Neo-positivisme merupakan salah satu trend aliran filsafat pada abad ke-20 yang membentuk aliran positivisme modern.[1] Neo-positivisme mencabut filsafat dari pokok persoalannya.[1] Menurut sistem ini, pengetahuan tentang kenyataan diberikan hanya dalam ranah pemikiran ilmiah konkret.[1] Sedangkan filsafat mungkin hanya sebagai suatu bentuk analisis kebahasaan.[1] Dalam analisis ini, hasil dari bentuk pemikiran kemudian diungkapkan. Menurut kaum neo-positivis, analisis filosofis tidak menjangkau kenyataan obyektif dan hanya terbatas pada pengalaman langsung atau kebahasaan.[1] Salah satu bentuk ekstrem dari neo-positivisme adalah neo-positivime Lingkungan Wina. Dengan membatasi bidang filsafat pada emosi individual, mereka langsung tiba pada solipsisme.[1] Positivisme logis merupakan jenis neo-positivisme yang paling berpengaruh. Para filsuf analitis Inggris, para pengikut Moore mengikuti pandangan umum neo-positivisme.[1] Penggabungan ideologis dan organisasional ilmiah beraneka kelompok filsuf dan filsuf-filsusf secara individual yang memeluk pandangan neo-positivis logis terjadi pada dasawarsa 1930-an.[1] Mereka adalah para neo-positivis logis Jerman-Austria dari Lingkungan Wina.[1] neo-positivisme (atau disebut juga: positivisme logis, empirisme logis, filsafat analitis, atau filsafat bahasa) adalah aliran yang mengarahkan: perhatiannya pada bahasa sebagai objek penyelidikan dan menganggap hal, menciptakan kejelasan di bidang pemakaian bahasa sebagai sasaran aktivis mereka.

menurut neo-positivisme, ucapan yang bermakna itu pertama harus memuat tautologi; dan kedua, kalau tidak memuat tautologi, ucapan tersebut harus dapat dicek secara empiris. ucapan tautologi yakni ucapan dimana predikatnya hanya menjelaskan subjeknya saja (ucapan logika dan matematika).[2]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e f g h i Van Peursen (1980). Filsafat. Jakarta: Gramedia. hlm. 107-108. 
  2. ^ Shindunata (1982). Teori Kritis Sekolah Fankfurt. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hlm. 101–102.