Muhammad Nafis al-Banjari

ulama Banjar


Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari atau Datu Nafis (lahir di Martapura, Kesultanan Banjar, 1735 - meninggal di Kelua, 1812[1]) adalah salah seorang Ulama Banjar di kawasan Tabalong-Kelua. Dia juga cukup dikenal sebagai tokoh sufi yang tegas dalam melawan segala bentuk penindasan, dimana dia menganut aliran tarekat seperti Qadiriyah, Syattariyah, Naqsabandiyah, dan Khalwatiyah.[2][3]

Infobox orangMuhammad Nafis al-Banjari
Biografi
Kelahiran1735 Edit nilai pada Wikidata
Kematian1812 Edit nilai pada Wikidata (76/77 tahun)
Tempat pemakamanBinturu Galat: Kedua parameter tahun harus terisi! Edit nilai pada Wikidata
Kegiatan
Pekerjaanulama Edit nilai pada Wikidata

Di samping dikenal sebagai ulama yang ahli di bidang fikih, juga ahli dalam bidang tasawuf. Atas permintaan saudaranya, dia telah menulis sebuah kitab yang berisi tentang ajaran-ajaran tasawuf dengan judul Ad-Durrun Nafis. Kitab ini banyak didiskusikan dan diperdebatkan, karena materi-materinya yang dianggap kontroversi oleh para ulama fiqih, dia adalah keturunan Kesultanan Banjar dan nasabnya bersambung sampai ke Sultan Pangeran Suriansyah. Sultan pertama kerajaan banjar yang berdakwah agama islam dan terus bersambung sampai kerajaan Daha Pertama Kalimantan Selatan yaitu Maharaja Pangeran Suryanata suami dari Puteri Junjung Buih.[2][3][4]

Riwayat

sunting

Nama lengkap dari ulama ini adalah Muhammad Nafis bin Idris bin Gusti Husein bin Ratu Anum Kasuma Yuda bin Pangeran Kesuma Negara bin Pangeran Dipati bin Sultan Tahlilullah bin Sultan Saidullah bin Sultan Inayatullah bin Sultan Mustainbillah bin Sultan Hidayatullah bin Sultan Rahmatullah bin Sultan Suriansyah. Ia lahir sekitar tahun 1148 Hijriah atau bertepatan dengan tahun 1735 Masehi, di Martapura, sekarang ibu kota Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Ia berasal dari keluarga bangsawan Banjar yang garis silsilah dan keturunannya bersambung hingga Sultan Suriansyah (1527-1545 M). Sultan Suriansyah merupakan Raja Banjar pertama yang dari lahir sudah memeluk agama Islam, yang dahulu bergelar Pangeran Samudera.[3]

Sejak kecil, Syekh Muhammad Nafis memang sudah menunjukkan bakat dan kecerdasan yang tinggi dibanding dengan teman-teman sebayanya. Bakat dan kecerdasan yang dimilikinya ini membuat Sultan Banjar tertarik. Sehingga, pada akhirnya Muhammad Nafis pun dikirim ke Makkah untuk belajar dan mendalami ilmu-ilmu agama. Salah satu dari ilmu agama yang digelutinya, bahkan menjadikan ia populer adalah bidang tasawuf. Sebagaimana halnya ulama Jawi (Indonesia) abad ke-17 dan ke-18 yang belajar di Makkah, Syekh Muhammad Nafis juga belajar pada para ulama terkenal, baik yang menetap maupun yang sewaktu-waktu berziarah dan mengajar di Haramain (Makkah dan Madinah) dalam berbagai cabang ilmu keislaman, seperti tafsir, fikih, hadits, ushuluddin (teologi), dan tasawuf.[3]

Di antara gurunya dalam bidang ilmu tasawuf di Makkah adalah Abdullah bin Hijazi asy-Syarqawi al-Azhari (1150-1227 H/1737-1812 M), ulama tasawuf yang kemudian menduduki jabatan Syekh al-Islam dan Syekh al-Azhar sejak 1207 H/1794 M. Selain itu, dia juga belajar kepada Syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Sammani al-Madani (1132 H - 1189 H), seorang ulama Madinah yang merupakan guru dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam hal ilmu tasawuf. Dalam mempelajari tasawuf, Syekh Muhammad Nafis berhasil mencapai gelar 'Syekh al-Mursyid', gelar yang menunjukkan bahwa ia diperkenankan mengajar ilmu tasawuf dan tarekatnya kepada orang lain. Setelah itu, ia pulang ke kampung halamannya, Martapura, pada 1210 H/1795 M.[3]

Karya Tulis

sunting

Karena seringnya melakukan dakwah ke pedalaman, ia hanya sempat mengarang sedikit kitab. Sampai sekarang yang terlacak hanya dua buah kitab saja yaitu sebagai berikut.

Kanzus Sa’adah

sunting

Kitab ini berisi tentang istilah-istilah ilmu tasawuf.. Menurut Hawash Abdullah, pengarang biografi Ula-Ulama Melayu yang terkenal, kitab ini belum pernah dicetak masih berupa manuskrip.[3]

Ad-Durrun Nafis Fi Bayani Wahidati al-Af'al Wa al-Asma-I Wa al-Sifati Wa al-zati al-Taqdisi (Ad-Durrun Nafis)

sunting

Kitab ini berisi tentang pengesaan perbuatan, nama, sifat dan zat Tuhan, yang bertujuan untuk melepaskan diri dari syirik khafi, ujub, dan riya. Meskipun begitu, ada yang berpendapat bahwa seseorang harus memiliki guru yang lebih paham dengan ilmu fikih, tauhid, dan makrifat, mengingat kitab ini dinilai sulit dipahami sehingga tidak sembarang orang dapat mempelajari kita ini. Kitab ini ditulis pada tahun 1200 H atau 1775 H, dimana di dalam tulisannya menjelaskan tentang tahun kitab tersebut diselesaikan, yaitu sebagai berikut.[2][3]

"Dan kemudian daripada itu maka tatkala adalah tahun Saribu Dua Ratus Batul dari Hijrah Nabi yang Mulia atas ampu-Nya daripada Tuhannya rahmat yang amat lebih dan haluan yang amat suci... Dan sanya tatkala adalah selesai daripada menerjemahkan akan risalah ini di dalam negeri Makkah yang mulia ketika lanjut waktu Isya pada malam Arab yang ketujuh likur (malam ke-27) pada bulan Muharram yang haram pada tahun Arabi yang Basithah[5] ketika matahari pada buruz (pada sumbunya) daripada segala tahun hijrah yang telah tersebut pada awal risalah ini. Selesai."

Di Banjarmasin, kitab ini sangat digemari masyarakat dan dipelajari secara umum dalam suatu pertemuan, terutama di masjid dan di surau sejak abad ke-18 sampai abad ke-19. Hal ini membuat beberapa ulama khawatir lantaran sebagain isinya lebih condong ke arah pemikiran Syekh Abu Yazid al-Busthami dan Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi.[2] Namun, ada yang berpendapat bahwa pencekalan tersebut dilatarbelakangi oleh propoganda Belanda, lantaran kitab ini membahas tentang jihad yang dapat mendorong rakyat untuk melawan Belanda.[3]

Makam Syekh Muhammad Nafis al-Banjari

Muhammad Nafis hidup pada periode yang sama dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Dan diperkirakan wafat sekitar tahun 1812 M. dan dimakamkan di Mahar Kuning, Desa Binturu, sekarang menjadi bagian desa dari Kecamatan Kelua, Kabupaten Tabalong. Dan sekarang makam tersebut menjadi salah satu objek wisata relijius di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan.

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Sebenarnya tidak ada keterangan tahun wafat yang pasti dari Muhammad Nafis Al-Banjari. Namun, berdasarkan riwayat hidupnya, Muhammad Nafis hidup pada periode yang sama dengan Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari dan diperkirakan wafat sekitar tahun 1812 M
  2. ^ a b c d Noor, Yusliani (2016). Islamisasi Banjarmasin (Abad ke-15 sampai ke-19). Yogyakarta: Ombak. ISBN 9786022583561. 
  3. ^ a b c d e f g h Tim Sahabat (2014). Datu-Datu Terkenal Kalimantan Selatan (edisi ke-8). Kandangan: Penerbit "SAHABAT" Mintra Pengetahuan. ISBN 9786021988374. 
  4. ^ Tangklukan, abangan, dan tarekat: kebangkitan agama di Jawa oleh Ahmad Syafii Mufid
  5. ^ Peredaran matahari berada pada perbintangan kalajengking dari tahun Hijriah.

Referensi

sunting

Pranala Luar

sunting