Monarki Utara (Portugis: Monarquia do Norte), bernama resmi Kerajaan Portugal (Reino de Portugal) adalah sebuah revolusi singkat yang dilakukan untuk menentang berdirinya Republik Portugis Pertama. Monarki Utara juga merupakan sebuah pemerintahan berbentuk Monarki yang dibentuk di Wilayah Utara Portugal pada awal tahun 1919. Monarki Utara beribukota di Porto. Negara ini terbentuk dari 19 Januari hingga penumpasannya pada 13 Februari 1919[1]. Revolusi yang membentuk negara ini juga dikenal dengan istilah Kerajaan Traulitânia (Reino da Traulitânia)[1][2].

Kerajaan Portugal

Reino de Portugal
1919
{{{coat_alt}}}
Lambang
StatusTidak Diakui
Ibu kotaPorto (de facto)
Bahasa yang umum digunakanPortugis
Agama
Katolik Roma
PemerintahanMonarki Konstitusional
Raja 
• 1919
Manuel II
Presiden Junta 
• 1919
Paiva Couceiro
Era SejarahPeriode Antar Perang
• Proklamasi Restorasi Monarki
19 Januari 1919
• Penghentian Upaya Restorasi Monarki
14 Februari 1919
Mata uangReal Portugis (klaim), Escudo Portugis (de jure)
Didahului oleh
Digantikan oleh
Republik Portugis Pertama
Republik Portugis Pertama
Sekarang bagian dari Portugal
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Monarki Utara dibentuk dibawah pimpinan Henrique Mitchell de Paiva Couceiro, seorang anggota pemerintah Kerajaan Portugal yang terkemuka. Gerakan yang ia pimpin tidak mendapat persetujuan dari Raja Manuel II. Paiva Couceiro yang sebelumnya juga terlibat dalam upaya upaya restorasi monarki mengatakan bahwa revolusi yang mereka lakukan adalah hal yang sangat penting, karena “Jika Utara tidak setuju dengan Selatan, hingga titik darah penghabisan, saya akan berada di pihak yang setia pada tradisi".

Ketidakmampuan Monarki Utara untuk mendapatkan dukungan rakyat yang kuat di seluruh negeri, ditambah dengan struktur kepemimpinan yang tidak terorganisir, menyebabkan revolusi tersebut berakhir dengan cepat dan berdirinya kembali rezim republik Portugis di utara.

Latar Belakang

sunting

Wilayah Utara Portugal dalam sejarahnya sering dijadikan sebagai tempat awal mula revolusi dan pembangkangan melawan pemerintah Portugal. Hal ini dilihat pada peristiwa Revolusi Liberal 1820 yang menentang pemerintahan monarki absolut, kemudian peristiwa Revolusi Republikan pada tahun 1891 yang menentang pemerintahan monarki. Meskipun demikian, Wilayah Utara Portugal juga sering dianggap sebagai kedudukan tradisional bangsawan Portugal.

Ketika Raja Manuel II dilengserkan melalui peristiwa Revolusi 5 Oktober 1910, Raja Manuel II dan seluruh keluarga kerajaan diusir dari tanah Portugis, melarikan diri melalui Ericeira menuju Gibraltar dan berakhir di Britania Raya setelah Pemerintah Britania Raya menyetujui pengungsian mereka.

Setelah dilengserkan, Raja Manuel II dan sebagian besar keluarganya meyakini bahwa republik baru itu tidak akan bertahan lama, karena dibentuk tanpa adanya dukungan penuh dari rakyat. Meskipun Raja Manuel II siap untuk mengambil kembali tahtanya, ia menekankan pentingnya pemulihan secara diplomatis dan elektoral, bukan secara militer.

Pada 3 Oktober 1911, Paica Couceiro memimpin revolusi menentang republik untuk pertama kalinya, yaitu serangan monarki pertama ke kota utara Chaves. Pasukan monarki mengibarkan bendera biru dan putih monarki di balai kota dan mengambil alih Chaves selama tiga hari, sampai mereka mundur ketika pasukan republik tiba di Chaves.

Serangan Chaves

sunting
 
Tentara pendukung monarki memegang Bendera Kerajaan Portugal setelah berhasil menaklukan Kota Porto.

Meskipun serangan pertama kaum monarki di Chaves mengalami kegagalan, Paiva Couceiro kembali menyatukan pendukungnya di seberang perbatasan Galicia untuk melancarkan serangan kedua mereka untuk kembali mengambil alih Chaves. Tidak seperti serangan mereka yang pertama, serangan yang kedua ini sudah mempersiapkan segala dukungan dan suplai militer yang diterima dari bantuan tak resmi oleh Spanyol. Spanyol merasa khawatir kalau kebijakan republikan yang radikal di Portugal akan menyebar ke Spanyol, karena Spanyol sendiri merupakan negara dengan bentuk pemerintahan monarki.

Dengan jumlah pasukan sebesar 450 orang yang terdiri dari para penduduk dan militer serta diperkirakan jumlah pendukung dan sukarelawan akan bergabung dalam serangan kedua ini akan semakin bertambah. Pada saat kaum monarki telah mencapai Chaves pada 8 Juli 1912, diperkirakan 700 orang telah bergabung untuk mengambil alih Kota Chaves dari pemerintah republik. Namun serangan tersebut tidak mendapat dukungan publik yang besar seperti yang diharapkan oleh Paiva Couceiro, terutama didukung oleh para pendeta dan kaum pasifis yang tidak dapat mendukung gerakan tersebut atas dasar militer.

Pada saat kaum monarkis hampir mencapai kota Chaves, 150 orang sukarelawan lokal yang dibekali pelatihan singkat telah mengorganisir diri mereka untuk melindungi kota atas nama pemerintah republik dan ditambah dengan bantuan sebanyak 100 orang tentara dari Angkatan Bersenjata Portugal yang dijangka akan bergerak menuju Chaves.

Meskipun pasukan monarki memiliki jumlah yang lebih banyak, mereka kekurangan perbekalan yang dibawa oleh 100 tentara reguler dan pada akhir serangan, 30 anggota monarki terbunuh dan sisanya melarikan diri ke pengasingan atau ditangkap.

Meskipun serangan kaum monarkis terhadap Chaves merupakan sebuah kegagalan bagi kekuatan monarki, serangan-serangan tersebut menjadi dasar untuk menjadi Monarki Utara kelak, yang menunjukkan bahwa kaum monarki siap menggunakan kekuatan militer untuk merestorasi monarki.

Proklamasi Restorasi Monarki

sunting
 
Proklamasi Restorasi Kerajaan Portugal di Viana do Castelo, 19 Januari 1919.

Pada 15 Januari 1919, Perdana Menteri Tamagnini Barbosa mengambil alih pemerintahan di Republik Portugal dan menjadikan João do Canto e Castro sebagai Presiden Portugal setelah terbunuhnya Sidónio Pais.

Kaum Sidonis, para pendukung Sidónio Pais kemudian berkumpul dibawah perintah Jenderal Almedia dan membentuk Junta Militer Sementara di Lisboa sebagai bentuk perlawanan terhadap Presiden Canto e Castro. Hal yang sama juga terjadi di Wilayah Utara Portugal, kaum Sidonis membentuk Junta Militer Pemerintahan yang memproklamirkan kendali wilayah utara dibawah mereka.

Melihat kesempatan tersebut ditambah dengan terbunuhnya Sidónio Pais, Paica Coueceiro secara sigap langsung bertolak menuju Wilayah Utara Portugal di mana ia menilai situasi tersebut sangat mendukung pemulihan monarki, untuk bertemu dengan komando pusat monarki. Junta Pusat Integralismo Lusitano mengadakan pertemuan pada 17 Januari 1919 dimana António Maria de Sousa Sardinha dan Luís Carlos de Lima e Almeida Braga memutuskan untuk memproses rencana Paiva Couceiro untuk mengambil alih Porto dengan niatan untuk memutuskan hubungan Porto dari Lisboa dan dengan demikian akan menumbuhkan dukungan suara untuk pemulihan monarki Portugis.

Meskipun António Sardinha dan Paiva Couceiro telah bertolak menuju Porto tanpa adanya perlawanan dari tentara lokal maupun para penduduk pada pagi hari tanggal 18 Januari, Upacara resmi pemulihan Kerajaan Portugal baru dapat dilakukan keesokan harinya dengan ditandai dengan pengibaran bendera biru putih di balai kota Porto. Menyusul proklamasi pemulihan monarki, bendera biru dan putih dikibarkan di gedung-gedung pemerintah di seluruh wilayah Utara, dari Kota Viana do Castelo hingga kota Chaves.

Serangan Monsanto

sunting

Setelah peristiwa proklamasi di Porto, pada 21 Januari 1919, Perdana Menteri João Tamagnini Barbosa menyeru kepada semua rakyat untuk angkat senjata melawan Monarki. Para rakyat kemudian dibekali dengan persenjataan dan pelatihan militer[3]. Hal ini sangat penting karena garnisun di Lisbon menyatakan netral[3]. Pada sore hari tanggal 22 Januari, sebuah kelompok militer monarkis yang dipimpin oleh Aires de Ornelas dan Álvaro de Mendonça berkumpul di Bukit Monsanto[3]. Mereka membuat proklamasi Monarki dan mengibarkan bendera monarki[3]. Milisi Sipil Republik kemudian berkumpul di Taman Eduardo VII bersama sejumlah tentara Garda Republikan Nasional, Garda Fiskal ditambah dari tentara angkatan laut dan darat untuk berbaris menuju Monsanto. Pada pagi hari tanggal 23 Januari, kedua pasukan tersebut kemudian bertemu dan pasukan republik kemudian mengepung pasukan monarki[3]. Serangan yang dilakukan oleh pasukan republik kemudian berhasil mengalahkan pasukan monarki yang menyerah sekitar jam 5 sore[3]. Serangan Monsanto menyebabkan pengunduran diri João Tamagnini Barbosa pada tanggal 26 Januari dan José Relvas kemudian mengambil alih tampuk pemerintahan Republik Portugal[3].

Dukungan Monarki

sunting

Monarki Utara dijalankan tanpa adanya persetujuan dari Raja Manuel II.

Pembubaran

sunting

Ketidakmampuan revolusi untuk mendapatkan dukungan rakyat yang kuat di mana pun di negara ini, ditambah dengan strukturnya yang tidak terorganisir, menyebabkan revolusi ini berakhir dengan cepat dan berdirinya kembali rezim republik Portugis di utara.

Pada tanggal 13 Februari 1919, revolusi di Porto yang dilakukan oleh warga sipil dan anggota Garda Republik Nasional menyebabkan berakhirnya Monarki Utara[3].

Daftar Referensi

sunting
  1. ^ a b S.A, Priberam Informática. "Traulitânia". dicionario.priberam.org (dalam bahasa Portugis). Diakses tanggal 2020-07-16. 
  2. ^ Lima, Campos (1919). O reino da Traulitânia. Porto: Edição da Renascença Portuguesa
  3. ^ a b c d e f g h Rosas, Fernando (2007). Lisboa revolucionária: 1908-1975. Lisboa: Tinta da China Edições. ISBN 978-989-671-025-5. 

Bibliografi

sunting
  • Diário da Junta Governativa do Reino de Portugal. Colecção Completa, nº 1 (19 Jan 1919) – nº 16 (13 Fev 1919), Porto, J. Pereira da Silva, 1919.
  • Felix Correia, A Jornada de Monsanto – Um Holocausto Tragico, Lisboa, Tip. Soares & Guedes, Abril de 1919.
  • A Questão Dinástica – Documentos para a História mandados coligir e publicar pela Junta Central do Integralismo Lusitano, Lisboa, Empresa Nacional de Indústrias Graficas, 1921.
  • Luís de Magalhães, “Porque restaurámos a Carta em 1919”, Correio da Manhã, 27 e 28 de Fevereiro de 1924.
  • Luís de Magalhães, Perante o Tribunal e a Nação, Coimbra, 1925.
  • Hipólito Raposo, Folhas do meu Cadastro, Volume I (1911-1925), Edições Gama, 1940.
  • António Sardinha, "Conrado não guarda silêncio!" em António Rodrigues Cavalheiro, Um Inédito de António Sardinha sobre a Monarquia do Norte, Separata do nº 15-16 da revista Sulco (2ª Série), Lisboa, 1968, pp. 43–55.
  • José Manuel Quintas, "Os combates pela bandeira azul e branca", História, nº 10, Janeiro de 1999.
  • Redacção Quidnovi, com coordenação de José Hermano Saraiva, História de Portugal, Dicionário de Personalidades, Volume VIII, Ed. QN-Edição e Conteúdos,S.A., 2004