Oei Hui-lan

Sosialita Tionghoa-Indonesia

Oei Hui-lan (Hanzi: 黃蕙蘭; Pe̍h-ōe-jī: Ûiⁿ Hūi-lân; 21 Desember 1889 – 1992), juga dikenal sebagai Madame Wellington Koo, adalah seorang sosialita mancanegara dan ikon gaya yang berdarah Tionghoa-Indonesia. Ia pernah menjadi Ibu Negara dari Republik Tiongkok dari 1926 hingga 1927.[1][2][3][4] Ia pernah menikah dengan agen konsuler asal Britania Raya, Beauchamp Caulfield-Stoker, dan kemudian dengan negarawan Tiongkok pada zaman pra-komunis, Wellington Koo. Oei Hui-lan merupakan putri sekaligus pewaris dari seorang pengusaha Indonesia pada zaman kolonial, Oei Tiong Ham, Majoor der Chinezen.[5]

Oei Hui-lan
Oei Hui-lan pada tahun 1922, dengan putranya, Yu-chang Wellington Koo Jr.
Ibu Negara Republik Tiongkok
Masa jabatan
1 Oktober 1926 – 16 Juni 1927
PresidenWellington Koo
Informasi pribadi
Lahir
Oei Hui-lan

(1889-12-21)21 Desember 1889
Semarang, Jawa Tengah, Hindia Belanda
Meninggal1992 (umur 102–103)
Kota New York, Amerika Serikat
Kewarganegaraan
Partai politikKuomintang
Suami/istriForde Beauchamp Stoker (m. 1909, c. 1920)
Wellington Koo (m. 1921, c. 1958)
AnakLionel Montgomery Caulfield-Stoker (1912–1954)
Yu-chang Wellington Koo Jr. (1922–1975)
Fu-chang Freeman Koo (1923–1977)
Orang tuaOei Tiong Ham (ayah)
Goei Bing Nio (ibu)
KerabatOei Tjong-lan (saudari)
Oei Tjong Hauw (saudara tiri)
Tempat tinggal
Oei Hui-lan
Hanzi tradisional: 黃蕙蘭
Hanzi sederhana: 黄蕙兰
Alih aksara
Mandarin
- Hanyu Pinyin: Huáng Huìlán
Min Nan
- Romanisasi POJ: Ûiⁿ Hūi-lân
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Kedua orang tua Oei Hui-lan berasal dari keluarga terpandang: ayahnya berasal dari salah satu keluarga paling kaya di Jawa, sedangkan ibunya berasal dari golongan priyayi 'Cabang Atas' sebagai keturunan seorang Luitenant der Chinezen di birokrasi Belanda abad ke-18 di Semarang. Setelah pernikahan yang gagal dengan Caulfield-Stoker, ia bertemu Wellington Koo saat berada di Paris pada tahun 1920. Mereka menikah di Brussels tahun berikutnya dan awalnya menetap di Jenewa sehubungan dengan pendirian Liga Bangsa-Bangsa. Pada tahun 1923, ia pindah bersama suaminya ke Beijing tempat suaminya menjabat sebagai Pelaksana Jabatan Perdana Menteri di negara Tiongkok republik yang masih berevolusi. Pada masa jabatan keduanya (Oktober 1926—Juni 1927), Wellington Koo juga menjabat sebagai Presiden Republik Tiongkok untuk jangka waktu yang singkat, menjadikan Oei Hui-lan sebagai Ibu Negara Tiongkok. Pasangan tersebut kemudian menghabiskan waktu di Shanghai, Paris dan London tempat Oei Hui-lan menjadi seorang nyonya rumah yang terpandang. Pada tahun 1941, ia pindah ke New York tempat ia meninggal pada tahun 1992.

Oei Hui-lan, atau Madame Koo sebagaimana ia lebih dikenal, juga diingat karena menulis dua autobiografi dan atas kontribusinya terhadap dunia busana, terutama karya-karyanya yang mengadaptasi busana Tionghoa tradisional.

Biografi

sunting

Kehidupan awal

sunting
 
Semarang pada zaman kolonial, dimana Madame Wellington Koo dibesarkan.

Oei Hui-lan lahir pada tanggal 21 Desember 1889 dalam sebuah keluarga Tionghoa Peranakan di Semarang, Jawa Tengah, Hindia Belanda (sekarang Indonesia).[5] Ayahnya, Majoor-titulair Oei Tiong Ham merupakan seorang pengusaha yang mengepalai Kian Gwan, sebuah perusahaan dagang yang didirikan oleh kakeknya, Oei Tjie Sien pada 1863 yang menjadi konglomerat terbesar di Asia Tenggara pada permulaan abad ke-20.[5]

Ibunya, Goei Bing Nio, adalah istri tua ayahnya.[6] Tak seperti keluarga Oei yang adalah orang kaya baru, ibunya berasal dari Cabang Atas, golongan priyayi Tionghoa di Indonesia pada zaman kolonial.[7][8][9] Melalui ibunya, Hui-lan merupakan keturunan dari seorang pedagang-mandarin, Goei Poen Kong,[10] yang menjabat sebagai Boedelmeester,[11] kemudian sebagai Luitenant der Chinezen di Semarang pada akhir abad ke-18.[12][13] Jabatan-jabatan Tionghoa yang meliputi pangkat-pangkat Majoor, Kapitein dan Luitenant der Chinezen, adalah jabatan pemerintahan sipil dalam birokrasi kolonial Belanda di Indonesia.[14] Keluarga Goei dari pihak ibu Oei dapat ditelusuri asal-usul dan pengaruhnya di Semarang sejak tahun 1770-an. Keluarga Goei Bing-nio awalnya telah menentang kenaikan status sosial dan ekonomi Oei Tiong Ham.[7]

Hui-lan, yang memakai nama Angèle pada masa mudanya, memiliki seorang kakak perempuan, Oei Tjong-lan, alias Gwendoline, dari ibu yang sama.[13] Selain itu, ayahnya memiliki 18 istri muda dan gundik yang diakui, serta sekitar 42 anak yang diakui, termasuk saudara tirinya, Oei Tjong Hauw.[5]

Dua bersaudari Oei – sebagai putri dari istri tua Oei – tinggal dengan ayah mereka dan dididik di rumah oleh sejumlah pengajar Eropa di Semarang, menerima pendidikan yang sepenuhnya modern berdasarkan standar zaman itu.[15] Hal ini mencerminkan westernisasi Cabang Atas di Indonesia pada zaman kolonial sejak akhir abad ke-19.[16] Selain bahasa ibunya, bahasa Melayu (Indonesia), Hui-lan dapat berbicara dalam bahasa Inggris dan Prancis dengan lancar, dan cukup fasih dalam bahasa Hokkien, Mandarin dan Belanda.[5][17][18]

Pada 1905, Hui-lan dan saudarinya menjadi bagian dari sebuah resital di Singapura, tempat mereka belajar musik. Penampilan mereka disorot dalam surat kabar lokal, sebagaimana juga resital yang ia lakukan di Semarang:[15]

"Keunikan tiga lapis dari seorang gadis muda Tionghoa yang bernyanyi dalam bahasa Prancis kepada hadirin Inggris di sebuah negara Melayu kemudian menarik perhatian hadirin. Hal ini adalah “Farfalla” yang dinyanyikan Nn. Angela [sic] H. Oei. Usahanya mampu memikat perhatian hadirin, dan jika bukan karena fakta bahwa encore tidak diizinkan, ia pasti akan diminta kembali ke panggung. Kami telah menghadiri menghadiri resital yang agung dan unik di tiga ibu kota di Eropa, tetapi kami harus mengakui bahwa ini, lagu yang dinyanyikan Nona Angela Oei membuat kami takjub. Kami ulangi keunikannya sekilas: seorang gadis Tionghoa asal Sumatra [sic!] menyanyikan karya klasik Prancis dalam bahasa Prancis kepada hadirin Inggris. Sungguh ini adalah sebuah rekor dunia! Apakah Timur, pada akhirnya, benar-benar begitu jauh dari Barat?"[note 1]

"Pada bulan Maret 1907, Angèle mengadakan pertunjukan vokal di gedung sekolah THHK, Semarang dalam rangka pengumpulan dana untuk sekolah tersebut. Ia diiringi oleh kemenakannya yang berusia 16 tahun, Lim Tshoen, dari Singapura dan keponakannya yang berusia 12 tahun, Arthur Lim, menggunakan piano. Angèle mementaskan karya-karya buatan komponis Prancis: Charles Gounod (”Siebel” dalam Faust) dan Georges Bizet (dari opera Carmen) dengan elegan, dalam bahasa Prancis."[note 2]

Pandangan progresif dan pencapaian Oei bersaudari menerima kekaguman dari R.A. Kartini, seorang ningrat Jawa dan pionir pegiat hak perempuan.[15][19] Meskipun memiliki latar belakang yang kosmopolitan, hubungan Oei bersaudari dengan budaya Jawa tampaknya terbatas pada interaksi dengan pelayan mereka, dan dibawa ibu mereka mengikuti kunjungan kehormatan dan pementasan gamelan di berbagai istana kesultanan di Jawa.[1][2]

Pernikahan dengan Beauchamp Caulfield-Stoker (1909–1920)

sunting

Pada tahun 1909, di Semarang, Indonesia,[20] Hui-lan (memakai marga Oeitiongham) menikahi Beauchamp Forde Gordon Caulfield-Stoker (1877–1949), seorang berdarah Inggris-Irlandia yang menjadi agen konsuler Britania Raya di Semarang, dan pada akhirnya mewakili kepentingan perusahaan gula mertuanya di London.[5][17][21][22][23] Pada tahun berikutnya, mereka pindah ke Inggris.[24] Pada awalnya, mereka tinggal di 33 Lytton Grove, kemudian pindah ke Graylands, Augustus Road, Wimbledon Common, yang dibelikan ayahnya untuk mereka pada tahun 1915.[22] Pasangan tersebut memiliki seorang putra, Lionel Montgomery Caulfield-Stoker (1912–1954), lalu bercerai di London pada tanggal 19 April 1920. Hui-lan kemudian tinggal bersama ibu dan saudarinya di rumah bandar mereka di Mayfair, London.[25] Periode kehidupannya ini, ketika ia dikenal di masyarakat sebagai Countess Hoey [sebuah Anglikisasi dari Oei] Stoker[26][27][28] (kemungkinan karena ayahnya disebut count oleh beberapa orang) dan lebih memilih untuk dipanggil Lady Stoker,[29] tidak ia tuliskan dalam memoar-memoarnya.

 
Oei Hui-lan, saat itu Nyonya Beauchamp Caulfield-Stoker, alias Countess Hoey Stoker, dan putra sulungnya, Lionel Montgomery Caulfield-Stoker, pada tahun 1920.

Pernikahan mereka tidaklah mudah. Beberapa dari laporan-laporan yang terbit mengindikasikan bahwa kepribadian, sikap berlagak, dan ambisi sosial Hui-lan membuat suaminya terganggu hingga tidak bisa berkonsentrasi. Pada saat Perang Dunia I terjadi, mereka sudah menjadi saling tidak cocok.[22] The Sketch menyatakan bahwa "Countess Hoey Stoker adalah salah satu tokoh yang paling terkenal dalam kalangan elite sosial London. Ia adalah putri...'Rockfeller dari Tiongkok'."[note 3][30] Majalah kalangan elite Tatler menggambarkan dirinya sebagai memiliki "kecintaan terhadap dunia penerbangan dan merupakan salah satu wanita pertama yang menaiki penerbangan sipil" [note 4], sementara The Times menyatakan bahwa "tidak ada dansa atau kegiatan lainnya yang lengkap tanpa[nya]...seorang cantik terkenal yang mengendarai mobilnya sendiri di sekitar London...sebuah Rolls Royce abu-abu kecil berkapasitas dua tempat duduk yang sering terlihat melaju cepat di tengah-tengah lalu lintas."[note 5][18] Margaret Macdonald mengamati Hui-lan, yang berbusana seperti seorang Tionghoa ("karena ia memang demikian"), dalam sebuah pesta kostum di The Ritz, yang juga dihadiri oleh Lady Diana Manners, Adipati Wanita Sutherland dan Margot Asquith.[31] Hui-lan menikmati kesempatan berdansa dan berbusana yang disediakan oleh kalangan elite London.[17][18][32] Ia juga menikmati busana avant-garde:[32][33] "Aku diizinkan mengenakan busana makan malam favoritku, sebuah kreasi menakjubkan dengan celana Turki lengkap yang terbuat dari sifon hijau, baju pinggang lamé emas, dan jaket kuning pendek. Aku menyelipkan bunga-bunga emas dan hijau di rambutku dan mengenakan untaian mutiara tiga lapis.".[note 6][34] Hal itu adalah, ia kemudian komentari, "masa menjelang era flapper dan aku cocok dengan sempurna. Aku memiliki bentuk tubuh yang cocok untuk itu, mungil dan berdada kecil, dan vitalitas yang dibutuhkan. Jika kau dapat membayangkan seorang flapper Tionghoa, itulah aku".[note 7][34]

Pada 1915, Stoker menerima penugasan dalam Korps Layanan Angkatan Darat Kerajaan dan berusaha untuk menjaga jarak dengan Hui-lan. Ia memutuskan pisah ranjang saat di rumah dan menolak keinginan Hui-lan untuk ikut dengannya ke Devonport. Di sana Stoker menulis: "Sungguh konyol bagimu untuk datang ke bawah sini karena kamu tidak akan betah lebih dari dua atau tiga hari. Bahkan, jika kamu datang, aku harus mengambil cuti karena aku tidak mungkin berhenti di sini".[note 8][22] "Kehidupan dan pemikiran kami sangat jauh berseberangan sehingga membuatku tidak mungkin [kembali ke rumah]",[note 9] tulis Stoker. Hui-lan menggugat cerai Stoker pada tahun 1919. Ia mengklaim bahwa suaminya menolak untuk memperkenalkannya kepada keluarganya[22] dan gugatan cerai tersebut terjadi atas dasar kekejaman dan perilaku yang buruk.[22][24] Birmingham Daily Gazette mengamati bahwa perjalanan rumah tangga pasangan tersebut mirip dengan alur novel terkenal Java Head karya Joseph Hergesheimer, salah satu buku terlaris tahun 1918. Surat kabar tersebut menyebutkan, "tema [dari novel tersebut] adalah mengenai seorang Amerika yang membawa pulang istri Tionghoa dari keluarga bangsawan, dan mereka mulai berpisah secara perlahan karena kurangnya hubungan di antara keduanya".[note 10][35]

Pernikahan dengan Wellington Koo (1920–1958)

sunting
 
Dari kiri: Wang Chonghui, Oei Hui-lan dan suaminya Wellington Koo, antara tahun 1921 dan 1924.

Ibu Hui-lan mendorong putrinya, yang sekarang bercerai, untuk berkenalan dengan politikus dan diplomat Tiongkok lulusan Universitas Columbia yang bernama V. K. Wellington Koo. Koo sendiri pernah bercerai dan ia memiliki dua anak kecil dari istri keduanya yang baru saja meninggal.[3][4][5][36] Melalui perencanaan ibu Hui-lan, saudarinya dan orang-orang lainnya—termasuk orang tua almarhumah istri Koo, May Tang—Hui-lan dan Koo bertemu di Paris di sebuah pesta makan malam pada bulan Agustus 1920.[37] Mereka mengumumkan pertunangan mereka pada tanggal 10 Oktober, di sebuah acara peringatan hari jadi Republik Tiongkok, dan menikah di Legasi Tiongkok di Brussels, Belgia pada tanggal 9 November.[1][38] Hui-lan mengenakan cadar antik dan gaun gading buatan Callot Soeurs.[18][32] Pada akhir tahun, untuk sebuah pesta negara di Istana Buckingham, Madame Wellington Koo mengenakan busana buatan Charles Frederick Worth dan sebuah tiara berlian Cartier.[18][32]

 
Negarawan Tiongkok V. K. Wellington Koo berseragam pejabat

Pasangan tersebut memulai kehidupan rumah tangga mereka di Jenewa. Di sana, Koo terlibat dalam pembentukan Liga Bangsa-Bangsa.[3][4][36] Pada tahun 1923, Hui-lan ikut suaminya pindah ke Beijing, tempat ia mendukungnya dalam perannya sebagai Menteri Luar Negeri dan Menteri Keuangan Republik Tiongkok.[3][4][5][33] Tahun itu juga, ayahnya, Majoor Oei Tiong Ham, membelikan pasutri Koo sebuah istana Ming atas nama putrinya. Istana tersebut dibangun pada abad ke-17 untuk Chen Yuanyuan, seorang wanita penghibur yang menjadi gundik dari Jenderal Wu Sangui.[33][39][40] Pada tahun 1924, Madame Koo kembali ke kota asalnya, Semarang, untuk menghadiri pemakaman ayahnya yang baru saja meninggal di Singapura. Ia mengambil peran sebagai pelayat utama, mewakili ibunya sebagai istri tua yang tidak hadir.[1][2] Pada tahun 1925, pasutri Koo menjamu negarawan senior Tiongkok, Sun Yat-sen, dan istrinya, Soong Ching-ling, untuk singgah dalam waktu yang cukup lama di kediaman mereka di Beijing. Sun meninggal di kediaman tersebut.[33][40]

Selama Hui-lan berada di Tiongkok, negara tersebut mengalami masa paling bergejolak dalam sejarah politiknya – yang dikenal sebagai era panglima perang. Di masa itu, berbagai faksi militer dan politik berebut kekuasaan di negara republik Tiongkok yang baru saja berdiri.[41] Wellington Koo dua kali menjabat sebagai Pelaksana Jabatan Perdana Menteri, kali pertama pada tahun 1924, kemudian menjabat kembali dari tanggal 1 Oktober 1926 sampai 16 Juni 1927.[3][4][36] Pada masa jabatan keduanya, Koo juga menjabat sebagai Presiden Republik Tiongkok. Hal ini menjadikan Hui-lan Ibu Negara Republik Tiongkok, meskipun hanya untuk periode yang sangat singkat.[3][4][36]

Setelah Koo mengundurkan diri dari jabatannya pada tahun 1927, keduanya menetap di Shanghai yang pada saat itu merupakan kota pelabuhan terbesar keempat di dunia.[17] Lingkaran sosial Hui-lan di Shanghai meliputi pengusaha Sir Victor Sassoon dan Wallis Warfield Simpson, yang kemudian akan menjadi Adipati Wanita Windsor.[17][42] Hui-lan mengingat dalam memoarnya bahwa satu-satunya frasa yang dikatakan Wallis dalam bahasa Mandarin adalah "anak muda, beri aku sampanye".[2][17]

Meskipun begitu, Hui-lan, tidak puas dengan Shanghai tahun 1920-an,[33] dan memandangnya sebagai "dipenuhi dengan...orang-orang pelayaran dari Inggris...bukan siapa-siapa di rumah...[yang] berlagak seperti orang kelas atas di Tiongkok...mereka begitu picik, begitu kelas menengah...dan memandang rendah segala sesuatu yang benar-benar indah dan asli dari...budaya [Tionghoa]: giok, porselen, barang antik. Dan orang-orang Tiongkok Shanghai yang malang dan bodoh begitu terkesan dengan para pendatang baru ini sehingga mereka meniru perilaku mereka dan mengisi rumah-rumah mereka dengan perabotan 'Barat' (perabotan Shanghai yang disebut canggih itu semuanya berasal dari Grand Rapids dan barangnya berat serta jelek)."[note 11][25] Sebaliknya, ia sangat terkesima dengan Beijing sebelum era komunis, yang tatanan klasiknya dan kecantikan kunonya ia anggap hanya dapat disandingkan dengan Paris.[33] Di kemudian hari, ia menyatakan: "Peking adalah kotaku, tempat yang dulu aku pernah menjadi bagian dari masyarakatnya dan tempat yang aku harap suatu hari nanti, jika keadaan berubah di masa hidupku, bisa kembali."[note 12][25]

Istri Duta Besar dan Perang Dunia II

sunting

Pasutri Koo kemudian pindah ke Paris pada tahun 1932, tempat Wellington Koo telah ditunjuk sebagai Duta Besar Tiongkok untuk Prancis, sebuah jabatan yang ia emban hingga tahun 1940.[3][4][36] Setelah jatuhnya Prancis ke tangan Jerman dalam Perang Dunia II, Koo menjabat sebagai Duta Besar Tiongkok untuk Britania Raya di London sampai tahun 1946.[3][4][36] Koo mewakili Republik Tiongkok pada tahun 1945 sebagai salah satu anggota pendiri Perserikatan Bangsa-Bangsa.[3][4][36]

Selama periode ini, Madame Wellington Koo menjadi nyonya rumah yang terpandang bagi kalangan elite baik di Paris maupun di London.[17][18] Warisan besar dari ayah Hui-lan membuat pasutri tersebut dapat menghibur para beau monde (kalangan penikmat busana) Paris dan London dalam skala yang melampaui kemampuan sebagian besar diplomat.[17] Pada musim panas tahun 1939, ia menghadiri pesta yang diadakan Elsie de Wolfe untuk Maharani Kapurthala di Villa Trianon, Versailles dengan sejumlah tamu yang meliputi Coco Chanel dan Elsa Schiaparelli. Beberapa orang menganggap pesta tersebut sebagai lagu perpisahan terakhir Eropa sebelum Perang Dunia Kedua.[18]

Ia juga mengawasi pendidikan kedua putranya yang ia dapatkan dari pernikahannya dengan Koo, Yu-chang Wellington Koo Jr. (1922–1975) dan Fu-chang Freeman Koo (1923–1977). Ia menyekolahkan mereka di Sekolah MacJannet di Paris. Di sana, mereka seangkatan dengan Pangeran Philip dari Yunani dan Denmark, yang kemudian menjadi suami Ratu Elizabeth II.[43]

Masa tua

sunting

Pada tahun 1941, Hui-lan pindah ke Kota New York, tempat putra-putranya Wellington Koo Jr. dan Freeman Koo menempuh pendidikan tinggi di alma mater ayahnya, Universitas Columbia.[5][44] Ia bertujuan untuk menggunakan koneksi mancanegaranya untuk meyakinkan Amerika Serikat untuk bergabung dalam perang di pihak Sekutu untuk membantu upaya perang Tiongkok di Asia.[17] Meskipun pasutri Koo kemudian bersatu kembali di New York, tahun-tahun perang dan perpisahan telah merenggangkan hubungan mereka. Mereka bercerai pada tahun 1958.[5][17] Madame Wellington Koo menghabiskan sisa hidupnya di Kota New York.[5][17]

Ia menulis dua autobiografi dalam kolaborasi, pertama pada tahun 1943 dengan kolumnis sosialita The Washington Post Mary Van Rensselaer Thayer, kemudian pada tahun 1975 dengan jurnalis Isabella Taves.[5][17][18][40] Pada tahun 1980-an, ia terlibat dalam serangkaian usaha bisnis yang gagal di negara asalnya Indonesia, yang termasuk perkapalan, tembakau, dan sepeda.[40]

Ketika ia meninggal pada tahun 1992, mantan suaminya dan kedua putranya telah lama meninggal.[5] Putra dari pernikahan pertamanya telah meninggal pada tahun 1954.[45] Dominasi bisnis yang dibangun oleh kakek dan ayahnya dibubarkan oleh Sukarno menyusul Revolusi Indonesia. Republik Tiongkok, tempat selama beberapa dasawarsa ia dan suaminya mengabdi, kehilangan Tiongkok daratan yang jatuh ke tangan Partai Komunis.[4][5]

Gaya, seni dan warisan

sunting

Madame Koo sangat dikagumi karena kemampuannya mengadaptasi busana Tionghoa tradisional, yang ia pakai dengan celana renda dan kalung giok.[17][33][46] Ia diakui secara luas karena berhasil menciptakan kembali cheongsam Tionghoa dengan cara yang mampu menonjolkan dan memperindah siluet tubuh wanita.[33][46] Busana-busana cheongsam pada masa itu dipotong dengan sopan hanya beberapa inci di sisi-sisinya, tetapi Hui-lan memotong hingga bagian lutut dari busana tersebut – pada tahun 1920-an – "dengan pantalet berenda hanya terlihat hingga pergelangan kaki".[17][46] Dengan demikian, ia membantu memodernisasi, mempermewah dan membuat populer apa yang kemudian menjadi busana nasional perempuan Tiongkok.[17][46] Tak seperti sosialita Asia lainnya, Madame Wellington Koo bersikeras untuk memakai sutra dan bahan-bahan lokal, yang menurutnya memiliki kualitas yang lebih tinggi.[17]

Ia muncul beberapa kali dalam Majalah Vogue pada daftar wanita berbusana terbaik pada 1920-an, 1930-an, dan 1940-an.[17][46][47] Vogue memuji Madame Koo pada tahun 1942 sebagai "seorang warga negara dunia berdarah Tionghoa, sebuah kecantikan mancanegara", atas pendekatannya yang bijaksana untuk memajukan hubungan baik antara Timur dan Barat.[48]

Sebagai penikmat seni yang handal dan avant-garde, potret Madame Wellington Koo dilukis oleh Federico Beltrán Masses, Edmund Dulac, Leon Underwood, Olive Snell, Olive Pell, dan Charles Tharp, dan foto-fotonya diambil oleh para fotografer sosialita dan busana Henry Walter Barnett, E. O. Hoppé, Horst P. Horst, Bassano, dan George Hoyningen-Huene.[17][18][47][48][49][50]

Lukisan potret, foto, dan busananya sekarang menjadi bagian dari koleksi Galeri Potret Nasional di London, Museum Seni Metropolitan di New York, dan Museum Peranakan di Singapura.[48][51]

Dalam budaya kontemporer

sunting

Warisan Madame Koo dalam dunia busana masih menarik perhatian di mancanegara. Ia tampil sebagai "wanita bergaya" di China: Through the Looking Glass, sebuah pameran seni rupa yang dikurasi oleh Andrew Bolton dan Harold Koda, dan diselenggarakan dengan sambutan yang luar biasa pada tahun 2015 di Museum Seni Metropolitan.[52] Pada tahun 2018, perancang asal Indonesia, Toton Januar, membuat sebuah kampanye video untuk koleksi Musim Gugur Musim Semi-nya, yang didasarkan pada pencitraan ulang salah satu lukisan potret Madame Koo.[53]

Di negara asalnya, Indonesia, Madame Koo telah menjadi subjek serangkaian publikasi terkini. Dengan nama pena Agnes Davonar, para penulis populer Agnes Li dan Teddy Li menulis sebuah biografi sentimental dan sensasionalis dari Madame Koo, Kisah tragis Oei Hui Lan, putri orang terkaya di Indonesia, yang diterbitkan pada tahun 2009 oleh AD Publisher.[54] Oei Hui Lan: anak orang terkaya dari Semarang, sebuah biografi populer lainnya, diterbitkan oleh Eidelweis Mahameru pada tahun 2011.[55] Pada tahun yang sama, Mahameru menerbitkan sebuah biografi populer dari ayah Madame Koo, Oei Tiong Ham: Raja Gula, Orang Terkaya dari Semarang.[56]

Silsilah

sunting

[13]

Daftar karya

sunting
  • Hui-lan Koo (Madame Wellington Koo): An Autobiography as Told to Mary Van Rensselaer Thayer New York: Dial Press (1943)[1]
  • No Feast Lasts Forever New York: Times Books (1975)[2]

Lihat pula

sunting

Catatan

sunting
  1. ^ Kutipan asli: "The three cornered novelty of a young Chinese girl singing in French to an English audience in a Malay country next occupied the attention of the audience. This was “Farfalla” by Ms Angela [sic] H. Oei. Her effort captivated the audience, and but for the fact that encores were not allowed she would most certainly have been recalled. We have attended recitals great and strange in three capitals of Europe, but we must admit that this, the song of Miss Angela Oei staggered us. We repeat the novelty in a nutshell: a Chinese girl from Sumatra [sic!] singing a French classic in French to an English audience. Surely this is a world’s record! Is the East, after all, so far apart from the West?"
  2. ^ Kutipan asli: "In March 1907 Angèle gave a vocal recital in Semarang, a soirée musicale, in the THHK school building in a fund-raiser for the school. She was accompanied by her sixteen-year-old niece, Lim Tshoen, from Singapore and her twelve-year-old nephew, Arthur Lim, on piano. Angèle performed pieces by French composers: Charles Gounod (”Siebel” in Faust) and Georges Bizet (from the opera Carmen) in elegant, fluent French."
  3. ^ Kutipan asli: "Countess Hoey Stoker is one of the best-known figures in London Society. She is the daughter of...the 'Rockefeller of China'."
  4. ^ Kutipan asli: "a fondness for aviation and [being] among the first ladies to indulge in civilian flying"
  5. ^ Kutipan asli: "no dance or other function was complete without [her]...a famous beauty who drove her own motor car about London…a little grey two-seater Rolls Royce that could often be seen threading rapidly through traffic."
  6. ^ Kutipan asli: "I was allowed to wear my favorite dinner dress, an amazing creation with full Turkish trousers made of green chiffon, a gold lame bodice and a brief yellow jacket. I tucked gold and green flowers in my hair and wore a triple strand of pearls".
  7. ^ Kutipan asli: "the brink of the flapper era and I fitted in like a charm. I had the figure for it, tiny and small bosomed, and the vitality. If you can imagine a Chinese flapper, it was I."
  8. ^ Kutipan asli: "It is quite ridiculous for you to come down here as you could not stick it for more than two or three days. In fact, if you came I should have to apply for leave as I could not possibly stop here"
  9. ^ Kutipan asli: "Their "lives and ideas were so far apart that it makes it impossible for [me to return home]""
  10. ^ Kutipan asli: "the theme of which was the bringing home by an American of a Chinese wife of noble family, and their gradual alienation because of the lack of communion between the two"
  11. ^ Kutipan asli: "filled with...British shipping people...nobodies at home...[who] put on upper-class airs in China...they were so insular, so middle-class...and looked down their noses at everything really beautiful and indigenous to...[Chinese] culture: jade, porcelain, antiques. And the poor foolish Shanghai Chinese were so impressed with these upstarts that they copied their manners and filled their houses with 'Western' furniture (the so-called smart Shanghai furniture all came from Grand Rapids and was heavy and ugly)."
  12. ^ Kutipan asli: "Peking is my city, where I once belonged and where I hope someday, if things ever change in my lifetime, to return."

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e Koo (née Oei), Hui-lan; Van Rensselaer Thayer, Mary (1943). Hui-lan Koo (Madame Wellington Koo): An Autobiography as Told to Mary Van Rensselaer Thayer (dalam bahasa Inggris). New York: Dial Press. Diakses tanggal 24 February 2018. 
  2. ^ a b c d e Koo, Mme Wellington; Taves, Isabella (1975). No Feast Lasts Forever (dalam bahasa Inggris). New York: Quadrangle/New York Times Book Company. ISBN 9780812905731. 
  3. ^ a b c d e f g h i "V.K. Wellington Koo". Columbia University. Diakses tanggal 24 February 2018. 
  4. ^ a b c d e f g h i j "V. K. Wellington Koo (Gu Weijun)". Australian Centre on China in the World. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-09-28. Diakses tanggal 24 February 2018. 
  5. ^ a b c d e f g h i j k l m n Suryadinata, Leo (2015). Prominent Indonesian Chinese: Biographical Sketches (4th edition) (dalam bahasa Inggris). Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 191–192, 194–197. ISBN 9789814620505. 
  6. ^ "Oei Tiong Ham". National Library Board. Diakses tanggal 20 March 2019. 
  7. ^ a b Salmon, Claudine (1991). "A Critical View of the Opium Farmers as Reflected in a Syair by Boen Sing Hoo (Semarang, 1889)". Indonesia: 25–51. doi:10.2307/3351253. JSTOR 3351253. 
  8. ^ Ong, Hok Ham (2003). Power, Politics, and Culture in Colonial Java (dalam bahasa Inggris). Jakarta: Metafor Pub. hlm. 182, 223, 241. ISBN 9789793019116. 
  9. ^ Lee, Khoon Choy (2013). Golden Dragon and Purple Phoenix: The Chinese and Their Multi-ethnic Descendants in Southeast Asia (dalam bahasa Inggris). World Scientific. hlm. 167–179. ISBN 9789814383448. Diakses tanggal 24 February 2018. 
  10. ^ Post, Peter (2009–2010). "Java's Capitan Cina and Javanese Royal families: Status, Modernity and Power- Major Titular be Kwat Koen and Mungkunegoro VII › KNAW Research Portal". International Journal of Asia-Pacific Studies. 13: 49–66. hdl:20.500.11755/310b5f38-3ee5-49d0-af87-7b5987e9eedf. 
  11. ^ Medhurst, Walter Henry (1845). A Glance at the Interior of China: Obtained During a Journey Through the Silk and Green Tea Districts Taken in 1845. Printed at the Mission Press. hlm. 1–. 
  12. ^ Liem, Thian Joe (2004). Riwayat Semarang. Hasta Wahana. hlm. 33, 75, 169. ISBN 9789799695215. Diakses tanggal 19 April 2018. 
  13. ^ a b c Haryono, Steve (2017). Perkawinan Strategis: Hubungan Keluarga Antara Opsir-opsir Tionghoa Dan 'Cabang Atas' Di Jawa Pada Abad Ke-19 Dan 20 (dalam bahasa Inggris). Jakarta: Steve Haryono. hlm. 39–45. ISBN 9789090302492. Diakses tanggal 19 April 2018. 
  14. ^ Blussé, Leonard; Chen, Menghong (2003). The Archives of the Kong Koan of Batavia (dalam bahasa Inggris). Amsterdam: BRILL. hlm. 1–7. ISBN 9004131574. Diakses tanggal 28 September 2018. 
  15. ^ a b c Kwartanada, Didi (2017). "Bangsawan prampoewan. Enlightened Peranakan Chinese women from early twentieth century Java". Wacana. 18 (2): 422–454. 
  16. ^ Govaars-Tjia, Ming Tien Nio (2005). Dutch colonial education: the Chinese experience in Indonesia, 1900–1942 (dalam bahasa Inggris). Leiden: Chinese Heritage Centre. ISBN 9789810548605. 
  17. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r "Madame Wellington-Koo – Voted best dressed Chinese Woman of 1920s by Vogue". Nee Hao Magazine. January 28, 2016. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-07-22. Diakses tanggal 24 February 2018. 
  18. ^ a b c d e f g h i Aubry, Alex (January 30, 2016). "Transcontinental Chic: The Extraordinary Life of Madame Wellington Koo". dnachic.com (dalam bahasa Inggris). DNA. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-06-12. Diakses tanggal 24 February 2018. 
  19. ^ R. A. Kartini (1923). Door duisternis tot licht. Gedachten over en voor het Javaansche volk ... Bijeengegaard en uitgegeven door Mr. J.H. Abendanon. Vierde druk (dalam bahasa Inggris). Electr. Drukkerij "Luctor et Emergo". Diakses tanggal 28 September 2018. 
  20. ^ The Straits Times 10 November 1909
  21. ^ "Captain Beauchamp Forde Gordon CAULFIELD-STOKER. Royal Army Service Corps". UK National Archives (dalam bahasa English). UK National Archives. undefined NaN. Diakses tanggal 13 January 2019. 
  22. ^ a b c d e f "A Boycotted Wife: Chinese Lady Obtains Service in England, Married to Englishman in Java", Malaya Tribune', 24 May 1920, page 8
  23. ^ Chamion Caballero and Peter J. Aspinall, Mixed Race in Britain in the Twentieth Century (Springer, 2018), page 164–165
  24. ^ a b The Washington Post, 16 May 1920, page 1
  25. ^ a b c Koo & Taves, 1975.
  26. ^ "From the Far East", Tatler, 24 March 1920, page 19
  27. ^ "The Beautiful Daughter of the Rockefeller of Japan", Tatler, 28 August 1918, page 19
  28. ^ "A Chic and Charming Chinese Lady", Tatler, 28 May 1924, page 25
  29. ^ The Singapore Free Press and Mercantile Advertiser, 4 October 1919, Page 12
  30. ^ The Sketch: A Journal of Art and Actuality (dalam bahasa Inggris). London: Ingram brothers. 1919. Diakses tanggal 24 February 2018. 
  31. ^ Mann, Susan (2005). Margaret Macdonald: Imperial Daughter (dalam bahasa Inggris). McGill-Queen's Press - MQUP. hlm. 147. ISBN 9780773529991. Diakses tanggal 24 February 2018. 
  32. ^ a b c d "Soong Mei-Ling, Oei Hui-Lan. Once upon a time". Vogue Italia (dalam bahasa Italia). Vogue Italia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-06-16. Diakses tanggal 1 November 2018. 
  33. ^ a b c d e f g h Finnane, Antonia (2008). Changing Clothes in China: Fashion, History, Nation (dalam bahasa Inggris). Columbia: Columbia University Press. hlm. 78, 145–154, 326–329. ISBN 9780231512732. Diakses tanggal 28 September 2018. 
  34. ^ a b Koo & Taves, 1975
  35. ^ "The Chinese Wife", Birmingham Daily Gazette, 22 April 1920, page 4
  36. ^ a b c d e f g Craft, Stephen G. (2015). V.K. Wellington Koo and the Emergence of Modern China (dalam bahasa Inggris). Kentucky: University Press of Kentucky. hlm. 28, 61, 71, 80–94, 147–157. ISBN 9780813157566. Diakses tanggal 28 September 2018. 
  37. ^ Jonathan Clements, Wellington Koo: China
  38. ^ "Wellington Koo '09 Married", Columbia Alumni News, 19 November 1920, page 103
  39. ^ Susanna Hoe, Chinese Footprints: Exploring Women's History in China, Hong Kong and Macau (Roundhouse Publications (Asia) Limited, 1996), page 86
  40. ^ a b c d Setyautama, Sam (2008). Tokoh-tokoh etnis Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 270, 386. ISBN 9789799101259. Diakses tanggal 28 September 2018. 
  41. ^ Chan, Anthony B. (2010). Arming the Chinese: The Western Armaments Trade in Warlord China, 1920–28, Second Edition (dalam bahasa Inggris). UBC Press. ISBN 9780774819923. Diakses tanggal 24 February 2018. 
  42. ^ "Jadeite As Status Symbol". Sotheby's. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-03-04. Diakses tanggal 14 April 2018. 
  43. ^ "MacJannet Foundation | Building a Community of Global Citizens". macjannet.org. Diakses tanggal 24 Februari 2018. 
  44. ^ Cooke, Charles; Kahn, Jr., E. J.; Ross, Harold (October 22, 1938). "Two Koos". The New Yorker. Diakses tanggal 28 September 2018. 
  45. ^ "Lionel Montgomery Caulfield-Stoker". geni_family_tree (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-08-08. 
  46. ^ a b c d e "From Chanel to Valentino, a First Look at the Dresses in the Met's "China: Through the Looking Glass"". Vogue (dalam bahasa Inggris). Vogue. Diakses tanggal 27 February 2018. 
  47. ^ a b "Hoyningen-Huene - Vogue 1929". Getty Images. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-02-09. Diakses tanggal 24 February 2018. 
  48. ^ "Madame Wellington Koo sitting for her portrait by Mr Edmund Dulac at his studio , 117 Ladbroke Road 19 August 1921 Hui-lan Oei was the daughter of Chinese businessman Oei Tiong Ham. Her marriage to Chinese diplomat and politician Vi Kyuin Wellington Koo, was announced in October 1920, when Wellington Koo was Chinese Minister to the United States. In early 1921, Vi Kyuin Wellington Koo was appointed the Chinese Minister to Great Britain and they lived in London until June 1946, though they divorced shortly after the Second World War". Europeana Collections (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 24 February 2018. 
  49. ^ "Horst P. Horst. Oei Huilan (the former Madame Wellington Koo) (1943) Artsy". www.artsy.net (dalam bahasa Inggris). Artsy. Diakses tanggal 27 February 2018. 
  50. ^ "VCM". masterpieces.asemus.museum (dalam bahasa Korea). Diakses tanggal 24 February 2018. 
  51. ^ "China: Through the Looking Glass. The Metropolitan Museum of Art". www.metmuseum.org. Diakses tanggal 27 February 2018. 
  52. ^ Dirgapradja, Stanley (15 February 2018). "Video Koleksi Fall Winter 2018 TOTON Adalah Film Pendek Horor yang Stylish". fimela.com. Fimela.com. Diakses tanggal 14 April 2018. 
  53. ^ Davonar, Agnes (2009). Kisah Tragis Oei Hui Lan, Putri Orang Terkaya di Indonesia. Jakarta: AD Publisher. ISBN 9786029575200. 
  54. ^ Mahameru, Eidelweis (2011). Oei Hui Lan: Anak Orang Terkaya dari Semarang. Jakarta: Hi-Fest Pub. ISBN 9786028814188. Diakses tanggal 14 April 2018. 
  55. ^ Mahameru, Eidelweis (2011). Oei Tiong Ham: raja gula, orang terkaya dari Semarang. Jakarta: Hi-Fest Pub. ISBN 9786028814164. Diakses tanggal 14 April 2018. 

Pranala luar

sunting