Museum Penghancur Dokumen

Museum Penghancur Dokumen adalah judul buku kumpulan puisi karya Afrizal Malna yang diterbitkan oleh Garudhawaca Yogyakarta pada tahun 2013. Buku setebal 110 halaman dan ISBN 978-602-7949-01-0, ini mengantarkan Afrizal memenangi Penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa untuk kategori puisi, pada tahun 2013.

Museum Penghancur Dokumen
PengarangAfrizal Malna
BahasaIndonesia Indonesia
GenrePuisi
PenerbitGarudhawaca Yogyakarta
Tanggal terbit
April 2013 2013
Halaman110
ISBNISBN 978-602-7949-01-0

Latar belakang

sunting

Museum Penghancur Dokumen merupakan buku kumpulan puisi Afrizal Malna yang diterbitkan oleh penerbit Garudhawaca Yogyakarta pada tahun 2013, terdiri dari 3 bagian, yang sempat tertunda untuk diterbitkan. Judul ini merupakan reaksi Afrizal Malna terhadap puisi-puisinya sendiri. Menulis puisi, sebagaimana yang dilakukan Afrizal, merupakan kerja kepenyairan yang serius. Afrizal pun juga merasa kelelahan dengan itu. Bagi Afrizal, naskah-naskah dalam antologi puisi ini merupakan upaya pengosongan berbagai dokumentasi tubuhnya. Seperti biasa, puisi Afrizal Malna adalah puisi Afrizal dengan kecenderungan dan gaya khasnya. Bahkan dalam salah satu puisinya ia mencoba membuat kotak-kotak dan dan pola yang sebelumnya belum pernah ia cobakan dalam antologi puisi lainnya.

Puisi-puisi Afrizal identik dengan membaca korespondensi benda-benda. Melawan bentuk itu, seolah-olah mengajak pembaca berdialog dengan benda mati yang dibuatnya jadi hidup. Nuansa semacam itulah yang dapat ditemukan ketika membaca Museum Penghancur Dokumen. Dalam buku kumpulan puisi ini, Afrizal tetap kosisten dalam gaya khas puitiknya. Mesin fotokopi, penggaris, koper, televisi, dan kaca adalah benda-benda yang sering mengisi puisi-puisinya. Benda-benda itulah menggambarkan sebuah dunia masyarakat urban. Berawal dari sinilah Afrizal menggiring pembaca ke dalam lokus perenungannya; ihwal manusia modern dan masalahnya, sebuah ekstraksi dari kegelisahan Afrizal. Selain itu, pembaca juga dapat menemukan beberapa puisi yang sedang berusaha mengutuhkan ruang, warna dan bentuk. Seakan-akan puisi-puisinya memang bukan sekadar karya sastra, melainkan karya seni. Dalam esai penutup buku kumpulan puisi ini, Afrizal menyatakan, memang lebih cenderung melihat sebuah puisi sebagai karya seni dibanding karya sastra. Dia berusaha menggabungkan berbagai macam unsur dalam puisinya; sejarah, pusaka nusantara, dan filsafat, lalu diramu dengan permainan bahasa dan imajinatif dan cenderung liar yang tak terduga. Pada akhirnya lahirlah puisi-puisi dengan gaya estetik yang unik.[1][2][3][4]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting