Mega-Bintang adalah gerakan yang diciptakan pada zaman Orde Baru oleh simpatisan PDI-pro Megawati dan pendukung PPP untuk melawan "kuningisasi" dan memperjuangan demokrasi di Indonesia.[1]

Latar belakang

sunting

Di tengah masa kampanye Pemilu 1997, perkembangan menarik muncul di Kota Surakarta. Di kota inilah hadir koalisi atau kolaborasi non-formal antara simpatisan PDI-pro Megawati dan pendukung PPP. Simpatisan PDI-pro Megawati di kota itu bersimpati terhadap manuver-manuver Ketua DPC PPP Surakarta pada saat itu, Mudrick Sangidu dalam mengambil sikap konfrontatif terhadap pemerintah guna melawan "kuningisasi" dan memperjuangkan demokrasi. Mereka, para simpatisan PDI-pro Megawati yang juga tengah menghadapi represi dari rezim Orde Baru, menyatakan secara kolektif mendukung Mudrick.

Perkembangan

sunting

Gerakan Mega-Bintang kemudian meluas ke kota-kota lainnya di Indonesia. Di masa kampanye Pemilu 1997, yang menonjol dari fenomena Mega-Bintang adalah berlangsungnya arak-arakan massa bersepeda motor di jalan-jalan dengan mengibarkan bendera PPP, atribut-atribut merah PDI-pro Megawati, foto Megawati, foto Mudrick, serta atribut lain perpaduan merah dan hijau.

Fenomena Mega-Bintang menjadikan kampanye Pemilu 1997 lebih dinamis. Golkar dan PDI versi pemerintah menjadi terancam karena dinamisme kehadiran fenomena Mega-Bintang. Keduanya tidak dapat melangsungkan kampanye secara aman. PDI versi pemerintah di bawah kepemimpinan Soerjadi bahkan tidak berhasil mengorganisasi kampanye terbuka yang normal di kota-kota yang selama ini menjadi basis dukungan, seperti di Yogyakarta, Surakarta, dan Semarang. Ini fenomena baru dan menarik dalam politik Indonesia di bawah Orde Baru. Gerakan Mega-Bintang menandai, untuk pertama kalinya, mencairnya batas-batas ideologi kepartaian dan identitas agama dalam politik yang dirancang rezim Orde Baru melalui kebijakan fusi pada tahun 1973.

Barisan Mega-Bintang mula-mula muncul di Surakarta, lalu menyebar ke kota-kota lain di Indonesia. Gelombang massa gabungan simpatisan PPP dan PDI-pro Megawati ini sangat mengganggu kampanye Golkar dan PDI. Kemunculan barisan inilah yang menjadi salah satu alasan penjagaan keamanan yang sangat ketat selama masa kampanye dan pemungutan suara.

Sebagai bagian dari gerakan akar rumput pembelaan terhadap Megawati dan ekspresi oposisi terhadap Orde Baru di masa kampanye Pemilu 1997, dua kelompok massa yang pada pemilu-pemilu sebelumnya bersaing itu kini bergandengan tangan. Gerakan Mega-Bintang beroposisi terhadap pemerintah secara menyatu, menuntut demokrasi tanpa rekayasa, dan mengekspresikan dukungan terhadap Megawati. Ini fenomena ekspresi oposisi politik terhadap Orde Baru yang fenomenal dan melegenda, yang lahir sebagai buah karya politik seorang tokoh lokal bernama Mudrick Setiawan Malkan Sangidu, Ketua DPC PPP Surakarta pada saat itu.

Tiga hal lain yang bisa dicatat dari langkah terobosan dan gebrakan Mudrick selama menjadi Ketua DPC PPP Surakarta, antara lain:

  • Menganjurkan para kader PPP di DPRD untuk membuka pos-pos pengaduan masyarakat di rumah masing-masing.
  • Menganjurkan anggota dewan dari PPP untuk menolak Timor yang diberikan oleh sekretariat (kantor) dewan sebagai mobil dinas.
  • Menarik anggota (dewan) DPRD PPP yang terlibat KKN atau dianggap tidak membawakan suara rakyat.

DPC PPP Surakarta menjadi garda terdepan dalam gerakan perlawanan anti-KKN di tingkat lokal yang melanda anggota DPRD. Karena karakteristik dan konstelasi ekonomi-politik Orde Baru, membongkar KKN di lingkungan DPRD dengan demikian juga berarti membuka borok politik di pemerintahan (eksekutif) daerah yang juga melibatkan wali kota. Gebrakan-gebrakan ini menjadikan Mudrick tidak disukai oleh pemerintah Surakarta, tetapi mendapatkan dukungan serta simpati dari masyarakat dan pers.

Gerakan perlawanan selanjutnya yang lebih luas dan lebih politis tidak hanya menghadapkan Mudrick sebagai Ketua DPC PPP dengan Wali Kota Surakarta Imam Soetopo, tetapi langsung dengan Gubernur Jawa Tengah Soewardi. Ini bermula dari instruksi gubernur agar pagar dan kantor-kantor pemerintah, fasilitas umum, dan bahkan pohon-pohon dicat dengan warna kuning, khas Golkar. Instruksi ini dilaksanakan oleh seluruh kabupaten/kota di Jawa Tengah. Kebijakan Gubernur Jawa Tengah ini oleh media massa disebut sebagai politik "kuningisasi". Instruksi gubernur tentang kuningisasi dibuat dalam rangka menyukseskan target Golkar menang 75% di Jawa Tengah. Pemilu masih setahun ke depan dan Gubernur Jawa Tengah telah mencuri awal kampanye dengan kuningisasi besar-besaran.

Untuk melawan kebijakan ini, DPC PPP Surakarta membuat gerakan yang kemudian dikenal sebagai "putihisasi", sebagai antitesis politik kuningisasi. Simpatisan dan kader PPP atas perintah Ketua DPC PPP Surakarta Mudrick Sangidu melakukan pengecatan ulang dengan warna putih terhadap marka jalan, tembok pembatas, dan pohon-pohon yang ada di alun-alun utara, yang sebelumnya dicat kuning atas perintah wali kota dalam rangka melaksanakan instruksi gubernur. Peristiwa ini mendapatkan liputan dan ulasan media massa dalam dan luar negeri, yang kemudian melahirkan politik wacana, kuningisasi versus putihisasi. Perang warna di Surakarta ini kemudian juga berkembang menjadi isu nasional.

Puncak politik perlawanan terhadap Orde Baru ala Mudrick, yang menolak pengekangan demokrasi dan intervensi pemerintah terhadap politik kepartaian adalah gerakan Mega-Bintang dalam kampanye Pemilu 1997.

Aksi Mega-Bintang terus menghiasi kampanye pemilu, seperti lagu "Mega Siapa yang Punya" dengan semangat dinyanyikan massa PPP. Pawai dan konvoi kendaraan makin memadatkan jalan-jalan protokol di kota-kota besar. Massa terus meneriakkan "Hidup Mega-Bintang" sambil mengacungkan ibu jarinya sebagai simbol PPP, serta sebelah tangan lainnya mengacungkan tiga jari dengan lingkaran jempol dan telunjuk yang membentuk angka nol sebagai simbol PDI-pro Megawati.

Sebagai hasilnya, gerakan ini menjadikan PPP berhasil menarik massa peserta kampanye yang sangat besar.

PPP berhasil mencetak angka terbesar dalam sejarah kampanye partai berlambang bintang di Kota Surakarta, tempat kelahiran Mega-Bintang. Sekitar 100.000 lebih massa menjejali alun-alun selatan Solo karena sebelumnya ada rumor bakal hadirnya Megawati Soekarnoputri. Acara yang diisi Mudrick Sangidu telah menarik perhatian para pendukungnya. Dalam kesempatan itu, Mudrick menceritakan soal pertemuannya dengan Megawati pada 2 hari sebelumnya. Massa makin histeris saat Mudrick menyampaikan salam dari Mbak Mega dan Buya Ismail kepada pendukungnya.

Gerakan Mega-Bintang di tengah kampanye Pemilu 1997 ini dirumuskan atas masukan dari kader PDI Surakarta bernama Tomo Ngadimo, warga Dawung dan aktivis PDI-pro Megawati. Tomo Ngadimo dan kawan-kawan sesama pendukung PDI-pro Megawati beberapa kali mengadakan komunikasi serta pertemuan dengan Mudrick di akhir April 1997. Mudrick secara prinsip menerima usulan serta keinginan Tomo Ngadimo cs untuk ikut kampanye PPP dengan tetap membawa bendera dan poster merah PDI-pro Megawati. Selanjutnya, dalam kampanye PPP di Lapangan Sriwaru, Purwosari, pada 2 Mei 1997 terlihat sekelompok massa PDI-pro Megawati dengan kaus dan jaket hitam bergabung bersama massa peserta, sambil mengibarkan sebuah bendera ukuran besar bergambar bintang merah bertuliskan "Mega Bintang". Massa pendukung PPP menerima dengan baik kehadiran pendukung PDI-pro Megawati ini. Menyusul peristiwa ini, poster-poster bertuliskan "Mega-Bintang" dan dukungan terhadap Megawati bertebaran di kampung-kampung di Surakarta.

Lihat pula

sunting
  1. Asiaweeks: Still in the Election Picture

Referensi

sunting
  1. ^ Fathoni, Riza (23-12-2023). Yuniadhi Agung, ed. "Arsip Foto "Kompas": Fenomena Mega Bintang Hadir karena Penindasan Orde Baru". kompas.id. Diakses tanggal 07-01-2024.