Tionghoa Parit

suku bangsa di Indonesia
(Dialihkan dari Orang Cina Parit)

Tionghoa Parit (Bahasa Banjar: Cina Parit) adalah suatu komunitas suku Tionghoa-Indonesia yang mendiami daerah sungai Parit di Pelaihari, Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Dalam sebutan sehari-hari, orang Tionghoa disebut orang Cina oleh suku Banjar dan cukup sulit lidah orang Banjar menyebut istilah Tionghoa, dan kenyataannya masyarakat Tionghoa di Banjarmasin tinggal di kawasan Pacinan yang terdiri dari Kampung Pacinan Laut (dekat sungai) dan Kampung Pacinan Darat (jauh dari sungai). Masyarakat Tionghoa sendiri menyebut dirinya Cina Banjar bukan Tionghoa Banjar.

Tionghoa Parit
Cina Parit
Daerah dengan populasi signifikan
Kecamatan Banjarmasin Timur dan kecamatan Banjarmasin Tengah
Agama
Agama tradisional Tionghoa, Kristen, Islam
Gambar Orang Tionghoa Parit Pelaihari Kalsel, di Museum Wasaka Banjarmasin tertulis sebagai Cina Parit.

Sebutan Tionghoa Parit ini juga biasa ditujukan kepada pekerja imigran penambangan timah yang datang ke pulau Bangka dan Belitung. Penamaan orang Cina Parit (Chinese Parit) dipakai secara resmi sebagai salah satu kelompok etnik yang mendiami Kalimantan Selatan menurut Museum Lambung Mangkurat (Museum Daerah Kalsel), karena sejak semula kedatangannya ke daerah ini orang Tionghoa disebut sebagai 'Urang Cina' dalam bahasa Banjar. Orang-orang Cina Parit yang ditempatkan di Distrik Maluka ini didatangkan secara langsung dari Tiongkok oleh Alexander Hare, komisioner residen Inggris untuk Kalimantan sekitar tahun 1812.[1][2]

Pada tahun 1816 atau 1817 pemerintah Belanda kembali memiliki pendirian di Bandjermasin, di mana seorang pejabat kepala ditempatkan. Tabanio juga diduduki lagi dan Jager resmi ditunjuk sebagai pemegang pos di sana. Pada saat ini kepemilikan Tanah-Laoet berasal dari pemerintah Hindia Belanda.

Di Sungai Maluku dan Tabanio, kantor tol didirikan dan 1/10 barang yang diekspor dari Tanah-Laoet dinaikkan; dari lilin, padi dan emas, yang digali di bagian ini oleh penggali emas Cina, pajak juga dikenakan. Mungkin inilah tempat untuk menunjukkan di sini, bahwa permukiman Chihesehe pertama di Tanah-Laoet terjadi sekitar tahun 1790. Orang-orang Tionghoa ini datang dari Pontianak dan diambil dari sana oleh campur tangan Panembahan-Batoe. Namun, jumlah mereka hanya 13 orang; beberapa tahun kemudian, persediaan 70 lebih banyak orang Cina datang langsung dari Tiongkok, sementara melalui kerja sama Master Her, 70 lainnya didatangkan dari Pontianak.

Tambang emas secara bertahap tumbuh dalam ukuran, sehingga mereka segera mendorong jantung tujuan ini untuk membuka tambang emas; eksploitasi darat pertama terjadi di Oedjong-Batoe, dekat pegunungan Kramean (gunung Keramaian). Ketika jumlah orang Cina meningkat menjadi sekitar 150 orang, seorang kapten orang Tionghoa diangkat atas mereka, yang menerima pengangkatannya dari Bandjermasin. Pekerjaan penambangan menghasilkan keuntungan besar pada awalnya, karena upah orang Dayak dan Melayu (Banjar) sangat rendah. Beberapa orang Cina telah dapat kembali ke Cina dengan harta yang diperoleh.[3]

Orang Tionghoa di Kalimantan Selatan

sunting
 
Kawasan pecinan di Banjarmasin pada tahun 1862
 
Kawasan pecinan Darat di Banjarmasin.

Orang Tionghoa sudah datang ke Kalimantan Selatan pada abad ke-14 (Hikayat Banjar). Kronik Tiongkok Sejarah Dinasti Ming, mencatat kunjungan pedagang-pedagang Tionghoa pada masa Sultan Hidayatullah (raja Banjar muslim ke-3). Di Banjarmasin, suku Tionghoa menempati suatu kawasan yang disebut 'Pacinan' (Chinezen Camp). Sedangkan istilah Orang Tionghoa Parit tidak pernah digunakan sebelumnya dan merupakan istilah yang tidak dikenal sebagai suatu kelompok etnik di Kalimantan Selatan. Penamaan Orang Cina sudah lazim digunakan di Kalimantan pada umumnya dan bukanlah sesuatu yang dimaksudkan sebagai penghinaan, tetapi semata-mata merupakan penamaan etnik yang sudah digunakan sejak lama di daerah ini. Keberadaan komunitas Orang Cina Parit sekaligus dapat mewakili keberadaan suku Tionghoa secara keseluruhan yang ada di Kalimantan Selatan pada umumnya. Pada pencatatan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda tahun 1895, jumlah suku Tionghoa yang terdapat di Zuider en Ooster Afdeeling van Borneo (Kalsel-Kalteng-Kaltim-Kaltara) seluruhnya berjumlah 4.525 jiwa (laki-laki 2.829). Jadi sejak dahulu jumlah populasi di ke-4 provinsi tersebut relatif sedikit dibanding dengan daerah lainnya di Borneo yaitu Kalbar, Sarawak, dan Sabah yang jumlah suku Tionghoanya mencapai 40% dari populasi penduduk daerah-daerah tersebut. Di Kalteng, Kalsel, dan Kaltim (beserta Kaltara), suku Tionghoa tidak termasuk ke dalam delapan etnik terbesar menurut sensus tahun 2000 pada masing-masing provinsi tersebut.

 
Rumah Joglo Gudang yang menjadi ciri khas rumah tinggal suku Tionghoa di Banjarmasin yang sudah hampir punah.

Kedatangan Pedagang Tiongkok

sunting
 
Pelajar-pelajar Sekolah Katolik China di Banjarmasin

Dalam sebuah catatan Kronik Tiongkok Buku 323 Sejarah Dinasti Ming (1368-1643) menyebutkan tetang keberadaan Kesultanan Banjar pada masa Sultan Hidayatullah I (raja Banjar muslim ke-3) yang menunjukkan kunjungan pedagang Tiongkok sekurang-kurangnya sudah terjadi pada masa raja tersebut.

Pedagang-pedagang Tiongkok mendatangi negeri Banjar untuk keperluan memperoleh lada pada pertengahan pertama abad ke-17, setelah diusir oleh saingan mereka Belanda dan Inggris. Ketika itu mereka diberitahu tentang kemungkinan melakukan perdagangan lada di negeri Banjar oleh orang-orang Portugis di Macao. Mereka kemudian datang dengan jung-jung mereka, setiap tahun secara teratur datang sebanyak empat sampai tigabelas buah dari pelabuhan Amoy, Kanton, Ningpo, dan Macao. Para nakhoda disambut dengan senang di Kayu Tangi (Martapura) dan Tatas (Banjarmasin) oleh orang-orang Banjar, karena mereka membawa sejumlah barang kesukaan penduduk setempat. Berbagai macam barang terdiri dari sutera kasar dan halus, teh, kamper, garam, perkakas tembaga, barang-barang porselen dan lain sebagainya yang dapat ditukar dengan lada, emas, sarang burung dan lain-lain barang hasil daerah Banjar. Kedatangan mereka yang secara terus menerus membawa negeri Banjar masuk dalam lingkaran persinggahan para pedagang dari berbagai negara seperti Arab, Gujarat, disamping dari daerah-daerah tetangga seperti Jawa, Madura, Sulawesi, Lombok, Bali dan Sumbawa. Mereka berkumpul untuk saling mengadakan transaksi, tetapi komoditas dari negeri Tiongkok sangat menonjol peranannya.

Pada permulaan abad ke-18, perdagangan jung menjadi begitu penting, bahwa sungai Barito dikenal pula dengan sebutan sungai Cina (bukan sungai Tiongkok), sebab dipenuhi oleh jung-jung dari Tiongkok.[4][5] Demikianlah musim dari penawaran lada di Banjar adalah pada permulaan Oktober sampai Maret pada setiap tahunnya, jung-jung itu tidak seperti umumnya pedagang-pedagang yang lain, mereka tiba pada akhir bulan Februari. Menurut perhitungan bahwa kedatangan mereka yang terlambat berarti hanya akan mendapat sisa-sisa dari lada yang tidak terjual. Namun ternyata pepatah yang datang pertama, dilayani pertama tidak berlaku di lingkungan orang-orang Banjar. Adalah hal biasa bagi orang-orang Banjar untuk menyimpan sebagian besar persediaan ladanya untuk para pedagang jung. Mereka tidak hanya tertarik oleh barang dagangan Tiongkok, tetapi juga oleh harga yang lebih tinggi yang ditawarkan. Namun karena barangnya diminati penduduk setempat maka akan lebih mudah dan lebih banyak memperoleh lada.

Perang Inggris-Banjar

sunting

Sesudah kekalahan orang-orang Banjar dalam perang pertama Inggris-Banjar pada Oktober 1701, orang-orang Tiongkok kehilangan tempat dan hak mereka dalam pasar lada. Karena sebagian besar tindakan raja Banjar diatur oleh Inggris sebagai pemenang perang, maka diperintahkanlah semua rakyatnya untuk menjual ladanya kepada orang-orang di bawah pengawasan Inggris, yang mendirikan tempat penjagaan yang terletak di muara sungai Barito. Dengan semakin berkurangnya jung yang mengunjungi Banjar membuat khawatir pada penguasa Inggris di sana. Untuk itulah maka kemudian mereka mengadakan perundingan dengan orang-orang Tiongkok, yang pada intinya orang-orang Tiongkok dijamin kemudahannya untuk berdagang dengan Banjar. Maka perdagangan barang dari berbagai negara di pelabuhan itu kembali ramai. Pada tahun 1702 London mengatakan bahwa lebih mudah untuk mendapatkan barang-barang Tiongkok di Banjar daripada di Tiongkok. Di pelabuhan ini calon pembeli dapat melihat terlebih dahulu barang yang akan dibeli, baru setelah kecocokan transaksi dilakukan. Hal ini mustahil dilakukan di Tiongkok. Disamping orang-orang Tiongkok menjual barangnya mereka juga banyak membeli barang-barang yang ditawarkan pedagang Inggris, seperti kain India, tembaga dan sebagainya.

Sebelum pendirian permukiman Inggris di Banjar, pedagang-pedagang jung memperoleh barang-barang dari wilayah barat itu dari para pedagang Belanda di Batavia. Hubungan komersial antara Inggris dan pedagang-pedagang jung di Banjar berakhir sesudah pengusiran orang-orang Inggris oleh orang-orang Banjar dalam perang Inggris-Banjar yang kedua tahun 1707.

Tahun 1707

sunting

Pasca Perang Inggris-Banjar II tahun 1707, orang-orang Tiongkok dapat bebas kembali untuk mengadakan transaksi dengan para pedagang lada Banjar dan Dayak Ngaju (Biaju). Jumlah orang-orang Tiongkok yang berkumpul di daerah Kesultanan Banjar makin hari makin besar. Mereka terdiri dari 2 golongan yakni pedagang-pedagang jung dan pedagang-pedagang menetap. Pedagang-pedagang jung hanya tinggal sementara di Tatas atau di tempat lain di daerah Banjar. Setelah selesai dengan aktivitas perdagangannya termasuk mengisi perbekalan kapalnya, mereka akan kembali berlayar ke Kanton, Amoy atau pelabuhan lainnya di Tiongkok, baru kembali ke Banjar pada musim berikutnya. Sedang pedagang menetap, mulanya mereka juga seperti pedagang jung yang hanya tinggal sementara di Banjar, tetapi karena melihat kemungkinan untuk menjadikan Banjar sebagai rumah mereka yang kedua, maka kemudian mereka tinggal dan menetap. Beberapa di antara mereka membuat toko di kota atau pelabuhan, menjadi pedagang perantara antara pedagang jung dan pedagang Banjar.

Tahun 1708

sunting

Terdapat sekitar 80 keluarga di Tatas (Banjarmasin) dan Kayu Tangi (Martapura) sebelum tahun 1708, jumlah mereka terus bertambah menjadi sekitar 200 keluarga sesudah periode itu. Secara berangsur-angsur beberapa di antara mereka dapat berkomunikasi dengan penduduk setempat dalam bahasa setempat. Mereka dengan mudah dapat berintegrasi, sehingga kemudian dapat bergerak bebas dimana mereka suka. Bahkan pimpinan mereka di Banjar, kapten Lim Kom Ko, sering diutus oleh para penguasa kerajaan Banjar (Sultan Suria Alam) untuk ikut mewakili dalam perundingan-perundingan dengan orang-orang Eropa pada tahun 1708.

Tahun 1774

sunting

Menurut Magotaro, seorang budak asal Jepang yang dibeli oleh seorang pedagang Tionghoa yang tinggal di Banjarmasin bernama Taikonkan yang berasal dari Zhengzhou, sekitar tahun 1774 terdapat 300 rumah-toko Cina di Banjarmasin.[6]

Pemimpin Tionghoa

sunting
  • Distrik Pleihari

Pemimpin orang Tionghoa Parit yang tinggal di Distrik Pleihari, Afdeeling Martapoera

    • Tahun 1870 Kapitein der Chinezen te Pleiari: Go Seng Jang.[7]
    • Tahun 1871, Letnan Tionghoa: Gho Hiap Seng.[8]
  • Distrik Martapura

Sedangkan untuk Distrik Martapura, Afdeeling Martapura sejak tahun 1898, suku Tionghoa dikepalai oleh Letnan Tionghoa yaitu Oey Taij Poen.[9]

  • Banjarmasin

Pemimpin suku Tionghoa yang tinggal di Banjarmasin:

    • Tahun 1854: Kapitein der Chinezen. The Tjinìang, sejak 20 Oktober 1854.[10]
    • Tahun 1866: Luitenants der Chinezen: Teng Kim Goan & Lie Boen Kim, sejak 8 september 1866.[10]
    • Tahun 1898: Luitenans der Chinezen (letnan-letnan China) yaitu The Sin Yoe dan Ang Lim Thay.[9]
    • Tahun 1904: Kapten Thio Soen Yang.
    • Tahun 1912: Luitenans der Chinezen (letnan-letnan China) Tjoe Eng Hoei dan Oe Eng An.
 
Maket Rumah Joglo Gudang

Sukubangsa Tionghoa yang terdapat di Kalsel:

Tokoh kelahiran Banjarmasin

sunting

Lihat pula

sunting

Rujukan

sunting
  1. ^ Antara Maluka dan Maluku (Ambon)
  2. ^ Alexander Hare en Maluka (II)
  3. ^ Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Batavia). (1864). Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkunde. 14. Lange. hlm. 388. 
  4. ^ (Inggris) James Cook, A collection of voyages round the world: performed by royal authrity. Containing a complete historical account of Captain Cook's first, second, third and last voyages, undertaken for making new discoveries, &c. ... To which are added genuine narratives of other voyages of discovery round the ..., Printed for A. Millar, W. Law, and R. Cater, 1790
  5. ^ (Inggris) Thomas Salmon, Modern history or the present state of all nations, Volume 1, 1744
  6. ^ Mujiburrahman (8 Mei 2017). Humor, Perempuan Dan Sufi. Elex Media Komputindo. hlm. 247. ISBN 9786020420608.  ISBN 6020420604
  7. ^ (Belanda)Almanak van Nederlandsch-Indië voor het jaar. 43. Lands Drukkery. 1870. hlm. 198. 
  8. ^ (Belanda) "Dutch East Indies". Regeeringsalmanak voor Nederlandsch-Indie. 2. 1904. hlm. 244. 
  9. ^ a b (Indonesia) "Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah". Sejarah daerah tematis zaman kebangkitan nasional (1900-1942) di Kalimantan Selatan. Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat. 1978. hlm. 11. ISBN 9786020420608.  ISBN 6020420604
  10. ^ a b (Belanda)Almanak van Nederlandsch-Indië voor het jaar. 44. Lands Drukkery. 1871. hlm. 198. 
  11. ^ (Indonesia)Setyautama, Sam (2008). Tokoh-tokoh etnis Tionghoa di Indonesia. Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 9789799101259.  ISBN 979-9101-25-5
  12. ^ (Indonesia)Suryadinata, Leo (1995). Prominent Indonesian Chinese: biographical sketches. Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 9789813055049.  ISBN 981-3055-04-9

Pranala luar

sunting