Mangai binu

Tradisi berburu kepala di Nias

Manga'i binu atau mangai binu adalah tradisi berburu kepala oleh emali di Pulau Nias, Sumatera Utara. Tradisi ini awalnya merupakan bentuk penghormatan terhadap leluhur tetapi pada kemudian hari berkembang sebagai penanda status sosial.[1] Istilah lain seperti möi ba danö, mofanö ba danö, mangai högö, dan möi emali juga digunakan selain mangai binu. Orang yang menjalankan tradisi ini disebut emali. Tradisi ini telah ditinggalkan oleh masyarakat Nias seiring dengan masuknya pengaruh Kekristenan ke daerah Nias.

Tengkorak dari Nias (kanan) yang diberi hiasan janggut dari serabut tumbuhan

Etimologi

sunting

Mangai (atau mangani) dalam bahasa Nias berarti 'mengambil', sementara binu dahulu adalah istilah untuk segala benda yang berhubungan dengan pesta owasa, namun mengalami penyempitan arti sebagai kepala manusia hasil buruan (yang juga digunakan dalam pelaksanaan owasa).[2] Högö adalah istilah untuk kepala manusia secara umum. Istilah kiasan seperti möi ba danö 'pergi ke ladang', mofanö ba danö 'berangkat ke ladang' digunakan untuk memperhalus. Istilah möi 'pergi melakukan' emali juga digunakan.[3] Emali yang berarti 'berteriak dalam ketakutan' adalah sebutan untuk pelaku tradisi ini, menggambarkan teror yang disebabkan olehnya.[4]

Latar belakang

sunting

Suku Nias secara tradisional gemar berperang meskipun pertanian telah berkembang. Masyarakat lebih mementingkan budaya perang dan membuat perlengkapan senjata seperti tombak, pedang, perisai, baju besi daripada bertani dan membuat peralatan pertanian. Mereka melindungi banua dengan membangun rumah-rumah mereka di atas bukit dan menanam semak-semak beracun di sekeliling atau di parit. Gerbang banua biasanya ditutup pada malam hari dan rutin diadakan pengawasan karena kekhawatiran akan serangan musuh. Lingkungan yang penuh bahaya ini meresap ke seluruh struktur sosial dan politik orang Nias.[5] Salah satu alasan untuk berperang melawan banua lain adalah untuk mendapatkan budak dan menjarah harta mereka, terlebih perhiasan emas. Seseorang yang memiliki emas (so'aya) dianggap berstatus tinggi sampai-sampai mereka dianggap setara dengan dewa (So'aya).[6] Prajurit musuh yang kalah akan dipenggal kepalanya atau dijadikan budak. Para penjelajah yang datang ke Nias selalu menceritakan keadaan perang abadi di sana.[5] Kebiasaan orang Nias membangun banua di perbukitan yang susah dijangkau bisa jadi sebagai upaya untuk melindungi dan menghindari diri dari jangkauan para emali.[7]

Dahulu, pendidikan berpusat pada perang dan kekerasan. Di selatan pulau, para pemuda berlatih sejak kecil untuk melompati batu hombo setinggi dua meter atau membersihkan selokan yang diisi dengan bambu yang tajam.[5] Seorang laki-laki baru dianggap dewasa dan boleh masuk ke dalam osali setelah dia menjadi iramatua.[8] Iramatua adalah gelar yang diberikan kepada seorang pemuda setelah dia berhasil memperoleh setidaknya satu kepala untuk digantung di osali.[9] Seorang pemuda yang kembali membawa kepala manusia akan dielu-elukan sebagai seorang pahlawan melalui sebuah pesta yang mengorbankan banyak babi. Pada kesempatan tersebut, kepala banua akan memberikan kalabubu kepada si pemuda sebagai tanda bahwa dia sudah menjadi seorang Iramatua.[10][11][12] Para misionaris yang datang ke Nias nantinya mengakali kebiasaan uji kedewasaan tersebut dengan cara lain, seperti olahraga fahombo.[a][3]

Orang Nias percaya bahwa ada kehidupan setelah kematian, sehingga kematian seseorang perlu disiapkan sebaik mungkin. Agar dapat hidup dengan nyaman, maka orang yang meninggal membutuhkan pelayan. Dipercaya, binu memiliki jiwa dan orang yang memilikinya adalah tuan atas jiwa pemilik kepala tersebut.[13] Tengkorak yang disertakan dalam penguburan dipercaya akan menjadi pelayan di alam baka.[14] Orang Nias melakukan justifikasi terhadap tradisi ini dengan beranggapan bahwa manusia adalah babi peliharaan Tuhan.[15][16] Hal yang sama terlihat pada tradisi ngayau Suku Dayak.[17] Tradisi perburuan kepala juga terlihat pada suku-suku Austronesia, kerabat suku Nias, lainnya.[18]

Deskripsi

sunting

Persiapan

sunting
 
Adu Siraha Horö, patung pembersih dosa

Sebelum melakukan ekspedisi perburuan kepala manusia, para emali akan meminta perlindungan dari dewa perang melalui perantaraan Adu Siraha Horö agar mendapatkan kepala yang banyak.[19] Mereka mengenakan ikat pinggang yang terbuat dari kulit buaya dan hiasan kepala dari taring babi hutan.[20] Pedang yang digunakan untuk berburu adalah tolögu milik bangsawan dari Nias Selatan. Pada sarung pedang tersebut dilengketkan ragö, sebuah bola rotan yang dihiasi dengan benda-benda berkekuatan magis. Benda-benda itu dipercaya dapat mengalirkan kekuatan dan memberikan kekebalan kepada pemiliknya dan menembus ilmu kebal yang dimiliki oleh lawan. Kemudian, setelah berburu, para emali akan kembali berdoa agar mereka bersih dari dosa perburuan.[21] Para budak, terlebih jika berbuat salah, juga dapat dikorbankan untuk mendapat binu.[22][23]

Pelaksanaan

sunting

Para emali berburu kepala sesuai pesanan. Mereka menjelajahi banua-banua yang jauh untuk mencari mangsa pada suatu periode yang disebut disebut bawa nemali. Jika perburuan semata-mata untuk mendapat binu, kepala korban dipenggal hingga terlepas dari badannya. Namun, jika didasarkan balas dendam, maka emali melakukan tebasan ke tubuh lawan mulai dari pangkal leher sebelah kiri lalu secara diagonal mengarah ke ketiak kanan. Tebasan ini menyisakan kepala dan bagian tangan kanan yang masih menyatu. Mereka akan pulang dengan menenteng potongan kepala di bahu sementara tangan kanan korban didekapkan ke dada.[24] Selama masa damai, para emali bersembunyi di jalanan yang sepi dan menyergap orang yang lewat.[5]

Harga untuk satu kepala manusia yaitu sejumlah babi atau bisa diganti dengan uang sebesar seratus hingga dua ratus Gulden.[25] Harganya akan naik jika pemesan menginginkan lawannya hidup-hidup untuk kemudian dipenggal di atas batu awina. Satu kepala tawanan biasanya dihargai sebesar enam ekor babi berukuran lima alisi.[b][26] Jika jumlah binu hasil buruan kurang dari yang dibutuhkan, maka para budak akan dikorbankan.[27]Mangai binu juga terkadang dilakukan oleh para emali untuk dijual kepada pemipin banua ketika tidak ada pesanan. Tengkorak yang masih belum digunakan tersebut dibungkus daun untuk disimpan terlebih dahulu di bawah tanah atau di atas pohon untuk digunakan di kesempatan selanjutnya. Hal ini sebetulnya bertentangan dengan gagasan awal mangai binu bahwa kepala digunakan untuk pengorbanan, yang klimaksnya adalah saat pemenggalan kepala.[5]

Emali bersumpah atas kepalanya ketika pergi berburu. Sebelum pergi, mereka akan disajikan makanan di atas tempat makanan babi sebagai tanda bahwa mereka akan dianggap seperti babi jika pulang dengan tangan kosong. Jika mereka pulang dengan membawa binu, mereka akan dielu-elukan namun akan dihina jika pulang tanpa membawa apa-apa.[28]

 
Tolögu, pedang yang digunakan dalam berburu kepala

Pantangan

sunting

Pada dasarnya, tidak ada aturan jelas mengenai cara memperoleh binu. Namun, para emali dilarang berburu kepala sesama mado dan warga banua tetangga untuk menghindari keributan.[29][30] Mereka hanya boleh memburu kepala niha bö'ö, orang yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan mereka dan warga banuanya.[31]

Para emali pantang masuk rumah sebelum melakukan ritual penyembahan kepada Adu Siraha Horö agar mereka bersih dari hara, semacam panas yang timbul dari kekerasan akibat perburuan tersebut. Jika dia mengabaikan ritual dan memasuki rumah, panas yang dia bawa bersamanya diyakini bertanggung jawab atas penyakit yang akan timbul di dalam rumah.[21][32]

Hiasan

sunting

Jika binu diperoleh dari hasil perang, maka kepala kelompok musuh akan dipasang di atas sebuah monumen batu tinggi sementara kepala para prajuritnya akan dikubur.[33] Dalam kasus lain, binu musuh yang tewas saat perang atau sempat menjadi tawanan digantung di rumah pertemuan dan ibadah, osali (di selatan Nias disebut bale).[34] Sebuah binu yang digantung akan terlebih dulu dihias dengan serabut daun enau yang ditempel sebagai rambut dan janggut beserta dua potong bambu dengan potongan spiral untuk dikaitkan sebagai anting.[35] Bagian tubuh korban lainnya digunakan prajurit sebagai hiasan diri dan peralatan mereka. Mereka menggulung dan mengikat rambut korban ke tombak besi mereka dan menggunakan tulang lengannya untuk menghiasi anting mereka.[36]

Tujuan

sunting

Tradisi mangai binu awalnya terlaksana atas beberapa alasan, yaitu alasan magis dan pendirian fondasi bangunan.

Kepala manusia biasanya dimintakan oleh seorang ayah kepada putra sulungnya untuk diletakkan di sebelah mayatnya sebagai pelayan di alam baka. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa putranya tersebut akan menerima roh kepemimpinan setelah ayahnya meninggal. Jika putra sulung tidak bisa, maka sang ayah akan memilih putra lain untuk menjalankan tugas tersebut.[37] Dalam upacara kematian tradisional, orang tua tidak dikubur dan tubuhnya rutin dibersihkan. Ketika daging yang melekat pada tubuh mayat telah habis, tengkoraknya akan ditanam di bawah sebuah megalit yang didirikan di depan rumahnya. Mukanya diletakkan menghadap rumah dan dikuburkan bersama binu.[38][39][40] Jika pemimpin banua meninggal, tubuhnya akan dibiarkan sampai ahli warisnya telah mengumpulkan jumlah babi yang diperlukan untuk pemakaman.[41] Mereka beranggapan mangai binu adalah cara untuk mengambil jiwa atau kekuatan hidup korban dan untuk menawarkannya sebagai hadiah kepada roh-roh. Dengan cara ini, kepala banua memperoleh semacam jaminan untuk kehidupan setelah kematiannya. Jiwa korban juga berfungsi sebagai pengganti jiwa orang sakit sebagai hadiah yang menenangkan roh pendendam, yang diduga menyebabkan penyakit.[42][43][44] Dengan alasan magis pula, seorang budak dipenggal dan kemudian dikubur bersama tubuhnya ketika tuannya mengadakan sumpah sakral.[45]

Binu disertakan dalam pembangunan fondasi banyak bangunan seperti rumah seorang pemimpin (omo sebua) dan bale/osali. Pendirian megalit seperti bangku batu di depan rumah pemimpin (darodaro), batu tempat pengadilan (harefa), dan batu hombo juga sama. Dipercaya bahwa dengan fondasi binu dan tubuh seorang anak kecil, tumpukan batu akan berdiri kokoh.[46] Pendirian megalit paling jelas terlihat pada owasa pemberian gelar pelaksana pesta.[47][48] Dalam owasa tersebut, didirikan megalit sejumlah satu hingga enam sekaligus. Pendirian ini mengharuskan tersedianya perhiasan emas dan dua binu, satu pria dan satu wanita, dikuburkan di kaki batu terbesar untuk menghormati pelaksana pesta dan menurut tradisi, untuk "mencegah megalit jatuh". Di Nias tengah, jumlah kepala yang dibutuhkan untuk pendirian megalit bisa lebih banyak.[5] Tidak luput pula, penetapan fondrakö pendirian suatu banua memerlukan binu.[5]

Tujuan mangai binu kemudian berkembang menjadi penanda status sosial karena memiliki binu berarti memiliki kemampuan tempur yang baik, atau jika hasil membeli berarti seseorang memiliki sarana finansial yang memadai karena binu adalah komoditas yang mahal.[49] Jika seorang pria ingin meminang seorang wanita, dia harus menunjukkan kepala buruannya kepada keluarga calon istri. Keberhasilannya mendapatkan binu akan dikaitkan dengan keberhasilan orang tua dan leluhurnya dalam membesarkannya sehingga status sosial keluarga juga turut terangkat.[46]

Sejarah

sunting

Sekitar seribu tahun yang lalu, pedagang Arab sempat mendarat di Pulau Nias namun segera berlayar setelah mendengar tradisi ini.[50][51]

Sulaiman mencatat tradisi ini dalam sebuah naskah pada tahun 851. Berdasarkan catatan tersebut, mangai binu dilakukan oleh seorang laki-laki untuk memperoleh kepala yang menjadi syarat untuk menikahi seorang wanita. Banyaknya wanita yang dapat dia nikahi bergantung pada banyaknya kepala yang dia peroleh saat berburu. Menurutnya, orang Nias memilki banyak musuh sehingga tradisi ini muncul sebagai bentuk pertahanan.[52]Tradisi ini juga menimbulkan anggapan keliru terhadap beberapa penulis selanjutnya bahwa suku Nias adalah kanibal[53] meskipun faktanya, tidak pernah terjadi kanibalisme akibat tradisi mangai binu.[32][51] Edrisi yang menulis tentang struktur pemerintahan dan pernikahan di pulau 'Niyan' yang berpenduduk padat dan didiami beragam suku pada tahun 1154 juga memberitakan tradisi ini.[54][55]

Ketika salah seorang dari mereka ingin menikah, dia hanya dapat melakukannya jika dia memiliki tengkorak seorang laki-laki dari antara musuh-musuhnya. Jika dia membunuh dua musuh, dia menikahi dua [wanita]; jika dia telah membunuh lima puluh musuh, dia menikahi lima puluh wanita [sukunya] untuk lima puluh tengkorak [musuh].

— Sulaiman at-Tajir, Voyage du marchand arabe Sulaymân en Inde et en Chine, rédigé en 851, suivi de remarques par Abû Zayd Hasan (vers 916)[56]

Pemerintah Hindia Belanda melarang tradisi ini bersamaan dengan tradisi tidak beradab lainnya seperti perbudakan dan pengorbanan manusia lewat sebuah dekret yang dikeluarkan pada Desember 1856.[57] Namun, dekrit ini kurang efektif karena pemerintahan Belanda atas Nias di saat itu hanya bisa berlaku di daerah pesisir Gunungsitoli yang banyak dihuni pemukim Melayu dan Tionghoa yang menjalin perdagangan dengan orang lokal. Hubungan para pendatang dengan kolonial cukup baik dan mereka mendapat perlindungan dari tentara Belanda terhadap ancaman emali.[58] Di daerah pedalaman yang sulit dijangkau, terlebih di Nias bagian selatan, para prajurit lokal selalu mengadakan perlawanan atas kedatangan tentara di daerah mereka.[59]

Ketika Elio Modigliani menjelajahi Nias pada tahun 1886, praktik berburu kepala sudah ditinggalkan di utara Nias meskipun banyak masyarakatnya yang menjadi korban emali dari selatan.[60]

Peninggalan

sunting

Masuknya Kekristenan di Nias membuat masyarakat enggan melanjutkan tradisi ini, terlebih ketika Belanda akhirnya mampu memegang kendali atas Nias. Para emali tidak melanjutkan perburuan karena takut berbuat horö 'dosa' dan adanya upaya pelarangan dari pihak Belanda.[61][62] Kasus mangai binu terakhir dicatat oleh Puccioni pada tahun 1998.[63] Namun, pemenggalan kepala dengan motif perebutan harga diri masih terjadi.[64] Sonjaya dalam bukunya Melacak batu menguak mitos menceritakan bahwa dia masih mendengar berita pembunuhan dengan pemenggalan kepala korban di Gomo hingga tahun 2008.[65] Ketakutan akan emali di zaman dulu juga menyisakan kebiasaan pada beberapa penduduk. Beberapa keluarga melarang anak-anak kecil bermain di luar rumah dan beberapa pemuda Nias selalu membawa senjata tajam ketika keluar rumah pada malam hari sebagai bentuk kewaspadaan.[66][67]

Legenda

sunting

Beberapa kisah tentang perburuan kepala menyebar di masyarakat Nias.

Di selatan Nias, terdapat kisah tentang Awuwkha yang menhir kuburnya berdiri di Sifalagö Gomo.[68][69] Dituturkan bahwa seorang pemuda tinggal bersama ibu dan tujuh orang saudaranya di Börönadu sekitar seratus lima puluh tahun lalu.[70] Pada suatu hari, seorang pemuda dari banua Susua mengajak warga Börönadu untuk menghadiri pelaksanaan pesta owasa di banua mereka. Saat melewati rumah sang pemuda, seorang wanita meneriaki pembawa pesan tersebut dengan menghina kemaluannya. Pembawa pesan tersebut marah lalu kembali ke Susua. Beberapa hari kemudian, dia datang lagi ke Börönadu bersama beberapa pemuda banuanya untuk membalas kemarahannya dengan membakar rumah sang pemuda dan saudaranya. Mereka juga membakar lumbung padi milik seorang tokoh adat bernama Laimba. Si pemuda hanya bisa menyaksikan kejadian tersebut tanpa berbuat apa-apa.[3] Di depan ibunya, pemuda tersebut bersumpah akan memenggal kepala orang-orang yang terlibat dalam pembakaran tersebut. Meski tidak disetujui ibunya dan Laimba, dia nekat pergi untuk memenuhi janjinya menuju Susua. Beberapa hari kemudian, si pemuda pulang dengan membawa karung berisi belasan kepala manusia. Hal ini membuat Laimba takut akan terjadi pertumpahan darah selanjutnya. Para penduduk Susua menyusun rencana untuk membunuh sang pemuda, namun selalu gagal karena kelihaiannya dalam bertarung. Kehebatan si pemuda pun tersiar di seluruh Nias dan dia dikukuhkan sebagai tokoh melalui owasa, upacara tertinggi di masyarakat Nias. Perkataan seseorang yang telah menunaikan owasa secara otomatis akan menjadi hukum.[3] Dia diberi gelar Awuwukha yang berarti 'jurang yang terjal'.[71] Menjelang kematiannya, Awuwukha berpesan bahwa ia ingin dikuburkan bersama lima orang yang akan melayaninya di alam kubur. Masing-masing bertugas menyiapkan minum, menyiapkan makanan, membuat sirih pinang, memijat, dan menjagai kuburnya. Anak-anaknya lalu mencarikan lima kepala untuk penguburan Awuwukha.[72][3]

Sementara itu, di Nias bagian utara terdapat kisah tentang bersaudara Göndru dan Latitia. Göndru lahir di Boto Niha Yöu, sementara Latitia di Mazingö.[73] Ketika mereka beranjak dewasa, mereka berselisih dan berencana untuk saling memburu kepala. Pada suatu hari, mereka berjanji untuk berduel di bukit Botombawo yang terletak di tengah pulau. Mereka saling menyerang dari jarak jauh namun gagal. Ketika mereka berdua mendekat untuk saling menyerang lagi, entah bagaimana, tubuh mereka saling menempel sehingga tidak dapat bergerak. Mereka memutuskan untuk berdamai dan beristirahat. Latitia megambil pinang dari tasnya untuk diberi kepada Göndru tetapi tidak cukup. Dia melempar buahnya ke tanah dan seketika pohon pinang tumbuh. Mereka lalu membawa kabar ke masing-masing banua mereka bahwa mereka membawa banyak binu, dan binu tersebut adalah pinang. Para warga yang mencoba takjub dengan rasanya dan berkata bahwa binu tersebut lebih bermanfaat daripada binu manusia. Sejak saat itu, mereka mulai menanam pinang dan sirih untuk membuat campuran yang bisa dikunyah. Para pemburu kepala di Nias utara akhirnya beralih profesi sebagai petani.[74]

Adu Mbinu

sunting
 
Rupa adu mbinu

Orang Nias memahat patung berbentuk binu guna menghormati arwah para korban buruan. Patung ini disebut adu mbinu.[c][46]

Museum

sunting

Beberapa tengkorak dari Nias dikumpulkan oleh para penjelajah Eropa dan disimpan atau dipajang oleh berbagai museum di belahan dunia. Elio Modigliani saja telah mengumpulkan 26 tengkorak yang menjadi koleksi Museum Nasional Antropologi dan Etnografi di Firenze.[75]

Catatan

sunting

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Beberapa sumber menyatakan bahwa fahombo dicetuskan oleh para misionaris, namun tidak demikian. Untuk mendirikan batu hombo saja, diperlukan binu.
  2. ^ Alisi adalah satuan tradisional ukuran babi. Satu alisi sama dengan diameter lingkaran yang terbentuk dari pertemuan kedua ujung jari jempol dan kelingking orang dewasa (Beatty 1992, hlm. 301).
  3. ^ Binu menjadi mbinu akibat fenomena linguistik mutasi inisial di bahasa Nias. Mutasi ini terjadi pada kata benda yang berawalan konsonan atau vokal tertentu (Brown 2005, hlm. 567-569).

Referensi

sunting
  1. ^ Afif 2018, hlm. 175: "(...), di Nias juga terdapat tradisi penghormatan terhadap leluhur yang disebut mangani binu atau tradisi memburu kepala."
  2. ^ Suzuki 1959, hlm. 105: "Now the term BINU in Nias is applied to mean a slave who is sacrified for the OWASA and other important ceremonies, and also refers to the head taken for this same purpose by professional headhunters, but at the same time, means "property in general!!"
  3. ^ a b c d e Raditya, Iswara N. "Cerita Memburu Kepala di Nias". tirto.id. Diakses tanggal 2020-02-17. 
  4. ^ Beatty 2019, hlm. 71: "(...), was the headhunter, emali. (In Niasan, to scream in terror," fa'emali, means "to shout headhunter.")"
  5. ^ a b c d e f g Viaro 2001.
  6. ^ Hämmerle 2008, hlm. 12: "Das niassische Wort so' aya, womit nun in den christlichen Kirchen Gott, der HERR bezeichnet wird, bedeutet im Grunde genommen nur dies: jener, der Goldschmuck hat ( aya: Schmuck)."
  7. ^ Sonjaya 2008, hlm. 53: "Tradisi mangani binu (memburu kepala) makin mengukuhkan sikap ini sehingga masing-masing kampung terisolir oleh emali (pemburu kepala).
  8. ^ UCLA 1985, hlm. 76: "In order to st in the bale a person must have the title fobinu, which means "owner of a head."
  9. ^ Skira 2000, hlm. 44: "In such circumstances the skulls were hung under the house, before being put up in the men's assembly house (bale or osali)."
  10. ^ Marschall 2013, hlm. 128: "Ihre Berichte von den Kopfjägern von Nias und den kakabubu als Zeichen eines erfolgreichen Kopfjägers, (...)"
  11. ^ Modigliani 1890, hlm. 214: "Almeno una vittima devono essi avere sulla coscienza ed almeno un cranio devono aver appeso sotto la tettoia dell'osalè per arricchire la colezzion del villagio, prima di potersi chiamare guerrieri, Iramatúa, "
  12. ^ Modigliani 1890, hlm. 215: "Una gran festa, nella quale soglionsi uccidere molti maiali, deve celebrare quel fausto avvenimento ed il Capo villagio nell'ammettere il giovane tra gli Iramatua, gli da in dono il Calabubu , collare d'onore di cui d'ora innanzi egli può fregiarsi al pari dei più anziani guerrieri"
  13. ^ Modigliani 1890, hlm. 214b: "I selvaggi che cacciano teste credono che " il padrone del cranio è nell'altra vita padrone della persona, o meglio dell' anima dell'ucciso „3). Il conservarne il cranio quindi non è che il segno esterno del possesso (...)"
  14. ^ Modigliani 1890, hlm. 214c: (...), che da un vivo in favore di se stesso e sempre dev'essere inteso come modo di procurare dei servi nella vita futura al morto oa sè stesso, (...)
  15. ^ Baaren 1955, hlm. 6: "On the Island Nias the people call themselves the pigs of Lature. Every time the god kills a pig, a man dies."
  16. ^ Beatty 1992, hlm. 247: "-as well as obsolete practices and ideas such as head-hunting and the notion of men being the pigs of God-"
  17. ^ Sonjaya 2008, hlm. 41: "Konon, yang tampak di depan orang Dayak, suku buruannya adalah binatang yang sudah selayaknya dipenggal."
  18. ^ UCLA 1985, hlm. 36: "Among all Austronesians the head is the locus power in the human body; it was there for the most potent offering possible."
  19. ^ "Adu Siraha Horo". Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Diakses tanggal 18 Februari 2020. 
  20. ^ Beatty 2019, hlm. 74: "Before setting out, raiders would lap blood from a pig's trough, then gird themselves with crocodile-hide and tusked helmets."
  21. ^ a b Halawa, Hendrik Yanto (29 April 2017). Damanik, Caroline, ed. "Patung Pembersih Dosa, Dahulu Dipakai Pemburu Kepala Manusia di Nias". Kompas.com. Diakses tanggal 18 Februari 2020. 
  22. ^ Beatty 1992, hlm. 286: "The ritual category of binu, the victim of human sacrifice or head-hunting, has sometimes been mistakenly translated as 'slave'. As a rule, only slaves captured or purchased outside the village could be sacrified."
  23. ^ Sonjaya 2008, hlm. 132: "Sawuyu yang berbuat kesalahan bisa dipenggal untuk bekal kubur tuannya jika meninggal."
  24. ^ "Emali". Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Diakses tanggal 17 Februari 2020. 
  25. ^ Kayser 1976, hlm. 52: "(...) betrug gewöhnlich um hundert bis zweihundert holländische Gulden für jeden erbeuteten Kopf."
  26. ^ Sonjaya 2008, hlm. 67b: "Bahkan ada binu yang ditangkap hidup-hidup dan baru dipenggal di atas awina dengan disaksikan orang banyak. (...) Harganya sangat mahal, yakni 6 x 5 alisi babi."
  27. ^ Kruijt 1906: "Het onthoofden heeft echter wel cens slechts in schijn plaats, vooral wanneer men, het vereischte aantal slachtoffers niet kunnende bekomen, genoodzaakt is eigen slaven te nemen."
  28. ^ Modigliani 1890, hlm. 211: "I cacciatori di teste sono pagati e mettono in pegno la loro testa quando partono e quella dei loro figli, per il caso che non riportassero a casa altre teste.
  29. ^ Beatty 1992, hlm. 31: "(...) in the days of head-hunting, in the ban on taking the head of fellow-clansman."
  30. ^ Puccioni 2016, hlm. 80: "Supaya tidak menciptakan keributan dengan desa tetangga, mereka berburu agak jauh dari desa mereka."
  31. ^ Beatty 1992, hlm. 75: "A niha bö'ö is someone with whom there are no ascribed relations, no rights or obligations, and no prescribed form of behaviour. Niha bö'ö are quintesentially strangers, outsiders who are therefore potential enemies from whom (formerly) heads may be taken, and also potential spouses."
  32. ^ a b Hämmerle 2013.
  33. ^ Wiradnyana 2010, hlm. 49: "(…), biasanya kepala yang digantung adalah kepala dari pemimpin musuh dan yang dikubur adalah kepala dari kelompok masyarakat biasa."
  34. ^ Modigliani 1890, hlm. 210: "Quando un nemico è fatto prigioniero o ucciso in guerra; la sua testa viene allora appesa sotto l'osalè."
  35. ^ Modigliani 1890, hlm. 217: "(...)al quale sono stati apposti i capelli e la barba ben imitati con filamenti di Arenga saccharifera e due pezzi di legno fregiati di una linea a spirale che furono infitti nella regione dell'orecchio(...)
  36. ^ Modigliani 1890, hlm. 217b: "(...)e si pavoneggiano di poter tornare uno dei loro orecchini (fig. 123) con sezioni d' osso (forse d'omero) molto probabil- mente umano."
  37. ^ Frazer 1922, hlm. 294: "But it from any bodily or mental defect the eldest son is disqualified for ruling, the father determines in his lifetime which of his son shall succeed him.
  38. ^ Beatty 1992, hlm. 43: "(..) were in the care of the eldest son. It was usually he who was instructed by the dying father to obtain human heads for the funeral ceremony."
  39. ^ Beatty 1992, hlm. 230: "(...), a head might be taken for a funeral ovasa at which a stone was erected by the deceased man's successor."
  40. ^ Wiradnyana 2010, hlm. 156: "Setelah daging yang melekat pada mayat itu habis, (…), lalu ditanam di bawah behu (batu berdiri). (…). Muka tengkorak itu menghadap ke depan rumah dan di antara tengkorak itu diletakkan binu untuk keperluan sebagai bantal, pembantu, penjaga."
  41. ^ Modigliani 1890, hlm. 209: "E la che si depone il corpo di un Capo defunto finche l'erede non abbia riunito il numero di maiali necessari alla festa funebre (...)"
  42. ^ Schröder 1917: "
  43. ^ Kruijt 1906, hlm. 294-295.
  44. ^ Zwaan & Pieter, hlm. 110: "
  45. ^ Modigliani 1890, hlm. 210c: "Per dare maggiore forza ad un giuramento inviolabile, nel quale caso si decapita uno schiavo e la sua testa viene poi sotterrata insieme al corpo."
  46. ^ a b c Wulandari, Retno (2016-05-27). Susanto, Gabriel Abdi, ed. "Kisah Emali, Pemburu Kepala Manusia untuk Teman di Alam Kubur". Liputan6.com. Diakses tanggal 2020-02-17. 
  47. ^ Modigliani 1890, hlm. 210b: "Quando un Capo assume un nome più glorioso, che lo debba rendere maggiormente conosciuto.(...)
  48. ^ Modigliani 1890, hlm. 477: "Le feste con le quali si esalta il nuovo titolo che il Capo si attribuisce, si bandiscono anche quando si erigono per la prima volta le pietre d'onore che ogni potente fa innalzare a testimonianza della propria importanza , (...)"
  49. ^ Sundermann 1905, hlm. 345–54, 408–31, 442–60: "
  50. ^ Anitei, Stefan. "The Island of the Head Hunters". softpedia (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-02-17. 
  51. ^ a b Shahriyār & Lith, hlm. 237: "L'argument principal de Junghuhn est baaé sur ce fait que maintenant on ne trouve pas d'anthropophages sur l'ile de Nias qui, (...). Car il se peut que les marins arabes aient attribué ce vice aux habitants de Nia, croyant qu'il était commun à tous les pouples habitant Sumatra et les fles environnantes."
  52. ^ Sirafi & Sulayman, hlm. 34b: "La cause de cette coutume est que les gens de cette île ont un grand nombre d'enemis;(...)"
  53. ^ Schröder 1917, hlm. 701: "(...); ils chassent les hommes, puis les mangent"."
  54. ^ Suzuki 1959, hlm. 2: "In 1154, Edrisi gave the first "ethnography" of the island mentioning as he did something about village structure, headhunting, and marriage."
  55. ^ "Orang Nias". Museum Pusaka Nias. Diakses tanggal 5 Maret 2020. 
  56. ^ Sirafi & Sulayman, hlm. 34 (terjemahan bebas)
  57. ^ Puccioni 2016, hlm. 52-53: "Pada Desember 1856 pemerintah Belanda merasa cukup berkuasa untuk menerapkan hukum. Mereka mengundang para raja untuk menginformasikan dekrit mereka.(...) Perbudakan, pemburuan, dan pengorbanan manusia diancam hukuman mati."
  58. ^ Modigliani 1890, hlm. 71: "Intanto (1876) arrivavano di sovente a Sitoli i reclami dei villagi malesi stabiliti lungo la costa orientale presso G. Lembui, perchè gli abitanti del vicino distretto di Iraòno lasse, nelle loro scorrerie a caccia di teste umane erano scesi a compire i loro assassinî su gente di quei pacifici villaggi."
  59. ^ Puccioni 2016, hlm. 55: "Pada tahun-tahun berikutnya, Nias Selatan kembali pada kondisi tahun 1840 karena pemerintah Belanda tidak mampu menegakkan kekuasaan dengan cara apapun."
  60. ^ Puccioni 2016, hlm. 180: "Pada zaman itu juga, masyarakat Nias Utara telah meninggalkan budaya pemburuan manusia, walaupun sering menjadi korban para prajurit Nias Selatan."
  61. ^ Beatty 2019, hlm. 77: "Translation preempted the present by rewriting the past. (...) Horö "war," "enmity," "crime," becomes "sin." "
  62. ^ Suzuki 1959, hlm. 3: "The usual reasons for sending apunitive force to Nias was in order to put down skirmishes which arose out of headhunting parties or slave raids."
  63. ^ Puccioni 2016, hlm. 346: "Kasus terakhir yang saya dengar terjadi tahun 1998 (...)."
  64. ^ Afif 2018, hlm. 183c: "(...), pemenggalan kepala saat ini lebih banyak disebabkan oleh pertikaian dalam mempertahankan harga diri."
  65. ^ Sonjaya 2008, hlm. 71: "Dalam minggu pertama di Börönadu, saya mendengar ada pemenggalan kepala di desa tetangga hanya gara-gara memperebutkan pohon rambutan. Setelah mencoba menggali informasi mengenai kejadian itu, ternyata pembunuhan itu lebih berlatar belakang harga diri ketimbang pohon rambutan itu sendiri."
  66. ^ Afif 2018, hlm. 183b: "Hal ini juga bisa dilihat dari cara para lelaki dewasa di Nias ketika akan berpergian di malam hari. Mereka selalu membawa senjata tajam untuk jaga diri."
  67. ^ Laiya 2017.
  68. ^ Sonjaya 2008, hlm. 63: "Di antara batu-batu itu, yang paling menarik perhatian saya adalah sebuah behu berukuran sangat besar. (...) Oleh karena ukurannya yang besar itu, saya sangat tertarik untuk menelusuri asal-usulnya. (...), bernama Awuwukha.
  69. ^ Horor 2011, hlm. 80: "Menhir Awuwukha merupakan situs yang terbuat dari batu."
  70. ^ Afif 2018, hlm. 176: "Menurut Sonjaya (2008:63), Awuwukha hidup sekitar lima generasi (setiap generasi sama dengan 25 tahun) lalu. Sementara menurut Thomsen (dalam Zebua, 2008), Awuwukha hidup jauh lebih lama, yaitu sekitar tujuh generasi yang lalu."
  71. ^ Sonjaya 2008, hlm. 65: "Awuwukha adalah gelar yang diperoleh saat penyelenggaraan pesta tersebut. Nama itu berarti "jurang yang terjal" (...)"
  72. ^ Afif 2018, hlm. 179: "Hal ini berarti anak-anak Awuwukha harus melakukan mangai binu, karena tak kuasa menolak wasiat leluhur."
  73. ^ Modigliani 1890, hlm. 212: "Un giorno nacquero due ragazzi, uno nel settentrione di Nias, in Boto niha giou e l'altro nel mezzogiorno, in Mazino; al primo fu dato il nome di Gondru sawai ana'a ed al secondo quello di Latitia sörömi.
  74. ^ Modigliani 1890, hlm. 213: "Gli abitanti delle due parti conclusero: "É meglio di gran lunga che voi ci rechiate simili teschi, teschi per la bocca; gli altri si appendono, questi invece possiamo mangiarli. „"
  75. ^ Puccioni 2016, hlm. 29: "Ia juga memboyong 26 tengkorak manusia, kenang-kenangan yang dibelinya dari pemburu kepala, yang saat itu dipandang sebagai benda yang sangat berharga bagi Museum Nasional Antropologi dan Etnografi di Florence."

Daftar pustaka

sunting
  • Brown, Lea (2005). "Nias". Dalam Adelaar, Alexander; Himmelmann, Nikolaus P. The Austronesian Languages of Asia and Madagascar (dalam bahasa Inggris). London: Routledge. ISBN 0-7007-1286-0. 
  • Shahriyār, Buzurg bin; Lith, P. A. van der (Pieter Antonie); Devic, L. Marcel (1883). Kitāb ʻajāyib al-Hind (dalam bahasa Prancis). Getty Research Institute. Leide : Brill. 
  • Sonjaya, Jajang A (2008). Melacak batu, menguak mitos : petualangan antarbudaya di Nias. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. ISBN 9789792118155. 
  • Suzuki, Peter (1959). The Religious System and Culture of Nias, Indonesia (dalam bahasa Inggris). 's-Gravenhage: Excelsior.