Pangeran Walangsungsang
Pangeran Walangsungsang (bahasa Sunda:
Cakrabuana ᮎᮊᮢᮘᮥᮝᮔ | |||||
---|---|---|---|---|---|
Tumenggung Cirebon[a] | |||||
Berkuasa | 1460 – 1479 | ||||
Mulai berkuasa | 1460 | ||||
Penerus | Syarif Hidayatullah | ||||
Kelahiran | Pangeran Walangsungsang 1423 Pakuan Pajajaran, Kerajaan Sunda | ||||
Kematian | 1529 (umur 105–106)[1][2] Nagari Cirebon | ||||
Pasangan |
| ||||
Keturunan | Dari Nyi Rasa Jati
Dari Nyimas Kencana Larang
anak angkat
| ||||
| |||||
Aksara Sunda Baku | ᮎᮊᮢᮘᮥᮝᮔ | ||||
Huruf Pegon | چاكرابووانا | ||||
Ayah | Prabu Siliwangi | ||||
Ibu | Nyi Subang Larang | ||||
Agama | Islam |
Pangeran Walangsungsang, menurut Naskah Mertasinga, keluar dari Istana karena kecewa atas perlakuan Prabu Siliwangi kepada ibunya, Dia bersama Rara Santang, kemudian pergi dan pada akhirnya menjadi cikal bakal berdirinya Cirebon, Pangeran Walangsungsang beradasarkan sejumlah sumber menikah dengan dua wanita dan memiliki 10 orang anak, yakni 8 wanita dan 2 pria. Istri Walangsungsang diantaranya adalah Nyimas Indang Geulis yang melahirkan putri pakungwati Yang kemudian menikah dengan Sunan Gunung Jati.[5]
Perjalanan ke Mekkah
suntingPada Tahun 1448[b] Atas anjuran Syekh Datuk Kahfi, Walangsungsang dan Lara Santang berlayar ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Kota Mekkah saat itu berada di bawah naungan Kesultanan Mamluk yang berpusat di Mesir. Kedua bangsawan Sunda ini hidup di Mekkah selama tiga bulan, di bawah bimbingan Syekh Bayanullah (saudara Syekh Datuk Kahfi). Selama di Mekkah, Walangsungsang dan Lara Santang masing-masing mengambil nama Arab, yakni Haji Abdullah Iman dan Syarifah Mudaim. Lara Santang kemudian menikah dengan seorang amir atau bangsawan setempat bernama Syarif Abdullah[8], dan berputrakan Syarif Hidayatullah (kelak menjadi tokoh berpengaruh di Jawa) yang dipekirakan lahir pada tahun itu juga. Ia tampaknya menetap di sana bersama suami dan putranya, sementara Walangsungsang pulang ke Cirebon.
Masa pemerintahan
suntingWalangsungsang berkuasa sebagai Kuwu Cirebon menggantikan Ki Gede Alang-Alang. Ia kemudian memproklamirkan Cirebon sebagai sebuah Nagari[c], di mana ia meleburkan seluruh Nagari Singapura[d] ke dalam kekuasaannya. Ia juga menyatukan Nagari di sekelilingnya, yakni Surantaka, Wanagiri, dan Japura ke dalam Kesultanan Cirebon. Sejak saat itu, Walangsungsang lebih dikenal dengan nama barunya, Pangeran Cakrabuana. Pada masa pemerintahannya, wilayah kekuasaan Cirebon berbatasan dengan Cimanuk (Indramayu) di barat, Rajagaluh (Majalengka), Saunggalah (Kuningan), Dayeuhluhur, dan Pasirluhur (Cilacap-Banyumas) di selatan, Paguhan (Tegal-Pemalang) di timur, dan Laut Jawa di utara. Pelabuhan utamanya adalah Muara Jati. Cakrabuana tetap berkuasa di bawah Kerajaan Galuh. Ia mengirimkan upeti (bulubekti) tahunan kepada Tohaan ("Yang Dipertuan") atau Raja Galuh yang juga merupakan kakeknya, Dewa Niskala. Sang kakek mengirim misi perutusan ke Cirebon untuk melantik Cakrabuana secara resmi sebagai raja daerah dengan gelar Tumenggung Sri Mangana. Misi ini dipimpin oleh Tumenggung Jagabaya dan Raden Kian Santang (adik kandung Cakrabuana). Kian Santang kemudian menetap di Cirebon mendampingi kakaknya.[9]
Kedatangan Syarif Hidayutullah
suntingPada tahun 1474, Syarif Hidayatullah berangkat ke Jawa untuk mendakwahkan agama Islam. Sebelumnya, ia telah banyak berguru kepada sejumlah ulama Arab di Kesultanan Mamluk, khususnya di Mekkah dan Baghdad. Dalam perjalanan ke Jawa, ia singgah di Gujarat dan Pasai. Di Pasai, ia bertemu dengan Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri.
Setahun kemudian, pada tahun 1475,[e] Syarif Hidayatullah tiba di Jawa. Ia mendarat di Banten, dan tampaknya bertemu dengan Sunan Ampel, seorang ulama anggota Dewan Walisanga. Ia mengajaknya ke pesantren yang dipimpinnya di Ampeldenta (Surabaya) dan menggemblengnya sebagai seorang pendakwah. Ia akhirnya diangkat sebagai anggota Walisanga, dengan tugas menyebarkan Islam di Tatar Sunda (Jawa Barat). Setelah itu, Syarif Hidayatullah akhirnya berlayar ke Cirebon, didampingi sekelompok pelaut India pimpinan Dipati Keling, yang telah memeluk Islam dan mengabdi kepadanya.[11] Sesampainya di Cirebon, ia disambut oleh pamannya, Cakrabuana. Oleh sang paman (uwa), Syarif Hidayatullah dianugerahi gelar Syekh Maulana Jati. Ia bermukim di daerah Gunungjati, dan menjadi pendakwah Islam utama di sana menggantikan Syekh Datuk Kahfi (yang telah lama wafat). Ia juga sempat tinggal di Banten, di mana ia berhasil mengislamkan Bupati Kawunganten dan menikahi putrinya, Nyai Ratu Kawunganten.[12] Pada tahun yang sama, Maharaja Sunda, Niskala Wastukancana wafat setelah memerintah selama 104 tahun. Pasca kematiannya, Kerajaan Sunda kembali dibagi dua, dengan Sunda (beribukota di Pakwan) di bawah Susuktunggal atau Sang Haliwungan dan Galuh (beribukota di Kawali) di bawah Dewa Niskala atau Prabu Anggalarang.
Pernikahan Syarif Hidayatullah dengan Dewi Pakungwati
suntingPada tahun 1478, Syarif Hidayatullah menikahi Dewi Pakungwati, putri Pangeran Cakrabuana (dalam arti lain sepupu Syarif Hidayatullah). Pangeran Sabakingking lahir.[12] Ia merupakan putra dari sang Syarif dengan Ratu Kawunganten, yang pada abad berikutnya akan menjadi seorang tokoh berpengaruh yang mendampingi ayahnya. Pada tahun yang sama, Kesultanan Demak dideklarasikan sebagai negara merdeka di Jawa Tengah oleh Raden Patah dan Walisanga, menyusul pecahnya kudeta di Majapahit yang menewaskan Bhre Kertabhumi, ayah Raden Patah.
Pengunduran diri Pangeran Cakrabuana
suntingPada tahun 1479, Syarif Hidayatullah diangkat menjadi Tumenggung Cirebon (didukung Wali Sanga), menggantikan pamannya yang mengundurkan diri secara sukarela.[13][14] Ia tetap tunduk sebagai raja daerah Galuh dan mengirim upeti ke Kawali, setidaknya hingga tiga tahun kemudian. Sementara itu, Pangeran Cakrabuana selanjutnya lebih banyak hidup sebagai pengembara, meskipun sesekali tetap mendampingi keponakannya dalam memerintah di Cirebon. Masih pada tahun yang sama, Syarif Hidayatullah pergi ke Demak atas undangan Raden Patah dan para wali. Mereka pun mengangkat Syarif Hidayatullah sebagai Panatagama Rasul ing Tanah Pasundan (“Penyiar Agama Rasul di Tanah Sunda”). Sejak saat itu, hubungan Cirebon dan Demak pun mulai terjalin. Syarif Hidayatullah kemudian juga turut serta membangun Masjid Agung Demak[15], dengan mendirikan sebuah tiang besar sebagai salah satu dari empat sokoguru di dalam masjid itu.
Cirebon pasca-pemerintahan Pangeran Cakrabuana
suntingSetelah pengunduran diri Pangeran Cakrabuana. Pada tahun 1480, Syarif Hidayatullah mendirikan Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Dalam pembangunannya, ia dibantu oleh beberapa Walisanga lainnya (Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Drajat, dan Sunan Kudus) serta Raden Sepat, seorang arsitek Jawa dan bekas petinggi Majapahit dari Demak. Raden Sepat kemudian mengabdi kepada Syarif Hidayatullah dan membantu memajukan pembangunan di Cirebon.
Setahun kemudian pada 1481, Syarif Hidayatullah berkunjung ke Kekaisaran Cina (Dinasti Ming). Di sini, Syarif Hidayatullah menikah dengan Ong Tien Nio, seorang putri setempat.[f] Ia membawa istri barunya itu kembali ke Cirebon. Keduanya tampaknya memiliki seorang putra, yakni Suranggajaya atau Arya Kamuning.[g] Kedatangan Ong Tien Nio ke Cirebon memberikan pengaruh bagi Keraton Pakungwati, di mana unsur-unsur kebudayaan Cina seperti porselin, guci, dan hiasan dinding ditempatkan di banyak sudut istana, serta sejumlah bangunan penting lain seperti masjid.
Proklamasi dari Nagari ke Kesultanan
suntingpada tahun 1482, Syarif Hidayatullah memproklamasikan Cirebon sebagai kerajaan yang merdeka dari Galuh maupun Sunda. Beban upeti ditambah usaha untuk memperluas pengaruh Islam tampaknya menjadi penyebabnya. Sebagai raja merdeka, Syarif Hidayatullah mengangkat dirinya dengan gelar baru, Susuhunan Jati Purbawisesa alias Sunan Gunung Jati. Ia juga mengganti nama istana kediamannya, Jalagrahan, menjadi Keraton Pakungwati, yang tetap berlokasi di daerah Kebon Pesisir atau Kota Cirebon. Ia tampaknya juga merombak pembagian wilayah kekuasaannya, dengan meleburkan nagari-nagari Surantaka, Singapura, dan Wanagiri menjadi dua kadipaten baru, Cirebon Girang dan Cirebon Larang, serta membentuk nagari baru, Losari yang dipecah dari Japura. Deklarasi kemerdekaan Cirebon disambut dengan keras oleh Sri Baduga Maharaja, yang segera mengirim pasukan pimpinan Tumenggung Jagabaya untuk “menertibkannya kembali”. Namun, pasukan Sunda dihadang oleh seluruh penduduk Cirebon yang jumlahnya melebihi mereka. Jagabaya pun menyerah kalah, dan bersama seluruh prajuritnya akhirnya memutuskan untuk mengabdi kepada Sunan Gunung Jati dan masuk Islam.
Renovasi Keraton Pakungwati
suntingTahun 1483, Sunan Gunung Jati melakukan renovasi Keraton Pakungwati. Ia memperluas kompleks istana itu dan menambahkan bangunan-bangunan pelengkap. Ia juga membangun tembok pertahanan setinggi 2 meter yang mengelilingi ibukota Cirebon, yang dilengkapi dengan pintu gerbang bernama Lawang Gada. Pembangunan infrastruktur lain juga dilakukan, seperti pembangunan pangkalan perahu di tepi Sungai Kriyan, istal (stable) kuda kerajaan, dan pos-pos penjagaan. Pelabuhan Muara Jati juga diperbaiki dan disempurnakan, dengan bantuan masyarakat Cina yang tinggal di daerah itu.[16] Di bidang keamanan, Sunan Gunung Jati juga membentuk Pasukan Jagabaya, yang difungsikan sebagai penjaga dan pemelihara keamanan di masyarakat, selayaknya polisi saat ini.[17]
Kedatangan bangsawan Arab
suntingPada tahun 1485, Serombongan bangsawan Arab dari Baghdad[h] pimpinan Maulana Abdurrahman dan dua adiknya (Maulana Abdurrahim dan Syarifah Baghdadi) tiba di Cirebon dan mengabdi kepada Sunan Gunung Jati. Mereka diterima oleh Sunan Gunung Jati, yang kemudian menikahi Syarifah Baghdadi alias Nyai Lara Baghdad. Sang Maulana sendiri kemudian dianugerahi gelar Pangeran Panjunan oleh Sunan Gunung Jati.
Setahun kemudian pada 1486, Pangeran Jayakelana, putra pertama Syarif Hidayatullah dengan Syarifah Baghdad, lahir. Disusul dengan kelahiran Pangeran Bratakelana pada 1488. Disisi lain, istri Syarif Hidayatullah dari Cina, Ong Tien Nio, wafat.[15]
Proyek pembangunan besar-besaran
suntingDengan bantuan Raden Sepat, Sunan Gunung Jati melakukan sejumlah proyek pembangunan, antara lain perluasan Keraton Pakungwati, penyelesaian pembangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa, pembuatan jalan yang menghubungkan Keraton dengan pelabuhan utama di Muara Jati dan pusat ekonomi di Pasambangan. Ini semua terjadi pada 1489.
Untuk kesekian kalinya, pada 1491, 2 tahun setelah proyek pembangunan dimulai, Syarif Hidayatullah menikah dengan Nyai Ageng Tepasari, putri dari Ki Ageng Tepasan, seorang bekas pejabat Majapahit yang mengabdi kepada penguasa Demak.[18] Dari istrinya ini, Sunan Gunung Jati memiliki dua orang anak, yakni Ratu Ayu dan Pangeran Mohammad Arifin[19] (Mohammad Arifin dilahirkan pada 1495[18]), yang nantinya akan menurunkan raja-raja Cirebon berikutnya.[20]
Dibawah Sunan Gunung Jati, Cirebon melakukan aneksasi ke Kuningan. Yang kemudian dijadikan Kadipaten dibawah Kesultanan Cirebon. Arya Kamuning kemudian ditunjuk sebagai Adipati Kuningan pada 1498.[21] Setelah aneksasi Kuningan, Sunan Gunung Jati melakukan perluasan kompleks Keraton Pakungwati. Ia mendirikan sejumlah bangunan tambahan seperti Ketumenggungan (semacam barak militer?) dan Masjid Jagabayan. Ia juga merenovasi kembali Masjid Agung Sang Cipta Rasa.[18] Sementara itu, Pangeran Cakrabuana berkunjung ke Samudera Pasai. Di sini, ia menemui rajanya (Sultan Adlullah) yang tengah sakit dan berhasil menyembuhkannya. Pangeran Cakrabuana kemudian mengadopsi salah satu putri sang Sultan, seorang bayi perempuan yang baru lahir dan telah menjadi piatu (ibunya wafat setelah melahirkan). Bayi ini dibawanya kembali ke Cirebon, kemudian dibesarkan dengan nama Gandasari. Ia menjadi saudari angkat Sunan Gunung Jati dan kelak dikenal sebagai salah satu panglima perang Cirebon.
Wafat
suntingPangeran Cakrabuana Wafat pada tahun 1529 Saat Pertempuran pecah di Pegunungan Kromong dan Gempol, yang berakhir dengan kemenangan pasukan Cirebon. Panglima perang Galuh, Arya Kiban gugur menyebabkan moral pasukan Galuh turun dan dapat dikalahkan dengan mudah. Pasukan Cirebon lalu bergerak ke Nagari Talaga di selatan. Mereka berhasil menundukkannya dan mengislamkan penduduknya.[2][22]
Catatan
sunting- ^ Pangeran Cakrabuana memakai gelar Tumenggung Lihat: buku Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cerbon 1479-1809 karya Unang Sunardjo.
- ^ Tahun menurut perkiraan Unang Sunardjo.[7]
- ^ Nagari di sini mengacu sebagai mungkin setara dengan provinsi sekarang yang sebelum eksistensi Kesultanan Cirebon telah ada. Istilah ini dipakai bukan hanya di Sumatra. Lihat: buku Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cerbon 1479-1809 karya Unang Sunardjo.
- ^ Singapura di sini bukan negara Singapura saat ini, tapi merujuk ke nama sebuah Nagari yang berkembang di Cirebon sebelum eksistensi Kesultanan Cirebon.
- ^ Tahun menurut perkiraan Unang Sunardjo.[10]
- ^ Dalam naskah-naskah tradisional Cirebon, ia disebut sebagai putri dari Kaisar Cina. Namun, kemungkinan yang lebih mendekati adalah bahwa ia adalah putri dari seorang bangsawan atau petinggi setempat (entah gubernur, syahbandar, panglima, atau saudagar). Penguasa Dinasti Ming sendiri saat itu adalah Kaisar Chenghua atau Zhu Jianshen (1464-1487).
- ^ Namun, versi yang lebih umum menyebutkan bahwa Arya Kamuning hanyalah anak angkat dari Sunan Gunung Jati dan Ong Tien Nio. Ia adalah putra dari Ki Gede Luragung yang kemudian diasuh dan diadopsi oleh Ong Tien. Pendapat tentang Arya Kamuning sebagai putra kandung mereka muncul dari interpretasi terhadap kisah “bokor/wadah kuningan” yang lahir dari perut Ong Tien, yang dianggap sebagai simbolisasi dari seorang bayi yang lahir dengan kulit kuning seperti kuningan.
- ^ Baghdad adalah salah satu kota utama di Timur Tengah. Saat itu, kota ini berada di bawah kekuasaan sebuah dinasti Turki bernama Aq Qoyunlu, yang dipimpin oleh Sultan Yaqub (1478-1490). Masyarakatnya secara umum tetap didominasi oleh orang Arab.
Referensi
suntingSitiran
sunting- ^ Kertawibawa 2018, hlm. 272.
- ^ a b Sunardjo 1983, hlm. 109.
- ^ "Daftar Keturunan Pangeran Cakrabuana Dari Istri-Istrinya". Sejarah Cirebon. Diakses tanggal 2022-01-31.
- ^ "Mbah Kuwu Sangkan Ternyata Miliki Lima Nama". 2019-12-09. Diakses tanggal 2022-02-05.
- ^ a b "Jejak Keturunan Pangeran Walangsungsang Anak Prabu Siliwangi". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-30. Diakses tanggal 2022-01-30.
- ^ Kompasiana.com (2019-09-21). "Pangeran Walangsungsang dan Sejarah Cirebon". KOMPASIANA. Diakses tanggal 2022-02-01.
- ^ Sunardjo 1983, hlm. 54.
- ^ Sunardjo 1983, hlm. 44.
- ^ Sunardjo 1983, hlm. 45-47.
- ^ Sunardjo 1983, hlm. 53-54.
- ^ Sunardjo 1983, hlm. 52-53.
- ^ a b Kertawibawa 2018, hlm. 274.
- ^ Erwantoro 2012, hlm. 172.
- ^ Sunardjo 1983, hlm. 57-59.
- ^ a b Kertawibawa 2018, hlm. 275.
- ^ Erwantoro 2012, hlm. 174.
- ^ Erwantoro 2012, hlm. 175.
- ^ a b c Kertawibawa 2018, hlm. 276.
- ^ Sunardjo 1983, hlm. 65.
- ^ Yani 2011, hlm. 186.
- ^ Thresnawaty 2016, hlm. 92.
- ^ Abdullah 2015, hlm. 109.
Daftar Pustaka
sunting- Abdullah, Rachmad (2015). Kerajaan Islam Demak: Api Revolusi Islam di Tanah Jawa (1518-1549). Sukoharjo: Al-Wafi.
- de Graaf, H.J.; Pigeaud, T.H. (1985). Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Yogyakarta: Grafiti Pers.
- Erwantoro, Heru (2012). "Sejarah Singkat Kerajaan Cirebon" (PDF). Patanjala. 4 (1): 170–183. doi:10.30959/patanjala.v4i1.130. ISSN 2598-1242. OCLC 1042240937.
- Kertawibawa, Besta Besuki (2018). Dinasti Raja Petapa I: Pangeran Cakrabuana, Sang Perintis Kerajaan Cirebon. Bandung: Kiblat Buku Utama. ISBN 978-979-419-823-0.
- Kertawibawa, Besta Besuki (2018). Dinasti Raja Petapa II: Syarif Hidayatullah, Sang Pengembang Kerajaan Cirebon. Bandung: Kiblat Buku Utama. ISBN 978-623-221-299-2.
- Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LKiS. ISBN 978-979-8451-16-4.
- Sunardjo, Unang (1983). Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cerbon 1479-1809. Bandung: TARSITO.
- Thresnawaty, Euis (2016). "Sejarah Sosial-Budaya Kabupaten Kuningan" (PDF). Patanjala. 8 (1): 85–100. doi:10.30959/patanjala.v8i1.62. ISSN 2598-1242. OCLC 1042240937.
- Yani, Ahmad (2011). "Pengaruh Islam terhadap Makna Simbolik Budaya Keraton-keraton Cirebon" (PDF). Holistik. 12 (1): 181–196. doi:10.24235/holistik.v12i1.82.