangi rumah guru lagi untuk menerima pendidikan. Hanya Papa I Melempo yang menyatakan secara terbuka: "Dia yang masih memiliki hati untuk melindungi para guru, bisa bergabung bersama kami." Kruyt memuji tindakan ini, menyebutnya sebagai seorang "pemberani".[1]

Kehidupan pribadi

sunting

Papa i Melempo adalah orang pertama di Poso yang mengirimkan anaknya untuk bersekolah. Setiap kali misionaris Belanda melakukan kunjungan bulanan, dia tidak akan pernah melewatkan momen ini, mendengarkan para misionaris, diam dan penuh perhatian. Meskipun sering mengikuti acara ini, dia tidak pernah mengungkapkan bagaimana pendapatnya tentang Injil, tetapi dia sudah tahu dan mengerti banyak tentang hal itu.[4]

Catatan

sunting
  1. ^ Sumber lain menyebutkan bahwa perdamaian ini terjadi pada tahun 1905.

Referensi

sunting

Daftar pustaka

sunting