Pantun Betawi
Pantun Betawi adalah pantun yang berasal dari tradisi lisan masyarakat Betawi dengan larik tanpa susunan tertentu. Isi Pantun Betawi berupa ungkapan perasaan dengan nilai etika dan ajaran-ajaran agama Islam. Pantun Betawi merupakan pengembangan Pantun Melayu pada abad ke-17 dan ke-18 dan pantun Gujarat abad ke-15. Gaya penyajiannya spontan, lugas dan bebas.[1]
Sejarah
suntingPantun menjadi bagian dari kebudayaan Betawi ketika masyarakatnya belum mengenal tulisan. Penyebaran pantun sepeenuhnya dilakukan melalui tradisi lisan. Hal ini membuat hal apapun dapat disampaikan secara bebas. Pada perkembangannya, Pantun Betawi menjadi bagian dari tradisi pernikahan masyarakat Betawi. Pantun Betawi menjadi alat penyampaian pesan tentang etika, moral, dan keagamaan.[2] Pantun Betawi menjadi bagian dari budaya masyarakat di Karawang, Tambun, Bekasi, Depok, Cimanggis, Cibinong, Ciputat, Tangerang, dan Jakarta.[3]
Pemaknaan
suntingMasyarakat Betawi menggunakan Pantun Betawi untuk mengungkapkan keadaan sosial masyarakatnya. Selain itu, Pantun Betawi juga digunakan untuk mengungkapkan kesamaan hak manusia dalam segala hal, termasuk kehidupan berumah tangga serta hubungan antara menantu dan mertua.[4] Sampiran pada Pantun Betawi berfungsi untuk menyamakan bunyi dan menyatakan kelugasan dan pengungkapan perasaan sesuka hati.[5] Berkenaan dengan isi pantun, sejumlah besar pantun Betawi, selain coba mengungkapkan berbagai nasihat yang berkaitan dengan etika, moral, adab, sopan santun, dan ajaran-ajaran agama, juga begitu banyak memuat kritik sosial.[5]
Penggunaan
suntingMasyarakat Betawi menggunakan Pantun Betawi dalam tradisi pernikahan yang disebut Palang Pintu.[6] Mempelai perempuan menggunakannya untuk menanyakan kesanggupan mempelai laki-laki dalam memenuhi persyaratan untuk menikah. Isi pantunnya berupa nasihat bagi kedua mempelai dan keluarganya.[7] Kedua mempelai kemudian akan saling berbalas pantun dan diikuti oleh balasan pantun dari masing-masing keluarga. Penggunaan Pantun Betawi disertai dengan kata-kata humor, tetapi tetap memperhatikan sopan santun.[8]
Referensi
sunting- ^ Mega dan Nurhablisyah 2013, hlm. 49.
- ^ Anggraeni, Hakam, Mardhiah, dan Lubis 2019, hlm. 104.
- ^ Maulina 2012, hlm. 118.
- ^ Maulina 2012, hlm. 119.
- ^ a b Maulina 2012, hlm. 118–119.
- ^ Melinda dan Paramita 2018, hlm. 219.
- ^ Melinda dan Paramita 2018, hlm. 220.
- ^ Anggraeni, Hakam, Mardhiah, dan Lubis 2019, hlm. 109.
Daftar pustaka
sunting- Anggraeni, D., Hakam, A., Mardhiah, I., dan Lubis, Z. (2019). "Membangun Peradaban Bangsa Melalui Religiusitas Berbasis Budaya Lokal (Analisis Tradisi Palang Pintu Pada Budaya Betawi)". Jurnal Studi Al-Qur’an. 15 (1): 95–116. doi:10.21009/JSQ.015.1.05. ISSN 2339-2614.
- Maulina, Dinni Eka (2012). "Keanekaragaman Pantun di Indonesia". Semantik. 1 (1): 107–121. ISSN 2549-6506.
- Melinda, A., dan Paramita, S. (Desember 2018). "Makna Simbolik Palang Pintu Pada Pernikahan Etnis Betawi di Setu Babakan". Koneksi. 2 (2): 218–225. doi:10.24912/kn.v2i2.3888. ISSN 2598-0785.
- Mega dan Nurhablisyah (2013). "Memopulerkan Pantun Betawi melalui Produk Distro". Jurnal Desain. 1 (1). ISSN 2339-0115.