Pakaian kulit kayu

Pakaian Kulit Kayu atau Inodo bagi masyarakat Poso dan Napu/vuya bagi masyarakat Kaili dan Kulawi/buya bagi masyarakat Donggala/kuroko'o bagi masyarakat Bungku[1] adalah salah satu kekayaan budaya Indonesia yang dipercaya telah ada ribuan tahun yang lalu. Nenek moyang bangsa Indonesia hidup berselaras dengan alam. Salah satu contohnya dapat dilihat dari terciptanya kulit kayu sebagai bahan pakaian. Hutan hujan tropis yang tumbuh subur di Kepulauan Nusantara menjadi sumber kehidupan masyarakat yang hidup di sekitarnya. Tidak hanya sebagai sumber pangan dan papan, pohon-pohon itu juga digunakan sebagai sumber pemenuhan kebutuhan sandang.

Pakaian kulit kayu bagi masyarakat tinggal di Sulawesi Tengah selain dipakai untuk menutupi tubuh juga digunakan dalam berbagai kegiatan upacara adat. Mereka mengenal berbagai jenis pakaian kulit kayu, di antaranya kemeja (baju laki-laki), Vevo (celana), Topi Nunu ( rok), halili (blus), hingga kumpe (semacam selimut).[2] Ragam hias juga diaplikasikan ke dalam pakaian untuk menyimbolkan kegunaan dan arti tertentu. Contohnya adalah ragam hias tanduk kerbau yang menyimbolkan kehidupan. Menurut Antonius Taula, pelestari kain kulit kayu, kerbau tidak lepas dari kehidupan manusia dari proses kelahiran hingga kematian. Ragam hias yang dikenal lainnya seperti tumpal, tumbuh-tumbuhan, manusia, gampiri, bunga, geometris dan lain-lain.[3]

Ricky FS. Rumagit menuliskan bahwa pakaian kulit kayu memiliki tiga fungsi (fungsi sosial, budaya dan ekonomi) bagi masyarakat. Fungsi sosialnya adalah menjamin terjadinya pengembangan kepribadian yang diturunkan dari orang tua ke anaknya. Selanjutnya, dalam bidang kebudayaan, kulit kayu mengandung nilai-nilai yang dianut masyarakat. Terakhir, kulit kayu juga membantu penghidupan dan menunjang perekonomian masyarakat.[4]

Pada 1996, terjalin kerjasama antara Dunken Silly, Kepala The Nature Conservancy, dengan Antonius Taula dalam menggali ragam hias kulit kayu Sulawesi Tengah. Ragam hias kulit kayu yang menjadi koleksi di museum-museum Eropa — ragam hias misi Penginjilan dari Belanda — dipelajari kembali. Perekonomian para pengrajin kulit kayu sempat meningkat pada periode 1996 - 1998 dengan banyaknya kulit kayu mereka dijual di Inggris. Namun, kerusuhan di Poso membuat Dunken Silly harus kembali ke negara asalnya.[5]

Kulit kayu mempunyai arti penting dan harus dilestarikan. Oleh karena itu, Pemerintah Republik Indonesia telah menetapkannya sebagai Warisan Budaya Takbenda Nasional pada 2014 dengan nomor registrasi 201400172 dalam domain Keterampilan[6] dan Kemahiran Kerajinan Tradisional dan mengapresiasi Antonius Taula sebagai penerima penghargaan Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi 2018 dalam kategori Pelestari.[7]

Bahan Baku dan Alat Pembuatan

sunting

Masyarakat Sulawesi Tengah setidaknya mengenal enam jenis pohon yang dapat digunakan sebagai bahan baku. Pertama, pohon beringin putih atau yang dikenal masyarakat lokal sebagai Nunu Towula. Pohon ini mempunyai kualitas terbaik dalam pembuatan bahan baku. Kedua, pohon beringin biasa atau Nunu Lero. Pohon ini pohon yang biasa ditanami di halaman rumah masyarakat Kulawi. Ketiga, pohon Nunu Wiroe yang mempunyai karakteristik memiliki kulit tebal pada bulan muda namun kulitnya semakin menipis seiring bulan menua. Keempat, Nunu Tea Tonohera yang juga termasuk dalam pohon beringin namun menyerupai pohon sukun. Pohon ini sulit ditemukan sehingga jarang dijadikan bahan baku. Kelima, pohon Nunu Malo/Mao yang masih berjenis beringin namun menghasilkan kain kulit kayu yang berwarna putih. Keenam, pohon Nunu Ivo yang paling banyak digunakan dalam pembuatan kain kulit kayu.[8]

Bahan pewarnaan kain kulit kayu masyarakat Sulawesi Tengah juga berasal dari alam. Ada tiga bahan pewarna alami yang sudah digunakan. Pertama adalah pohon Ula Vua yang digunakan untuk menghasilkan warna merah muda, pencerah warna, dan pengawet pakaian. Kedua adalah lumpur yang dapat menghasilkan warna hitam dan coklat. Ketiga adalah letuhu yang dapat menghasilkan warna cokelat kemerah-merahan. Getah pohon Langsat dan rumput munte masing-masing berguna untuk menjaga warna tidak luntur dan menghasilkan aroma harum.

Bahan lainnya yang menunjang proses pembuatan kain ialah abu dapur/abu gosok dan air. Abu dapur memiliki tiga fungsi utama ialah mempercepat proses pembusukan, mematikan bakteri dan menghilangkan bau. Sedangkan, Air berfungsi untuk melembapkan kulit kayu.

Perkakas yang digunakan dalam proses pengolahan sangat beragam. Dalam proses pengambilan kulit kayu, parang atau pisau digunakan untuk memisahkan kulit kayu dari pohon. Tahap selanjutnya untuk mengkondisikan kulit kayu agar menjadi selembar bahan. Terdapat dua perkakas yang berfungsi sebagai landasan ialah paulu dan tatua. Sedangkan, untuk menghaluskan kulit kayu ada tiga perkakas yaitu pola, batu ike, parondo, pongko. Ada dua perkakas lagi untuk merendam dan menjaga kelembaban kulit kayu yang dinamakan kura tanah dan banga ngekewalu. Untuk proses pewarnaan, perkakas yang digunakan adalah batang rotan yang diruncingkan, lidi daun kelapa, batang korek api dan kuas.

Paulu adalah pengalas landasan yang terbuat dari dua bilah papan atau daun pisang. Ia biasanya berukuran 40 cm dan lebar kurang lebih 15 cm. Tatua adalah landasan yang berada di atas paulu. Tatua berbentuk potongan kayu dengan ukuran sedang dan biasanya memiliki dimensi panjang 2 m, lebar 30 cm dan tebal 15 sampai 20 cm. Kayu yang dapat dijadikan tatua mesti kuat dan tidak mudah pecah.

Masuk kepada alat pemukul. Pada tahap awal, pemukul yang digunakan adalah pola. Pola berbentuk seperti alu dan berbahan dasar kayu. Biasanya terbuat dari pangkal batang pohon enau. Selanjutnya adalah batu ike. Alat ini adalah alat pukul yang kepalanya menggunakan batu. Diketahui ada enam jenis batu ike dengan fungsi yang berbeda dan pengamat dapat membedakannya dari melihat kepala batunya. Pertama, ike tinahi berfungsi memanjangkan bahan kulit kayu dan mempuyai ukuran paling besar di antara batu ike lainnya. Dimensi batunya sendiri panjangnya 8 cm, lebar 6 cm dan tebal 3 cm, sedangkan pegangan batunya sepanjang 56 cm dengan diameter 5–7 cm dan terbuat dari rotan. Kedua, ike hore fungsinya sama dengan ike tinahi namun memiliki ukuran yang lebih kecil. Ketiga, ike pogea yang berfungsi melebarkan bahan kulit kayu. Perbedaannya dengan batu ike sebelumnya terletak di bentuk batu yang memiliki 18 alur garis. Keempat, ike bengko atau ike tangkalole yang berfungsi membentuk serat bahan kulit kayu. Ike bengko/tangkalole ini memiliki 15 alur garis pada batunya. Kelima, ike pampi yang fungsinya menghaluskan serat. Bentuknya tidak jauh berbeda dengan ike bengko namun memilki alur yang lebih halus. Keenam, ike popapu yang berfungsi menyempurnakan kulit kayu agar siap diolah lebih lanjut.

Alat pukul selanjutnya adalah parondo. Parondo terbuat dari kayu awa atau lebanu yang sifatnya keras dan tidak mudah pecah. Ia berfungsi untuk meratakan kain kulit kayu yang tidak dapat dilakukan oleh batu ike agar bahan lebih siap untuk diolah. Pongko berfungsi sebagai penjaga posisi kulit kayu agar tetap berada di tatua (landasan).

Kelompok perkakas selanjutnya adalah kura tanah dan banga ngkewalu yang berfungsi untuk menjaga kelembapan dan kelicinan kulit kayu. Kura tanah adalah nama daerah setempat dari belanga tanah. Ia biasanya berukuran tinggi 60 cm dengan diameter 30 cm dan berfungsi sebagai tempat merebus kulit kayu agar lebih licin dan dapat diolah. Selanjutnya adalah banga ngkewalu. Alat ini berfungsi sebagai gayung untuk membasahi kulit kayu yang sedang diproses. Banga ngkewalu terbuat dari tempurung kelapa.

Referensi

sunting
  1. ^ Thaha, dkk, Tjatjo (1998). Wujud, Arti, dan Fungsi Puncak-Puncak Kebudayaan Lama dan Asli Bagi Masyarakat Pendukungnya: Sumbangan Kebudayaan Daerah Sulawesi Tengah Terhadap Kebudayaan Nasional. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 44. 
  2. ^ Rumagit, Ricky (2011). "Kumpe" Kain Kulit Kayu dalam Kehidupan Masyarakat Sulawesi Tengah. Jakarta: Direktorat Tradisi, Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. hlm. 105. ISBN 978-602-9052-20-6. 
  3. ^ Rukmana, Aan, dkk (2018). Buku Profil Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi 2018. Jakarta: Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 134. 
  4. ^ Op. Cit. hlm. 107
  5. ^ Op. Cit. hlm 136
  6. ^ "Pakaian Kulit Kayu". warisanbudaya.kemdikbud.go.id. Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. 2018. Diakses tanggal 19 Februari 2019. 
  7. ^ "Ebiet G Ade dan Glenn Fredly Raih Anugerah Kebudayaan". CNN Indonesia. 25 September 2018. Diakses tanggal 19 Februari 2019. 
  8. ^ Pristiwanto, dkk (2003). Budaya Masyarakat Suku Bangsa Kulawi di Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. hlm. 133 – 136.