Orang Sakai
Orang Sakai merupakan sekumpulan masyarakat yang terasing dan hidup masih secara tradisional dan nomaden pada suatu kawasan di pulau Sumatra, Indonesia tepatnya di barat Kabupaten Kabupaten Bengkalis dan barat Kabupaten Siak. Di Kabupaten Bengkalis, mereka mendiami kecamatan Bathin Solapan, Mandau, Pinggir dan Talang Muandau. Di Kabupaten Siak, mereka mendiami kecamatan Kandis dan Minas. Orang Sakai hidup menjauhkan diri dari kehidupan masyarakat yang luas.[1] Sebelumnya, Orang Sakai dinamai Orang Pebatin. Nama ini dikenal ketika Jepang menjajah Indonesia.[1]
Daerah dengan populasi signifikan | |
---|---|
provinsi Riau | |
Bahasa | |
Bahasa Sakai, Bahasa Melayu, Bahasa Minang, Bahasa Indonesia | |
Agama | |
Animisme, Kristen, Islam. | |
Kelompok etnik terkait | |
Melayu, Minangkabau |
Asal Usul
Beberapa ahli berpendapat, orang Sakai ini merupakan percampuran antara orang Wedoid dengan orang Minangkabau yang bermigrasi sekitar abad ke-14.[2] sementara orang Sakai sendiri menganggap bahwa mereka datang dari negeri Pagaruyung[3]
Bahasa
Dalam pembicaraan sehari-hari di kalangan sendiri, orang Sakai menggunakan bahasa Sakai. Namun, bila berhubungan dengan pendatang dari luar, mereka menggunakan bahasa Indonesia logat Minangkabau. Rata-rata orang Sakai dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.[4]
Kelompok Sosial
Kelompok sosial Orang Sakai terbagi menjadi Perbatinan Lima (Batin nan Limo) dan Perbatinan Delapan (Batin nan Salapan). Perbatinan ini dibedakkan dari ciri-ciri tanah yang dimiliki masing-masing perbatinan. Tanah yang dimiliki Batin Salapan ditandai dengan kayu kapur dan sialang. Sementara Batin nan Limo ditandai dengan gundukan tanah.[5]
Perbatinan Lima
Perbatinan ini berasal dari 5 keluarga yang sebelumnya tinggal di desa Mandau meminta ke kepala desa Mandau untuk diberikan tanah karena tidak bisa kembali lagi ke kerajaan Pagaruyung ataupun ke Kunto Bessalam. Oleh kepala desa diberikan hak ulayat di beberapa daerah yang nantinya menjadi cikal bakal daerah Perbatinan Lima.[1]
Perbatinan Delapan
Perbatinan ini berasal dari rombongan dari Pagaruyung yang dipimpin oleh Batin Sangkar yang memecah rombongan menjadi delapan. Masing-masing rombongan membuka hutan untuk dijadikan tempat pemukiman.[1]
Budaya
Suku ini adalah satu kelompok etnik yang masih digolongkan sebagai "masyarakat terasing". Mereka ada yang berdiam di Kecamatan Kunto Darussalam, Kabupaten Kampar, di Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Kecamatan Dumai, dan lain-lain yang seluruhnya termasuk wilayah Provinsi Riau. Menurut hasil survei yang dilakukan Direktorat Pembinaan Masyarakat Terasing, Direktorat Bina Sosial Departemen Sosial RI nama Sakai merupakan sebutan dari pihak luar, yang konon diberikan karena orang-orang ini tinggal di tepi sungai Sakai yang di sekitarnya ditumbuhi pohon Sakai.[4]
Teknologi
Rumah orang Sakai ada dua macam, yaitu berbentuk rumah panggung atau rumah gubug. Rumah panggung biasanya berukuran 5 x 6 meter, dan panggungnya terletak 1 meter di atas tanah. Ruangan di dalam rumah dibuat terbuka, tanpa dinding pemisah antarkamar. Rumah panggung yang biasanya dibangun tanpa jendela ini biasanya dihuni oleh satu atau dua keluarga yang berbubungan darah. Bagian bawah rumah biasanya digunakan untuk menyimpan barang-barang bekas dan untuk memelihara ayam, sehingga menimbulkan kesan kotor dan tidak sehat.
Dalam kehldupan sehari-hari orang Sakai juga mengenakan pakaian sebagaimana masyarakat di sekitarnya, yakni celana pendek dan baju bagi laki-laki dan kain panjang dan baju bagi kaum wanitanya. Namun ada pula yang Iebih suka bertelanjang dada. Untuk upacara adat mereka mengenakan sarung dan peci sebagaimana umat Islam di daerah lain. Orang laki-laki kadangkala mengenakan gelang dari akar-akaran untuk mencegah penyakit.
Kelompok masyarakat ini sudah mengenal peralatan rumah tangga sebagaimana yang dipakai masyarakat lainnya. Barang-barang itu adalah piring, periuk, gelas, cawan, dan Iain-Iain. Biasanya barang-barang itu digunakan bila sedang menjamu tamu. Untuk keperluan sehari-hari mereka menggunakan labu kering, tempurung kelapa dan lain-lain.[6]
Kesehatan
Orang Sakai sering kali ditandai dengan kulit mereka yang berkurap atau berpanu. Hal ini disebabkan orang Sakai memilih mandi di air tergenang, yang biasanya makin lama makin kotor. Mereka percaya bahwa bila mereka mandi di air yang mengalir maka roh mereka akan ikut hanyut terbawa oleh air. Ada pula anggapan di kalangan orang Sakai bahwa semakin banyak panu ditubuhnya semakin tinggilah gengsinya sehingga mereka membiarkan saja penyakit kulit itu. Selain penyakit kulit gangguan kesehatan yang menonjol adalah penyakit malaria yang disebabkan oleh lingkungan tempat tinggal mereka. yang berawa-rawa dan kurangnya kesadaran akan kesehatan. Bila terkena penyakit mereka biasa meminta pertolongan dukun. Untuk mengobati berbagai penyakit, dukun biasanya menggunakan ramu-ramuan dari tumbuhan di sekitar mereka. Penyakit malaria, misalnya, diobati dengan ramuan daun zam-zam, daun lantani, daun kumpai, daun setawa, peladang, dan cengkawo. Daun-daun itu ditumbuk dan di ambil airnya. Air perasan itu kemudian diminum. Sedangkan untuk mengobati penyakit kulit, seluruh tubuh si sakit dilumuri air perasan daun gelenggang.[6]
Agama
Sebagian orang Sakai memeluk agama Islam, sebagian lainnya menganut kepercayaan animisme/dinamisme. Dalam sistem kepercayaan mereka yakin bahwa roh orang yang telah meninggal dunia hidup lagi di alam baka. Roh dan hantu dibedakan menjadi dua macam, yang baik dan yang jahat. Hantu baik disebut Hantu Kebu, yang dapat membantu menyembuhkan orang sakit, mengusir roh jahat, menjaga keselamatan penduduk; sedangkan hantu jahat disebut Hantu Keburu, yang sering mendatangkan penyakit dan mengganggu orang pada malam hari.[6]
Rujukan
- ^ a b c d Isjoni., Ishaq, (2005). Orang Sakai dewasa ini (edisi ke-Cet. 1). Pekanbaru: Unri Press. ISBN 9793587385. OCLC 155107081.
- ^ Suparlan, Parsudi (1995). hlm. 72. Tidak memiliki atau tanpa
|title=
(bantuan) - ^ Suparlan, Parsudi (1995). hlm. 73. Tidak memiliki atau tanpa
|title=
(bantuan) - ^ a b melalatoa, m. junus (1995). Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan. hlm. 726.
- ^ 1964-, Tarigan, Syahrial De Saputra,. Kearifan lokal yang terkandung dalam upacara tradisional kepercayaan masyarakat Sakai-Riau (edisi ke-Cetakan I). [Tanjungpinang]. ISBN 9789791281423. OCLC 899738305.
- ^ a b c melalatoa, m. junus (1995). Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan. hlm. 727.
Bahan Bacaan
- Suparlan P., (1995), Orang Sakai di Riau: masyarakat terasing dalam masyarakat Indonesia: kajian mengenai perubahan dan kelestarian kebudayaan Sakai dalam proses transformasi mereka ke dalam masyarakat Indonesia melalui Proyek Pemulihan Pembinaan Kesejahteraan Masyarakat Terasing, Departemen Sosial, Republik Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-215-4.
- Kalipke H., Kalipke M.A, (2001), Wörterbuch Sakai-Indonesisch-Deutsch, Buske Verlag, ISBN 3-87118-754-2.