Mengapa semua ini ada?

Pertanyaan yang berkaitan dengan "kenapa semua ini ada?", atau, "mengapa harus ada sesuatu, alih-alih tidak ada?" telah diajukan atau dikomentari oleh beberapa filsuf, seperti Gottfried Wilhelm Leibniz,[1] Ludwig Wittgenstein,[2] dan Martin Heidegger. Martin Heidegger menjuluki pertanyaan ini sebagai "pertanyaan mendasar metafisika".[3][4][5]

Gambaran

sunting

Pertanyaan ini diajukan dengan mengacu pada "segala sesuatu" secara komprehensif, bukan mengenai keberadaan entitas spesifik seperti alam semesta, multiversum, Big Bang, hukum matematika, hukum fisika, waktu, kesadaran, atau Tuhan. Karena itu, pertanyaan ini dapat dipandang sebagai sebuah pertanyaan metafisik terbuka.[6][7][8][9]

Tentang sebab-akibat

sunting

Filsuf Yunani kuno, Aristoteles berpendapat bahwa segala sesuatu harus memiliki sebab, yang berpuncak pada penyebab utama yang tak disebabkan oleh apa pun. (Lihat Empat sebab)

Bertrand Russell bertumpu pada posisi "fakta kasar" ketika dia menyatakan, "Saya harus mengatakan bahwa alam semesta memang ada di sana, itu saja."[10][11]

Filsuf Brian Leftow berpendapat bahwa pertanyaan ini tidak dapat memiliki penjelasan kausal (karena setiap penyebab pasti memiliki penyebab) atau penjelasan kontingen (karena faktor-faktor yang memberikan kontingensi harus sudah ada sebelumnya), dan jika ada jawaban untuk pertanyaan ini, jawaban itu pasti sesuatu yang ada dengan sendirinya (yaitu, sesuatu yang ada begitu saja, bukan disebabkan oleh apa pun).[12]

Filsuf William Free berpendapat bahwa hanya dua pilihan yang dapat menjelaskan keberadaan, yaitu bahwa segala sesuatu memang selalu ada, atau muncul secara spontan. Dalam kedua skenario ini, keberadaan adalah fakta yang tidak ada penyebabnya.[13]

Argumen yang mengabaikan kausalitas

sunting

David Hume berpendapat bahwa meskipun kita mengharapkan segala sesuatu memiliki sebab karena pengalaman kita tentang perlunya sebab, suatu sebab mungkin tidak diperlukan dalam kasus pembentukan alam semesta, yang berada di luar pengalaman kita.[14]

Kritik

sunting

Filsuf Stephen Law menyatakan bahwa pertanyaan itu mungkin tidak perlu dijawab, karena mencoba menjawab pertanyaan yang berada di luar kerangka spasio-temporal, dari dalam kerangka spasio-temporal. Dia membandingkan pertanyaan itu dengan menanyakan "apa yang ada di utara Kutub Utara?"

Referensi

sunting
  1. ^ "Principles of Nature and Grace", 1714, Article 7.
  2. ^ "Not how the world is, is the mystical, but that it is." Tractatus Logico-Philosophicus 6.44
  3. ^ Martin Heidegger, Introduction to Metaphysics, Yale University Press, New Haven and London (1959), pp. 7–8.
  4. ^ "The Fundamental Question". www.hedweb.com. Diakses tanggal 26 April 2017. 
  5. ^ Geier, Manfred (2017). Wittgenstein und Heidegger: Die letzten Philosophen (dalam bahasa Jerman). Rowohlt Verlag. hlm. 166. ISBN 978-3644045118. 
  6. ^ "Metaphysics special: Why is there something rather than nothing?". New Scientist. Diakses tanggal 26 April 2017. 
  7. ^ Sorensen, Roy (2015). "Nothingness". The Stanford Encyclopedia of Philosophy. Diakses tanggal 26 April 2017. 
  8. ^ Dascal, Marcelo (2008). Leibniz: What Kind of Rationalist? (dalam bahasa Inggris). Springer. hlm. 452. ISBN 978-1402086687. 
  9. ^ Goldschmidt, Tyron (2014). The Puzzle of Existence: Why Is There Something Rather Than Nothing? (dalam bahasa Inggris). Routledge. ISBN 978-1136249228. 
  10. ^ "5 Reasons Why the Universe Can't Be Merely a Brute Fact : Strange Notions". 12 July 2016. 
  11. ^ "Transcript of the Russell/Copleston radio debate". Philosophy of Religion. 
  12. ^ "Brian Leftow – Closer To Truth". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-05-21. Diakses tanggal 2021-10-02. 
  13. ^ Free, William (March 22, 2021). "The Reason". 
  14. ^ Gutting, Gary (2016). Talking God: Philosophers on Belief (dalam bahasa Inggris). W.W. Norton & Company. ISBN 978-0393352825. [halaman dibutuhkan]

Bacaan lanjutan

sunting

Pranala luar

sunting