Mazhab Syafi'i

salah satu mazhab fikih Islam Sunni
(Dialihkan dari Mazhab syafi'i)

Mazhab Syafi'i (bahasa Arab: الشافعية, translit. al-syāfi‘īyah) adalah mazhab fikih dalam Sunni[1][2] yang dicetuskan oleh Abu Abdullah Muhammad bin Idris As Syafi'i atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Syafi'i pada awal abad ke-9.[3][4][5][6] Mazhab ini kebanyakan dianut para penduduk Mesir selatan, Arab Saudi bagian barat, Palestina, Suriah, Kurdistan, Indonesia, Malaysia, Brunei, Filipina, pantai Koromandel, Ceylon, Malabar, Hadramaut, dan Bahrain.[7][8]

Sejarah

sunting

Pemikiran fikih mazhab ini diawali oleh Imam Syafi'i, yang hidup pada zaman pertentangan antara aliran Ahlul Hadits (cenderung berpegang pada teks hadis) dan Ahlur Ra'yi (cenderung berpegang pada akal pikiran atau ijtihad).[5] Imam Syafi'i mulanya belajar kepada Imam Malik sebagai tokoh Ahlul Hadits, dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai tokoh Ahlur Ra'yi yang juga murid Imam Abu Hanifah. Ia juga belajar dari banyak ulama-ulama Hijaz.[9]

Imam Syafi'i kemudian pergi ke Irak untuk mempelajari istinbat yang digunakan oleh para fukaha di sana. Sejak saat itu ia mulai merumuskan aliran atau mazhabnya sendiri, yang dapat dikatakan berada di antara kedua mazhab sebelumnya, mazhab Hanafi dan mazhab Maliki.[10]

Metodologi

sunting

Imam Syafi'i mulai mendirikan mazhabnya sendiri. Ia menyusun mazhabnya berdasarkan Hadis dan Qiyas. Metodologi yang digunakan Imam Syafi'i merupakan hasil kolaborasi dari ilmu hadis yang dipelajarinya dari para ahli di Hijaz dan para ahli kias di Irak. Kedua ilmu tersebut dielaborasikan olehnya sebagai dasar dari mazhabnya, yakni mazhab Syafi'i.[11]

Dasar-dasar Mazhab Syafi'i dapat dilihat dalam kitab ushul fiqh Ar-Risalah dan kitab fiqh al-Umm. Di dalam buku-buku tersebut Imam Syafi'i menjelaskan kerangka dan prinsip mazhabnya serta beberapa contoh merumuskan hukum far'iyyah (yang bersifat cabang). Dasar-dasar mazhab yang pokok ialah berpegang pada hal-hal berikut.[5][12]

  1. Al-Quran, tafsir secara lahiriah, selama tidak ada yang menegaskan bahwa yang dimaksud bukan arti lahiriahnya. Imam Syafi'i pertama sekali selalu mencari alasannya dari Al-Qur'an dalam menetapkan hukum Islam.
  2. Sunah dari Rasulullah SAW kemudian digunakan jika tidak ditemukan rujukan dari Al-Quran. Imam Syafi'i sangat kuat pembelaannya terhadap sunnah sehingga dijuluki Nashir As-Sunnah (pembela Sunnah Nabi).
  3. Ijmak atau kesepakatan para Sahabat Nabi, yang tidak terdapat perbedaan pendapat dalam suatu masalah. Ijma' yang diterima Imam Syafi'i sebagai landasan hukum adalah ijma' para sahabat, bukan kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap suatu hukum; karena menurutnya hal seperti ini tidak mungkin terjadi.
  4. Qiyas yang dalam Ar-Risalah disebut sebagai ijtihad, apabila dalam ijmak tidak juga ditemukan hukumnya. Akan tetapi Imam Syafi'i menolak dasar istihsan dan istislah sebagai salah satu cara menetapkan hukum Islam.

Qaul Qadim dan Qaul Jadid

sunting

Imam Syafi'i pada awalnya pernah tinggal menetap di Baghdad. Selama tinggal di sana ia mengeluarkan ijtihad-ijtihadnya, yang biasa disebut dengan istilah Qaul Qadim ("pendapat yang lama") atau juga disebut dengan mazhab Qadiem. Mazhab Qadiem yaitu hasil ijtihad yang diajarkan Imam Syafi'i kepada murid-muridnya di Irak.[13]

Murid-murid Imam Syafi'i di Irak yang antara lain:[11]

  1. Ahmad bin Hanbal (164 H–241 H), yang di kemudian hari menjadi pendiri Mazhab Hambali.[14]
  2. Abu Tsaur Ibrahim Ibn Châlid Ibn Al-Jaman Al-Kalby Al-Baghdady (246 H)
  3. Al-Hasan Ibn Muhammad Ibnush Shabah Az-Za'jarâny Al-Baghdady (260 H)
  4. Abu Ali Al-Husain Ibn Ali Al-Karâbisy
  5. Ahmad Ibn Yahya Ibn Abdul Aziz Al-Baghdady Al-Mutakallim

Lalu para murid-murid Imam Syafi'i di atas juga memiliki murid lagi. Ulama-ulama besar Irak yang menjadi murid dari murid-muridnya Imam Syafi'i antara lain:[11]

  1. Daud Ibn Ali, imam Ahludh Dhahir
  2. 'Abul 'Abbas Ahmad Ibn 'Umar Ibn Suraidj (306 H)
  3. 'Abul 'Abbas Ibn Abie Ahmad Ath-Thabarâny atau yang dikenal juga dengan nama Ibnu Qash (335 H)
  4. Abu Dja'far Muhammad Ibn Djarier Ath-Thabary, penulis tafsir Djami'ul Bajan (224 H-310 H)

Kemudian Imam Syafi'i pindah ke Mesir. Kemunculan aliran Mu’tazilah yang telah berhasil memengaruhi kekhalifahan membuat Imam Syafi'i melihat realitas baru yang berbeda dengan apa yang ditemuinya saat di Baghdad. Atas dasar itulah kemudian ia mengeluarkan ijtihad-ijtihad baru yang berbeda, yang biasa disebut dengan istilah Qaul Jadid ("pendapat yang baru") atau juga disebut mazhab Jadid.[15]

Murid-murid Imam Syafi'i di Mesir yang antara lain:[16]

  1. Yusuf Ibn Yahya Al-Buwaihy (231 H)
  2. Abu Ibrahim Isma'il Ibn Yahya Al-Muzany (175 H–264 H)
  3. Ar-Rabie' Ibn Sulaiman Ibn 'Abdul Djabbar Al-Murâdy (270 H)
  4. Harmalah Ibn Yahya Ibn 'Abdillah An-Nadjiby (166 H–243 H)
  5. Yunus Ibn 'Abdil A'la Ash Shadafy Al-Mishry (170 H–204 H)
  6. Abu Bakar Muhammad Ibn Ahmad, yang terkenal dengan nama Ibnu Haddad (264 H-345 H)

Selain itu, masih banyak ulama-ulama yang terkemudian yang mengikuti dan turut menyebarkan Mazhab Syafi'i, antara lain:

Imam Syafi'i berpendapat bahwa tidak semua qaul jadid menghapus qaul qadim. Jika tidak ditegaskan penggantiannya dan terdapat kondisi yang cocok, baik dengan qaul qadim ataupun dengan qaul jadid, maka dapat digunakan salah satunya. Dengan demikian terdapat beberapa keadaan yang memungkinkan kedua qaul tersebut dapat digunakan, dan keduanya tetap dianggap berlaku oleh para pemegang Mazhab Syafi'i.

Penyebaran

sunting
 
Mazhab Syafi'i (warna Biru tua) dominan di Afrika Timur, dan di sebagian Jazirah Arab dan Asia Tenggara.

Dua aliran mazhab Syafi'i, yakni Qadiem dan Jadid memiliki kontribusi pula dalam penyebaran mazhab Syafi'i. Sebagai aliran yang pertama, Qadiem sebagai permulaan tumbuh di Irak, sementara Jadid tumbuh di Mesir. Namun kemudian aliran Jadid yang lebih mahsyur ikut mempengaruhi kawasan Irak, sehingga perlahan aliran Qadiem mulai tersisih.[17]

Setelah dari Irak, mazhab Syafi'i mulai menyebar ke kawasan Jazirah Arab lainnya, hingga ke Hijaz, Suriah (Syam), Persia, dan India. Mazhab Syafi'i juga berkembang di wilayah-wilayah yang merupakan mayoritas penganut mazhab Maliki, kecuali Maroko.[18]

Faktor-faktor

sunting

Penyebaran mazhab Syafi'i yang begitu luas disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor pertama yaitu karena Imam Syafi'i banyak belajar di berbagai tempat, mulai dari Hijaz, Irak, dan Mesir, hal ini juga mempengaruhi luasnya pengaruhnya. Selain itu Imam Syafi'i juga banyak belajar dari imam-imam fikih terdahulu, seperti Abu Hanifah dan Imam Malik. Luasnya wawasan dan kawasan yang pernah didatangi Imam Syafi'i mendukung perkembangan mazhab yang dibawanya.[16]

Faktor kedua ialah banyaknya murid-murid Imam Syafi'i, dan murid-muridnya itu kemudian memiliki murid-murid lagi yang tak kalah banyak jumlahnya. Banyak murid-murid Imam Syafi'i yang kemudian menyebarkan mazhabnya di tempat asalnya setelah belajar darinya. Tiga orang murid Imam Syafi'i yang berjasa dalam perkembangan mazhab Syafi'i di Mesir adalah Al-Buwaithy, Al-Muzany, dan Rabie' Al-Djizy. Kemudian muridnya yang berkontribusi dalam penyebaran di kawasan Syam adalah Al-Qadly Abu Zu'rah Muhammad ibn Utsman Ad-Dimasqy. Lalu di kawasan sekitar Sungai Tigris dan Sungai Efrat dikembangakan oleh Al-Qaffâl Asj Sjâsiy Al-Kabier.[16]

Ringkasnya mazhab Syafi'i berkembang karena usaha-usaha yang dilakukan oleh murid-murid Imam Syafi'i dan pengikutnya. Tidak seperti mazhab Hanafi dan mazhab Maliki yang turut dibantu oleh kekuasaan khalifah. Namun bukan berarti tidak ada peran penguasa dalam penyebaran mazhab Syafi'i. Beberapa pemimpin dan tokoh politik Islam yang menganut mazhab Syafi'i antara lain Mahmud bin Sebaktekin, Nizham al-Mulk, dan Salahuddin Ayyubi.[19]

Kitab-kitab

sunting

Imam Syafi'i merupakan salah satu dari empat imam mazhab yang paling banyak menulis kitab. Kitab-kitab yang ia tulis kemudian banyak menjadi pegangan bagi penganut mazhab Syafi'i. Saat Imam Syafi'i masih tinggal di Irak, ia menulis kitab yang berjudul Al-Hujjah. Kitab Al-Hujjah tersebut kemudian diteruskan oleh empat muridnya, yakni: Ahmad (Imam Hambali), Abu Tsaur, Az- Za'farâny, dan Al-Karâbisy. Kemudian setelah Imam Syafi'i pindah ke Mesir, ia mendiktekan beberapa kitabnya ke murid-muridnya. Salah satu kitab yang ia diktekan kepada muridnya ialah kitab Ar-Risalah atatu Risalah Ushul yang kemudian dijadikan mukadimmah kitab ia yang lain, Al-Umm.[20]

Kitab-kitab mazhab Syafi'i lain yang tersohor antara lain:[21]

  1. Al-Muctasharul Kabier
  2. Al-Muctasharush Shagier
  3. Al-Farâidl, karya Al-Buwaithy
  4. Al-Djami'ul Kabier
  5. Al-Djami'ush Shagier, karya Al-Muzamy
  6. Al-Mabsuth
  7. Al-Muctashar, karya Harmalah Al-Mishry
  8. Al-Fushul, karya Abu Ishâq Al-Mawarzy
  9. Al-Bajân, karya Ash Shairafiy

Peninggalan

sunting

Imam Syafi'i terkenal sebagai perumus pertama metodologi hukum Islam. Ushul fiqh (atau metodologi hukum Islam), yang tidak dikenal pada masa Nabi dan sahabat, baru lahir setelah Imam Syafi'i menulis Ar-Risalah. Mazhab Syafi'i umumnya dianggap sebagai mazhab yang paling konservatif di antara mazhab-mazhab fiqh Sunni lainnya. Dari mazhab ini berbagai ilmu keislaman telah bersemi berkat dorongan metodologi hukum Islam yang dikembangkan para pendukungnya.

Karena metodologinya yang sistematis dan tingginya tingkat ketelitian yang dituntut oleh Mazhab Syafi'i, terdapat banyak sekali ulama dan penguasa di dunia Islam yang menjadi pendukung setia mazhab ini. Di antara mereka bahkan ada pula yang menjadi pakar terhadap keseluruhan mazhab-mazhab Sunni di bidang mereka masing-masing. Saat ini, Mazhab Syafi'i diperkirakan diikuti oleh 28% umat Islam sedunia, dan merupakan mazhab terbesar kedua dalam hal jumlah pengikut setelah Mazhab Hanafi.

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Hallaq 2009, hlm. 31.
  2. ^ Abdullah Saeed (2008), The Qur'an: An Introduction, Routledge, ISBN 978-0415421256, hlm. 17
  3. ^ Hamid, Mohd. Liki, (2006), Pengajian Tamadun Islam, ed. ke-2, Malaysia: PTS Professional, ISBN 978-983-3585-65-6
  4. ^ Yilmaz, Ihsan, (2005), Muslim laws, politics and society in modern nation states: dynamic legal pluralisms in England, Turkey, and Pakistan, Ashgate Publishing Ltd.,ISBN 0-7546-4389-1.
  5. ^ a b c Hisham M. Ramadan (2006), Understanding Islamic Law: From Classical to Contemporary, Rowman Altamira, ISBN 978-0759109919, hlm. 27-28
  6. ^ Hashim Kamali 2008, hlm. 77.
  7. ^ Jurisprudence and Law - Islam Reorienting the Veil, University of North Carolina (2009)
  8. ^ Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 65-66.
  9. ^ Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 65. : "Asj Sjafi'y mengambil pelajaran dari beberapa ulama Hijaz. Diantarnya Imam Malik pemuka dan pendiri mazhab Maliki. Diketika ia pergi ke Irak, ia pun mempelajari cara istinbath yang dipakai oleh ahli fiqh di sana.".
  10. ^ Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 65. : "Asj Sjafi'y mengambil pelajaran dari beberapa ulama Hijaz. Diantarnya Imam Malik pemuka dan pembangun mazhab Maliky. Di ketika ia pergi ke Irak, ia pun mempelajari cara istinbath yang dipakai oleh ahli fikih di sana.".
  11. ^ a b c Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 65.
  12. ^ Badr al-Din al-Zarkashi (1393), Al-Bahr Al-Muhit, vol. 6, hlm. 209
  13. ^ Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 65. : "Pertama dinamakan Mazhab Qadiem yaitu: faham-faham (hasil ijtihad) yang ia ajarkan kepada murid-muridnya ketika ia diam di Irak,".
  14. ^ Al-Salam, Ibn 'Abd, Kabbani, Shaykh Muhammad Hisham, Haddad, Gibril Fouad, (1999), The Belief of the People of Truth, ISCA, ISBN 1-930409-02-8.
  15. ^ Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 65. : "... kedua dinamakan mazhab Jadid, yaitu faham dan hasil ijtihad yang ia tetapkan di masa ia telah mukim di Mesir.".
  16. ^ a b c Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 66.
  17. ^ Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 66. : "Faham lama (mazhab Qadiem) bagi Asj' Syafi'i. Adapun mazhab Jadid-nya, mazhab baru baginya, maka ia berkembang di Mesir. Dari Mesir menjalar ke Irak (mengalahi mazhab Qadiem-nya) ke Baghdad, Syam, Jaman, Hijaz dan masuk juga ke Persia dan sebagian negeri India.".
  18. ^ Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 66. : "Segala yang bermazhab Ahlus Sunnah di Jaman - Hadramaut - Aden bermazhab Syafi'i. Demikian juga seperempat dari Ahlus Sunnah di negeri Syam. Di India tidak seberapa yang bermazhab Syafi'i.".
  19. ^ Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 66-67.
  20. ^ Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 76. : "Kitab Al-Umm itu, ialah kitabnya yang mengandung mazhab Jadid. Inilah kitab yang pada kemudiannya menjadi tujuan manusia dari segenap jurusan.".
  21. ^ Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 76. : Beberapa kitab mazhab Syafi'i ada yang memiliki judul yang sama dengan kitab mazhab Maliki..

Daftar pustaka

sunting
  • Abu Zahrah, Muhammad, Imam Syafi'i: Biografi dan Pemikirannya dalam Masalah Akidah, Politik & Fiqih, Penerjamah: Abdul Syukur dan Ahmad Rivai Uthman, Penyunting: Ahmad Hamid Alatas, Cet.2 (Jakarta: Lentera, 2005).
  • Al-Qaththan, Syaikh Manna', Pengantar Studi Ilmu Al-Qur'an, Penerjemah: H. Aunur Rafiq El-Mazni, Lc., MA., Penyunting: Abduh Zulfidar Akaha, Lc., Cet.1 (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006).
  • Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Ed.1, Cet.12 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001).
  • Imam Muslim, Terjemah Hadits Shahih Muslim, Penerjemah: Ahmad Sunarto (Bandung: Penerbit "Husaini" Bandung, 2002).
  • Al Imam Al Bukhari, Terjemah Hadits Shahih Bukhari, Penerjemah: Umairul Ahbab Baiquni dan Ahmad Sunarto (Bandung: Penerbit "Husaini" Bandung, tanpa tahun).
  • Hashim Kamali, Mohammad (2008). Shari'ah Law: An Introduction. Oneworld Publications. ISBN 978-1851685653. 
  • Hallaq, Wael B. (2009). An Introduction to Islamic Law. Cambridge University Press. ISBN 9780521678735. 
  • Ash' Shiddieqy, M. Hasbi. Hukum Islam. Jakarta: Pustaka Islam. 1962.

Pranala luar

sunting