Paguyuban Pasundan

organisasi di Indonesia

Paguyuban Pasundan (ejaan aslinya Pagoejoeban Pasoendan) adalah organisasi budaya Sunda yang berdiri pada tanggal 20 Juli 1913 yang didirikan oleh Daeng Kanduruan Ardiwinata, sehingga menjadi salah satu organisasi tertua di Indonesia yang masih aktif sampai saat ini. Organisasi ini bergerak dalam bidang pendidikan, sosial-budaya, politik, ekonomi, kepemudaan, dan pemberdayaan perempuan. Paguyuban ini bertujuan untuk melestarikan budaya Sunda dengan melibatkan bukan hanya orang Sunda tetapi semua yang mempunyai kepedulian terhadap budaya Sunda.

Paguyuban Pasundan
Logo Paguyuban Pasundan
Tanggal pendirian20 Juli 1913; 111 tahun lalu (1913-07-20)
StatusAktif
TipeOrganisasi kemasyarakatan
Kantor pusatBandung, Jawa Barat
Wilayah layanan
Indonesia dan Amerika Serikat[1]
Bahasa resmi
Indonesia dan Sunda
Ketua Umum
Didi Turmudzi
Situs webwww.paguyubanpasundan.org

Terdapat juga anggota organisasi Paguyuban Pasundan yang bermukim di Amerika Serikat bersama diaspora Indonesia lainnya. Di negara ini, komunitas mereka berpusat di ibu kota Washington DC.[1]

Sejarah

sunting

Awal berdiri

sunting

Secara tidak langsung, kelahiran Paguyuban Pasundan dipengaruhi oleh pendirian Budi Utomo pada hari Rabu tanggal 20 Mei 1908, yang dianggap sebagai tonggak awal kebangkitan bangsa Indonesia menggapai kemerdekaannya. Pada awalnya, cukup banyak orang Sunda yang bergabung. Cabang-cabang Budi Utomo juga banyak bermunculan di Jawa Barat, seperti di Bandung dan Bogor. Namun beberapa tahun kemudian, keanggotaan orang Sunda dalam Budi Utomo menurun drastis. Hal ini disebabkan karena menurut mereka, dari segi sosial-budaya, organisasi tersebut hanya memuaskan penduduk Jawa Tengah dan Jawa Timur saja.

Atas inisiatif siswa-siswa Sunda di STOVIA (School Tot Opleiding voor Indlandsche Artsen) – sekolah kedokteran zaman Belanda di Batavia (Jakarta), diupayakan pembuatan organisasi untuk orang-orang Sunda. Selanjutnya, para siswa yang berusia sekitar 22 tahun itu, berkunjung ke rumah Daeng Kanduruan Ardiwinata, yang saat itu sudah dianggap sebagai sesepuh orang Sunda. Dalam kunjungan tersebut, dinyatakan maksud pendirian perkumpulan orang Sunda sekaligus meminta D. K. Ardiwinata untuk menjadi ketua organisasi.

Setelah D. K. Ardiwinata menyanggupi, maka di rumahnya di Gang Paseban, Salemba, Jakarta, pada hari Minggu tanggal 20 Juli 1913 diadakan rapat untuk pendirian perkumpulan. Dalam rapat itu disepakati pendirian organisasi yang kemudian dinamai “Pagoejoeban Pasoendan”. Saat itu ditetapkan D. K. Ardiwinata sebagai penasihat dan Dajat Hidajat (siswa STOVIA) sebagai ketua.

Pada tanggal 22 September 1914, pengurus paguyuban meminta izin kepada pemerintah untuk dapat melakukan kegiatannya secara sah. Dengan surat keputusan nomor 46 tanggal 9 Desember 1914, izin tersebut diberikan. Selanjutnya, sampai tahun 1918, organisasi ini lebih sebagai perkumpulan sosial-budaya.

Kiprah politik

sunting

Seiring dengan keinginan untuk mengadakan perbaikan dalam bidang sosial dan ekonomi, Paguyuban Pasundan merasa perlu untuk turut berkecimpung dalam bidang politik untuk mencapai tujuan-tujuannya. Untuk itu, sejak tahun 1919, seiring dengan dibentuknya Volksraad, dilakukan upaya untuk mendudukkan wakilnya di lembaga tersebut. Selanjutnya dengan surat keputusan nomor 72, tanggal 13 Juni 1919, pemerintah juga mengesahkan Paguyuban Pasundan sebagai perkumpulan politik.

Sejak Desember 1927, Paguyuban Pasundan masuk menjadi anggota PPPKI (Permoefakatan Perhimpoenan-perhimpoenan Politik Kebangsaan Indonesia). Dengan bergabung dalam federasi itu, paguyuban tidak lagi menjadi perkumpulan lokal dengan perhatian hanya pada Pasundan atau Jawa Barat saja, tetapi menjadi perkumpulan nasional dengan tujuan bersama yaitu untuk mencapai kemerdekaan bangsa.

Kegiatan dalam bidang politik semakin kuat saat kepemimpinan Oto Iskandar di Nata, yang dijuluki “Si Jalak Harupat”, seorang kelahiran Bojongsoang, Bandung tanggal 31 Maret 1897. Selain menjadi ketua Pengurus Besar Paguyuban Pasundan, ia juga menjadi wakil organisasi tersebut di Volksraad mulai tahun 1931 sampai 1942.

Bidang pendidikan

sunting

Sesuai dengan yang tercantum dalam anggaran dasarnya, salah satu jalan yang ditempuh Paguyuban Pasundan dalam mencapai cita-citanya adalah melalui jalur pendidikan dan pengajaran. Upaya pendirian sekolah dimulai dengan mendirikan Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Pasoendan di Tasikmalaya pada tahun 1922, diikuti pendirian Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Pasoendan, juga di Tasikmalaya, yang medapat bantuan dari pemerintah. Sekolah-sekolah lain terus didirikan, hingga tahun 1941 telah ada 51 sekolah dengan 296 orang guru. Kebanyakan ada di Bandung dan Tasikmalaya, yaitu masing-masing tujuh buah. Sisanya tersebar di 34 tempat lainnya di seantero Jawa Barat.

Untuk mengurus persekolahan tersebut, dalam Kongres Paguyuban Pasundan di Bogor tahun 1931, didirikan Bale Pamulangan Pasundan (BPP), dengan pemimpin pertamanya adalah Ahmad Atmadja. Dengan berdirinya BPP, sekolah-sekolah Pasundan semakin marak. Demikian pula guru dan muridnya semakin banyak.

Pendidikan bagi masyarakat umum, diwujudkan dengan diterbitkannya sembilan media massa selama periode 1914-1942. Salah satunya yang terbesar adalah suratkabar Sipatahoenan yang menjadi corong Paguyuban Pasundan. Semula suratkabar ini diterbitkan Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya mulai tahun 1923. Pimpinan redaksi pertamanya adalah Soetisna Sendjaya. Awalnya suratkabar ini terbit seminggu sekali. Namun setelah kepengurusannya diambil alih oleh Pengurus Besar Paguyuban Pasundan tahun 1931, Sipatahoenan bisa terbit harian. Kantornya dipindahkan ke Bandung, tepatnya di Kaca-kaca Wetan, sebelum kemudian pindah ke Banceuy, dan akhirnya di Dalem Kaum.

Bidang ekonomi

sunting

Dalam bidang ekonomi, Paguyuban Pasundan dalam kongresnya yang ke-19 di Tasikmalaya tahun 1934, mendirikan Centrale Bank Pasundan, yang berbentuk N. V., dengan pemimpinnya Iyos Wiriaatmadja. Pusatnya berada di Jakarta, sedang di daerah-daerah berdiri cabang-cabangnya.

Kehidupan perkoperasian di lingkungan Paguyuban Pasundan juga cukup marak. Setiap cabangnya mendirikan koperasi yang kebanyakan disebut Koperasi Pasundan. Koperasi-koperasi tersebut bergerak dalam bidang keuangan, perdagangan, ada juga yang khusus menyediakan perabotan untuk para petani. Garapan bidang ekonomi lainnya yang cukup menonjol adalah pendirian lumbung padi (leuit pare). Pemantauannya dilakukan oleh Puseur Lumbung Pasundan.

Dalam Kongres Paguyuban Pasundan ke-23 di Sukabumi, didirikan badan yang mengelola permasalahan ekonomi yang disebut Bale Ekonomi Pasundan. Pemimpin bale tersebut adalah Raden Soedarna Soeradiredja, yang juga merangkap sebagai Wakil Ketua P. B. Paguyuban Pasundan dan Direktur Centrale Bank Pasundan.

Kepemudaan dan pemberdayaan perempuan

sunting

Untuk mengurus masalah pemberdayaan perempuan, di dalam Paguyuban Pasundan didirikan Pasundan Istri (PASI). Sedangkan dalam kepemudaan, pada bulan Desember 1934 didirikan JOP (Jeugd Organisatie Pasoendan) dengan ketuanya yang pertama Raden Adil Poeradiredja. Dalam kongresnya yang pertama tahun 1935 kepanjangan JOP diganti menjadi “Jasana Obor Pasundan”.

Saat suhu politik memanas menjelang Perang Pasifik, didirikan “JOP Brigade” untuk menangkal kejadian-kejadian yang tidak dikehendaki. Beberapa tokoh, diantaranya Jenderal A.H. Nasution turut menyokong, seperti dengan membantu latihan baris berbaris bagi JOP Brigade.

Masa penjajahan Jepang

sunting

Dari tahun 1943 sampai dengan 1945, kegiatan politik berbagai perkumpulan di Indonesia, termasuk Paguyuban Pasundan dibekukan oleh penjajah dari Jepang. Sipatahoenan juga turut dibredel dan sebagai gantinya diterbitkan suratkabar Tjahaja yang dikendalikan Jepang. Namun kegiatan paguyuban dalam bidang lainnya seperti pendidikan, kesenian, dan sosial masih diperbolehkan dan bisa terus berjalan.

Masa revolusi kemerdekaan

sunting

Setelah pendudukan Jepang berakhir, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Maklumat 3 November 1945 Nomor X tentang pembentukan partai-partai politik. Berdirinya partai-partai politik oleh Pemerintah Republik Indonesia dipandang sebagai partisipasi aktif dari kehidupan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara serta dapat memperkuat perjuangan bangsa mempertahankan kemerdekaan. Keluarnya maklumat tersebut menyebabkan partai-partai di Indonesia hidup kembali seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Islam Masyumi, Partai Buruh Indonesia, Partai Rakyat Sosialis, dan sebagainya. Paguyuban Pasundan saat itu tidak langsung aktif kembali. Hal ini terutama disebabkan karena R. Oto Iskandar di Nata, yang dianggap sebagai figur yang dapat memimpin kembali Paguyuban Pasundan, hilang secara misterius bersama beberapa tokoh kemerdekaan lainnya.

Namun kemudian muncul sebuah partai yang konon didalangi Belanda dengan nama Partai Rakyat Pasundan (PRP) yang mempunyai visi yang tidak sejalan dengan Paguyuban Pasundan. Hal tersebut memicu para anggota Paguyuban Pasundan untuk menghidupkan kembali organisasinya. Maka berdirilah kembali Paguyuban Pasundan di Bandung, Yogyakarta, dan Jakarta dalam waktu hampir bersamaan. Selanjutnya Bandung ditetapkan sebagai pusat Pengurus Besar Paguyuban Pasundan dengan ketuanya R.S. Suradiradja.

Dalam kongres Paguyuban Pasundan tanggal 29–31 Januari 1949 di Bandung, diputuskan untuk mengubah nama Paguyuban Pasundan menjadi Partai Kebangsaan Indonesia (PARKI) dengan maksud untuk memperluas perjuangan di bidang politik. Partai tersebut kemudian mengikuti pemilihan umum pertama Republik Indonesia pada tahun 1955. Namun suara yang didapat dalam pemilu tersebut sangat minim. Kekalahan tersebut menimbulkan perpecahan di tubuh PARKI. Akhirnya melalui referendum dalam kongres luar biasa PARKI tanggal 29 November 1959, partai tersebut memutuskan untuk mengubah namanya kembali menjadi Paguyuban Pasundan.

1960–sekarang

sunting
 
Gedung Universitas Pasundan di Jalan Tamansari 6-8

Setelah kekalahan dalam pemilu tersebut, kegiatan Paguyuban Pasundan lebih didominasi oleh aktivitas dalam bidang pendidikan dan sosial-budaya. Salah satu tonggak perjuangannya dalam bidang pendidikan adalah dengan didirikannya Universitas Pasundan di Bandung pada hari Senin tanggal 14 November 1960.

Pada dekade 1960-an, Paguyuban Pasundan memiliki 32 kantor cabang dengan 492 anak cabang. Sedikitnya 12.300 orang terlibat dalam paguyuban ini. Pelestarian kebudayaan Sunda di era globalisasi kini menjadi prioritas utamanya.

Sekolah-sekolah Pasundan dalam jenjang pendidikan dasar dan menengah bertebaran di wilayah Jawa Barat dan Banten. Sedang dalam jenjang pendidikan tinggi, Paguyuban Pasundan memiliki empat perguruan tinggi, yaitu:

 
H. A. Syafe'i Ketua PB Paguyuban Pasundan (2000-2010)

Dalam kepengurusan, Kongres Paguyuban Pasundan tanggal 19 Juli 2005 telah memilih pengurus untuk periode 2005–2009, yaitu: H.A. Syafe'i sebagai Pupuhu (Ketua) Pengurus Besar Paguyuban Pasundan dan Prof. Dr. H. M. Didi Turmudzi sebagai Sekretaris Jenderal. Sedangkan Prof. Dr. Ir. Ginandjar Kartasasmita terpilih menjadi Ketua Dewan Pangaping. Juga diangkat Dewan Pakar sebagai berikut:

Djuharja S. Pradja Pakar agama
Miftah Faridh Pakar agama
Setia Hidayat Pakar budaya
Nina Herlina Lubis Pakar budaya
Yus Rusyana Pakar pendidikan
Abin Samsudin Ma’mun Pakar pendidikan
Kusnaka Adimihardja Pakar lingkungan
Rochmin Dahuri Pakar lingkungan
R.E. Suryaatmaja Pakar lingkungan
Sutedja Pakar kesehatan
Sutisna Artawidjaja Pakar kesehatan
Dadang Pakar kesehatan
Didin Damanhuri Pakar ekonomi
Uce K. Suganda Pakar ekonomi
Yusuf Sukardi Pakar ekonomi
Busye Pakar ekonomi
Romly Atmasasmita Pakar hukum dan HAM
Dedi Diana Pakar hukum dan HAM
Bana K. Kartasasmita Pakar kerja sama
Ruchadi Adiwikarta Pakar pemuda dan olahraga

Sekarang urusan pendidikan di Paguyuban Pasundan ditangani oleh dua yayasan sesuai dengan jenjangnya, yaitu Yayasan Pendidikan Tinggi Pasundan dengan ketuanya Prof. Dr. H. Idrus Affandi S.H. dan Yayasan Pendidikan Dasar dan Menengah Pasundan dengan ketuanya R. H. Tata Gautama Suryawan.

Referensi

sunting

Daftar pustaka

sunting
  • Ekajati, E. S. 2004. Kebangkitan Kembali Orang Sunda: Kasus Paguyuban Pasundan, 1913-1918. Bandung: Pusat Studi Sunda bekerja sama dengan Kiblat.
  • Suharto. 2002. Pagoejoeban Pasoendan 1927-1942: Profil Pergerakan Etno-Nasionalis. Bandung: Satya Historika.
  • Peran Intelektual di Paguyuban Pasundan. Harian Kompas Selasa, 13 Maret 2007.

Pranala luar

sunting