Merarik adalah budaya kawin lari dalam tradisi Suku Sasak.[1] Pelaksanaannya memiliki empat prinsip, yaitu kebanggaan perempuan, keberdayaan laki-laki dan ketidakberdayaan perempuan, kebersamaan, serta keuntungan ekonomi.[2] Merarik memiliki makna yaitu keberanian bertanggung jawab, keteguhan mewujudkan pernikahan dan penyelesaian perkara melalui musyawarah.[3]

Pelaksanaan

sunting

Tradisi merari’ diawali dengan pinangan oleh pihak laki-laki ke pihak perempuan pada malam hari. Gadis yang dipinang kemudian dibawa lari untuk dijadikan sebagai istri. Jika terjadi perselisihan, maka perkara akan diselesaikan melalui musyawarah antara keluarga dari pihak laki-laki dan pihak perempuan. Apabila dalam musyawarah tidak ada mufakat, maka perkara dilanjutkan degan bantuan pemuka adat atau pemuka agama. Jika terjadi mufakat, maka kedua pihak akan menentukan jumlah mahar, tempat dan tanggal serta wali dalam pernikahan. Bila belum tercapai mufakat, perkara diselesaikan oleh Kepala Desa.[4]

Pemaknaan

sunting

Pada masyarakat Sasak, merarik dianggap sebagai awal proses pernikahan secara adat dengan membawa lari atau menculik seorang gadis yang akan dinikahi. Setelahnya barulah diadakan pernikahan berdasarkan hukum agama dan hukum negara. Merarik dimaknai dalam tiga hal yang mirip. Pertama, seorang lelaki membawa lari seorang gadis untuk dinikahi sebagai bentuk pembebasan si gadis terhadap orang tua dan keluarganya. Makna keduanya adalah menikahi seorang gadis untuk dijadikan sebagai istri untuk membangun rumah tangga. Makna ketiga yaitu kerelaan untuk hidup bersama antara dua manusia yang berbeda jenis kelamin.[5] Makna merarik kemudian berkembang menjadi rangkaian pernikahan secara keseluruhan.[6]

Prinsip

sunting

Merarik memiliki empat prinsip dalam pelaksanaannya. Pertama, merarik merupakan kebanggaan bagi keluarga perempuan. Seorang gadis yang dilarikan dianggap memiliki keistimewaan sehingga lelaki terpaksa harus menikahinya dengan cara kawin lari. Kedua, merarik menjadi lambang keberdayaan laki-laki dan ketidak-berdayaan perempuan. Merarik menandakan bahwa laki-laki memiliki kekuatan dan keberanian untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya, sedangkan perempuan tidak memiliki kekuatan untuk menentang keinginan tersebut. Ketiga, merarik berakibat pada timbulnya rasa kebersamaan dalam pihak keluarga perempuan dan masyarakat untuk memilih jawaban atas kawin lari, yaitu mengadakan pernikahan atau menolaknya. Keempat, merarik dijadikan sebagai sarana untuk memperoleh keuntungan secara ekonomi. Pihak laki-laki harus memberikan mahar dengan nilai yang besar kepada pihak perempuan jika pernikahan disetujui. Besarnya nilai mahar disesuaikan dengan tingkat pendidikan dan status sosial dari perempuan yang akan dinikahi.[2]

Referensi

sunting
  1. ^ Saladin 2013, hlm. 23–24.
  2. ^ a b Saladin 2013, hlm. 26–27.
  3. ^ Anggraeny 2017, hlm. 51.
  4. ^ Anggraeny 2017, hlm. 46.
  5. ^ Aniq 2012, hlm. 2324.
  6. ^ Aniq 2012, hlm. 2324–2325.

Daftar pustaka

sunting
  1. Anggraeny, Baiq Desy (2017). "Perkawinan Adat Merarik: Kajian Budaya Hukum Masyarakat Suku Sasak". De Jure: Jurnal Hukum dan Syari’ah. 9 (1): 43–52. doi:10.18860/j-fsh.v9i1.4375. ISSN 2528-1658. 
  2. Aniq, Ahmad Fathan (8 November 2012). "Konflik Peran Gender pada Tradisi Merarik di Pulau Lombok" (PDF). Conference Proceeding: Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS XII): 2321–2339. 
  3. Saladin, Bustami (2013). "Tradisi Merari' Suku Sasak di Lombok dalam Perspektif Hukum Islam". Al-Ihkam. 8 (1): 21–39. ISSN 2442-3084. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-29. Diakses tanggal 2020-09-10.