Maudu Lompoa
Maudu Lompoa adalah prosesi peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang diisi dengan berbagai kegiatan keagamaan dan budaya suku Makassar. Secara etimologi Maudu Lompoa berasal dari bahasa Makassar, terdiri dari dua kata yaitu maudu dan lompoa. Maudu berarti maulid dan lompoa berarti besar, jadi Maudu Lompoa berarti Maulid Besar.[1] Maudu Lompoa merupakan peringatan tahunan khas suku Makassar di Kabupaten Takalar yang berpusat di Sungai Cikoang.
Tradisi Maudu Lompoa ini dahulu dipelihara oleh keluarga Sayyid Bafaqih Al'-Aidid. Diperingati setiap tahun di desa Cikoang, Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar dengan luas wilayah 566,51 km² dan penduduk ± 250.000 jiwa, berada provinsi Sulawesi Selatan.[2]
Rangkaian kegiatan peringatan kelahiran Nabi Muhammad ini sudah berlangsung satu minggu sebelumnya. Masyarakat mempersiapakan segala kebutuhan mulai dari kapal kayu, kain sarung, aneka telur, kertas warna warni serta berbagai bahan makanan yang nanti akan disusun dan ditata dalam sebuah kapal kayu. Puncak acara peringatan kelahiran Nabi Muhammad inilah yang disebut Maudu Lompoa[3]
Puncak acara berpusat di sekitar sungai Cikoang. Aneka kapal berhias warna warni serta alunan gendang tradisional saling bertabuh di sepanjang jalan desa Cikoang. Maudu Lompoa menjadi salah satu bukti meleburnya dua unsur yang berbeda, yaitu agama dan kebudayaan lokal Makassar yang membentuk sebuah tradisi budaya yang dipelihara dengan baik. Semua jenis lapisan masyarakat turut serta dengan suka cita dan antusias ikut bergabung bekerja dan bergotong-royong dalam merayakan tradisi Maudu Lompoa. Tradisi yang telah turun temurun berlangsung adalah sebagai bentuk ekspresi nyata masyarakat Kabupaten Takalar terhadap Nabi Muhammad SAW berserta keluarga Nabi[4]
Banyak hal menarik yang bisa kita saksikan pada tradisi Maudu Lompoa yaitu kapal kayu yang disebut julung-julung oleh masyarakat takalar akan dihias semenarik mungkin. Di dalam kapal yang dihias tersebut akan diisi dengan berbagai macam bahan pokok antara lain yang paling banyak ditemukan adalah telur yang diwarnai aneka warna hingga tampil mencolok dan meriah, dihias juga dengan hasil bumi berupa padi, ubi, sayur dan buah-buahan dari wilayah sekitar Kabupaten Takalar. Selain telur dan hasil bumi. Segala keperluan dan perlengkapan yang disiapkan di julung-julung merupakan simbolisasi ajaran Islam dahulu masuk ke wilayah desa Cikoang dibawa oleh jalur perdagangan. Aneka pernak-pernik melengkapi setiap julung-julung seperti bakul besar yang terbuat dari anyaman daun lontar, masyarakat setempat menyebutnya dengan Baku Maudu. Bakul besar diisi dengan nasi setengah matang dilengkapi juga dengan lauk ayam kampung. Julung-julung ini nantinya akan dikumpulkan di sebuah titik yang telah ditentukan disekitar sungai Cikoang. Keseruan masyarakat mengangkat julung-julung adalah pemandangan unik yang bisa disaksikan. Karena sangat terlihat bentuk kentalnya gotong-royong yang terjalin pada masyarakat, dari menghias, mempersiapkan, menggotong, hingga tiba di sungai Cikoang. Puncak acara diisi dengan ceramah keagamaan di atas Baruga di pinggir sungai Cikoang, sebelumnya diisi pula dengan pembacaan syair-syair atau shalawat pada Nabi Muhammad SAW yang biasa di sebut Rate', serta atraksi Akmanca' yaitu atraksi pencak silat oleh para tetua dan muda-muda kabupaten Takalar dan sekitarnya[5]
Sejarah
suntingPada abad ke 17 seorang tokoh keturunan Nabi Muhammad SAW ke 29, beliau juga cicit dari Sultan Mahkota Alam di Aceh(ibu dari ibunya adalah putri aceh), yang memiliki garis keturunan dari Arab Handramaut di Arab Selatan beliau adalah Sayyid Djalaluddin bin Ahmad Bafaqih Al' Aidid tiba di kerajaan Gowa. Saat itu masa pemerintahan kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Sultan Alauddin. Berjalan waktu Sayyid Djalaluddin Bafaqih Al’ Aidid diangkat menjadi Mufti kerajaan oleh Sultan Alauddin dan Putra Mahkota Kerajaan diberinya nama Muhammad al-Baqir I Mallombassi Karaeng Bontomangape Sultan Hasanuddin.
Beliau menikahi seorang putri bangsawan Kerajaan Gowa bernama I Acara’ Daeng Tamami Binti Sultan Abdul Kadir Alauddin. Beberapa waktu kemudian, Sayyid Djalaluddin Bafaqih Al'Aidid pamit pada Sombaya di Gowa dan kemudian menitipkan istrinya I Acara’ Daeng Tamami Binti Sultan Abdul Kadir Alauddin di Balla Lompoa, Gowa.
Beliau meninggalkan Balla Lompoa dengan berbekal sehelai sajadah sebagai kendaraan pribadinya dan sebuah tempat air wudhu (cerek) menemaninya. Tidak memerlukan waktu yang lama Sayyid Djalaluddin Bafaqih Al'Aidid tiba disebelah utara pulau Tanakeke, dilanjutkan ke sebelah utara Sungai Bontolanra, Parappa, Sanrobone, dan Sungai Maccinibaji.[6]
Pada saat yang sama di sebelah utara hulu sungai yaitu muara sungai Cikoang, I Bunrang (kesatria Cikoang) memasang kuala. Lalu, di sebelah selatan hulu sungai, I Danda (kesatria Cikoang) juga memasang kuala. Esoknya, I Danda dan I Bunrang melihat sebuah benda berbentuk kapal laut besar lewat di sebelah utara Tompo’tanah, kemudian kapal besar tersebut berubah bentuk menjadi sebuah benda yang mengeluarkan cahaya. Kedua kesatria Cikoang itu bergegas mendayung perahu mereka mendekat, keduanya kemudian tercengang ternyata benda bercahaya itu adalah wujud seorang manusia duduk bersila menggenakan baju jubah di atas sajadah dengan sebuah cerek untuk air wudhu, dialah di Sayyid Djalaluddin Bafaqih Al'Aidid. Akhirnya Sayyid Djalaluddin Bafaqih Al'Aidid diajak ke perahu I Danda dan I Bunrang menuju tepi sungai Cikoang dan akhirnya menjadikan I Danda dan I Bunrang menjadi murid pada Sayyid Djalaluddin Bafaqih Al'Aidid. Sejalan waktu Sayyid Djalaluddin Bafaqih Al'Aidid mengutus I Danda dan I Bunrang menjemput istri tercintanya yaitu I Acara’ Daeng Tamami Binti Sultan Abdul Kadir Alauddin di Balla Lompoa Gowa. Akhirnya Sayyid Djalaluddin Bafaqih Al'Aidid menetap di Cikoang dan memimpin jamaah masyarakat desa Cikoang. Tradisi Mandi Syafar mulai dilakukan pertama kali oleh Sayyid Djalaluddin Bafaqih Al'Aidid pada 10 Syafar 1041 H yaitu saat memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad yang jatuh pada 1041 Hijriah atau 1632 Masehi[7]
Persiapan acara
suntingPelaksanaan perayaan Maudu Lompoa memerlukan persiapan 40 hari sebelum acara puncak. Persiapan diawali dengan je'ne-je'ne Sappara (mandi pada bulan Syafar) oleh masyarakat Cikoang yang dipimpin sesepuh atau guru adat. Selanjutnya, mempersiapkan ayam kampung yang akan dihidangkan pada puncak acara, yang harus dikurung selama 40 hari di tempat bersih dan diberi makan beras bagus.Pada saat yang sama, masyarakat juga mulai melakukan prosesi angnganang baku yaitu membuat bakul beras dari daun lontar. Selanjutnya, masyarakat menjemur padi dalam lingkaran pagar, dilanjutkan adengka ase, yakni menumbuk padi dengan lesung. Setelah itu, warga setempat mengupas kelapa utuh yang ditanam sendiri
Referensi
sunting- ^ Haris, Muh. "Maudu Lompoa, Akulturasi Budaya Makassar dengan Islam yang Memukau". Kompasiana. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-01-31. Diakses tanggal 2019-09-23.
- ^ "Salinan arsip" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2019-04-15. Diakses tanggal 2019-04-15.
- ^ Abdurrahman, Muhammad Nur. "Uniknya Peringatan Maulid Nabi 'Maudu Lompoa' di Cikoang Sulsel". detiknews. Diakses tanggal 2019-04-15.
- ^ https://www.antaranews.com/berita/1181631/maudu-lompoa-cikoang-sedot-pengunjung-luar-provinsi
- ^ https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/
- ^ "Salinan arsip" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2013-01-02. Diakses tanggal 2019-04-15.
- ^ Kaya, Indonesia. "Maudu Lompoa: Ketika Peringatan Agama Islam Bercampur dengan Kearifan Lokal - Situs Budaya Indonesia". IndonesiaKaya (dalam bahasa Indonesia). Diakses tanggal 2019-04-15.