Lurik (aksara Jawa: ꦭꦸꦫꦶꦏ꧀) adalah kain dengan motif bergaris-garis kecil yang secara tradisional menjadi pakaian khas masyarakat pedesaan di kalangan suku bangsa Jawa. Lurik yang berbahan dasar katun kasar memiliki harga yang relatif murah dan terjangkau untuk masyarakat kelas bawah. Lurik adalah bahan dasar untuk pembuatan Surjan.

Para orang tua yang mengenakan surjan lurik di sebelah Gunungan. Pakaian yang sudah jadi tersebut berbahan kain lurik.

Dalam perkembangan modern, lurik sekarang mendapat sentuhan warna-warna baru, sehingga dapat pula dipakai sebagai bahan kemeja atau sebagai komponen estetika pada rompi atau jas.

Sejarah

sunting

Menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia (1997), lurik diperkirakan berasal dari daerah pedesaan di Jawa. Lurik pada masa itu dibuat dalam bentuk sehelai selendang. Fungsi sebagai penutup dada perempuan (kemben) dan alat untuk menggendong sesuatu dengan cara mengikatkannya pada tubuh. Penggunaan lurik kemudian berkembang. Tidak hanya menjadi milik rakyat, tetapi juga dipakai di lingkungan keraton.[1][2]

Penampakan kain lurik terdapat di Candi Borobudur. Dalam salah satu relief, digambarkan sesorang sedang menenun dengan alat tenun gendong. Prasasti Raja Erlangga dari Jawa Timur pada tahun 1033 menyebut kain Tuluh Watu sebagai salah satu nama kain lurik.[1][2]

Diduga, karya tenun lurik sudah populer di kalangan masyarakat zaman Kerajaan Majapahit. Hal ini dapat dilihat dari cerita Wayang Beber yang menggambarkan seorang kesatria melamar seorang putri raja dengan alat tenun gendong sebagai mas kawinnya.

Galeri

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ a b Anggraeni, Feti (2007). "Lurik, Dari Masa ke Masa". Majalah Artista. Vol. 10. 
  2. ^ a b "Modernisasi Tradisi, Lurik Pedan Menembus Zaman". Indonesia.go.id. 31 Desember 2019. Diakses tanggal 6 Juli 2020. 

Lihat pula

sunting