Luo Fangbo
Luo Fangbo (Hanzi: 羅芳伯; Pinyin: Luófāng bó; Dutch: De thaiko[1] Lo Fong-phak,[2]; Indonesian: Lo Fang Pak, 1738-1795), sebelumnya dikenal sebagai Lo Fong Pak, lahir di Sak-san-po,[2] Provinsi Guangdong. Dia merupakan tokoh Tiongkok pertama yang menyandang jabatan pemerintah bergelar 'presiden' dan merupakan tokoh pendiri dari Republik Lanfang.[3]
Luo Fangbo | |||||||||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
羅芳伯 | |||||||||||||||||||
Presiden Republik Lanfang | |||||||||||||||||||
Masa jabatan 1777–1795 | |||||||||||||||||||
Pendahulu None (established position) | |||||||||||||||||||
Informasi pribadi | |||||||||||||||||||
Lahir | 1738 Meixian, Guangdong (sekarang Guangxi), Qing | ||||||||||||||||||
Meninggal | 1795 Khuntien (sekarang Pontianak), Kalimantan Barat | ||||||||||||||||||
Kebangsaan | Hakka Qing | ||||||||||||||||||
| |||||||||||||||||||
Sunting kotak info • L • B |
Kehidupan awal
suntingLuo Fangbo, lahir dari keluarga petani dan pelajar di Meixian, Provinsi Guangdong, dengan nama lahir Luo Fong Pak. Pada saat remaja, dia disebut sebagai dermawan dan sangat bahagia dengan pernikahan. Dari usia muda, dia belajar membaca dan bela diri, mendapatkan pengakuan diantara temannya. Dia mencoba belajar banyak hal dan mempraktekan ilmu pedang, sambil juga mencoba menguasai manajemen pertanian dan ternak. Dikenal karena ambisi dan ketekunannya, warge kota menjunjung tinggi dia.[4] Hingga usia 34 tahun, Luo Fangbo masih seorang pelajar miskin di Prefektur Jiaying yang tidak dihargai karena bakatnya untuk kegiatan ilmiah dan "hidup dengan bekerja keras di lapangan dengan lidahnya dan menulis dengan tintanya untuk bertahan hidup."[5]
Perlintasan Selatan
suntingPada 1772 (tahun ke-37 masa kekuasaan Qianlong di dinasti Qing), Luo Fangbo gagal pada ujian desa (鄉試) pada usia 35 tahun. Kepercayaan Confucian Luo Fangbo dan ambisinya kemudian menuntunnya untuk mencari kehidupan diluar desanya. Tidak mau menghabiskan waktunya di kehidupan desa, dia "memiliki ambisi untuk melakukan perjalanan dengan kekuatan yang besar" dan berlayar dengan lebih dari ratusan kerabat dan temannya menuju ke Borneo melalui Humen. Luo juga menulis sebuah puisi berjudul "Perjalanan ke Jinshan" untuk mengenang peristiwa ini. Dorongan untuk eksplorasi dan pencapaian ini tercermin dalam "Meixian Essentials," karya Xie Fusheng yang mencatat keinginannya untuk mengarungi lautan untuk mencari peluang yang lebih besar.[6][7] Setelah melewati beberapa badai, dia mendarat di Sanfa (sekarang Sambas), Borneo.[8]
Pada waktu itu, Borneo telah dihuni oleh banyak keturunan Tiongkok. Pada awalnya, Luo Fangbo mencari kehidupan di Kundin di bagian barat dan menjadi seorang guru. Dia secara aktif berhubungan dengan warga Tiongkok lokal dan masyarakat pribumi setempat yang meningkatkan kemampuan komunikasinya.[9] Luo Fangbo, yang baru saja tiba, dihormati dengan cepat oleh komunitas Hakka karena pengetahuannya akan literatur dan ketegasannya akan melakukan sesuatu. Dia dikenal sebagai "Luo Fangkou."[5] Pada saat dia tiba di Dongwanlu (東萬律), sekarang Pontianak, dia menikmati kehormatan diantara keturunan Tiongkok di wilayah Pontianak dan dipilih sebagai pemimpin oleh asosiasi klan setempat. Kemudian dia mendirikan Lan Fang Hui, sebuah organisasi yang ditujukan untuk menjafa komunitas Tiongkok dalam bisnis. Lawan utamanya adalah Tiandihui dan setelah banyak pertempuran, Tiandihui hancur, dan Lan Fang Hui semakin kuat.[10] Dia juga memiliki "seratus delapan orang yang berpikiran sama" dan mulai mencoba untuk mengukir prestasi.[5] Untuk keahlian administrasinya, latar belakang kebudayaan tinggi, keberanian, pendidikan Konfusius, dan keahlian beladirinya, dia tidak hanya mampu menyatukan keturunan Tiongkok, namun juga mampu bekerjasama dengan pribumi, dan sangat populer diantara kaum pribumi dan juga warga Tiongkok diluar negeri.[11] Kemudian, pada 1777, reputasi dari bawahan Luo Fangbo perlahan meningkat dan melebihi"Jusheng Company." milik Wu Yuansheng. Wu Yuansheng berasal dari Prefektur Jiaying dan seorang bandit yang kabur ke Pulau Borneo untuk merencanakan menggerakan pemberontakan melawan pemerintahan Qing. Karena kepopulerannya, Luo Fangbo menjadi atasan Wu Yuansheng dan kemudian menjadi pemimpin dari "Jusheng Company." Luo Fangbo kemudian mendirikan kembali perusahaan ini dengan nama, "Lanfang Company."[12]
Namun, pada saat itu, lebih dari tujuh perusahaan tambang saling bersaing satu sama lain di Borneo. Tatanan sosial di pulau ini sangat kacau dimana bandit merajalela dan bajak laut mendominasi, mengakibatkan masyarakat hidup dalam kemiskinan sementara pemimpin pribumi tidak berdaya. Sebagai respon, Luo Fangbo pertama menyatukan keturunan Tiongkok dan mendirikan "perkumpulan rekan senegara" (同乡会) dimana dia mendirikan dan secara pribadi melatih penjaga keamanan dalam bela diri dan mempersenjatainya untuk mengamankan dan menahan para penjahat. Kemudian menyebar kabar akan tibanya invasi bersenjata terhadap Boreneo oleh Dutch East India Company di Java.[13] Luo Fangbo secara aktif menghubungi pemimpin pribumi dari Sultan dan masyarakat lokal untuk membangun sebuah pasukan yang menggabungkan antara keturunan Tiongkok dan masyarakat lokal, yang mengalahkan pasukan Belanda dua kali dan meraih yurisdiksi atas Borneo Timur. Memimpin sebuah pasukan yang terdiri lebih dari 30,000 pasukan, Luo Fangbo bergabung dengan pasukan dari Sultan, yang dipercaya berasal dari Kesultanan Sambas, untuk memenangkan pemberontakan.[14] Selama peperangan, keahlian organisasi Luo Fangbo yang luar biasa dan semangat pertarungannya yang berani membuat rekan-rekannya mengaguminya dan memilihnya menjadi pemimpin.[9] Sultan menyiapkan sebuah jamuan untuk merayakan kemenangan. Wen Xiongfei menulis;[15]
"Penduduk asli Yue berusaha memberontak, Sultan membayarkan biaya militer, diwariskan kepada Luo Fangbo untuk ditaklukkan. Phuong Bo digunakan secara terbuka, diam-diam diatur, buah dari kemenangan besar, penduduk asli terbunuh dan terluka. Sultan senang menerima laporan tersebut, dan membuatkan anggur serta musik, untuk ulang tahun Fangbo. Dari meja, minuman itu diangkat dan berkata, 'Ada masalah besar dalam keluarga kami. Kami adalah saudara. Kami tidak akan pernah melupakan satu sama lain dari generasi ke generasi. Fang Boweizhi.'"
Keluarga dan silsilah
suntingMenurut silisah Luo, leluhur Luo Fangbo's (dikenal sebagai Luo Fangbai), berasal dari Jiangxi selatan dan Jiaying Prefecture (sekarang distrik Meixian); setelah lima generasi, dan kemudian berpindah ke Shishan Town untuk membuka kediaman dan mendirikan bisnis. Dari leluhur Luo Jiucheng hingga Luo Fangbo, setelah empat belas generasi. Ayah Luo Fangbo, Luo Qilong (keturunan ke-13), istrinya Yang, melahirkan tiga anak yaitu Fangbai, Kuibai, dan Taibai. Luo Fangbo memiliki seorang adik laki-laki bernama Luo Zhenbo.[5] Istri pertama Luo Fangbo, Li, melahirkan seorang anak bernama Luo Zizeng (keturunan ke-15). Luo Zizeng menikahi Guo dan melahirkan dua anak yaitu Yuanhan dan Yuanheng, Keturunan ke-16, yang merupakan keturunan Luo Fangbo tersisa di Shishan.[6] Ditemukan bahwa Luo Zizeng tidak pernah pergi ke Pontianak dengan ayahnya, karena sedikit sekali keterangan catatan Luo Zizeng di Pontianak. Setelah Luo Fangbo menaklukan Dongwanlu, dia menikahi warga pribumi dari etnis Dayak. Tidak diketahui apakah istri kedua Luo Fangbo melahirkan anak karena kurangnya informasi. Sepanjang waktu, keluarga Luo telah terlibat dalam pertanian dan pembelajaran, dan beberapa diantara mereka juga terlibat dalam pertanian dan perdagangan.[14] Namun, keturunan Indonesia dari Luo Fangbo menjadi misteri, dengan banyak keturunan langsung dari Luo Fangbo tersebar di seluruh Asia Tenggara.[16][17]
Pendirian Langfang
suntingKemudian, di hilir aliran Sungai Kapuas, terdapat suku pribumi yang sering terpisahkan dari persatuan antara pribumi dan keturunan Tiongkok. Ketika warga suku yang tinggal di hilir menghina warga Tiongkok, bawahan Luo Fangbo, Wu Yuansheng memimpin sebuah pasukan untuk menghancurkan mereka dan kabur ke arah selatan. Ketika melakukan perjalanan ke selatan, Kun Tien, juga dikenal sebagai Kesultanan Pontianak,[18] baru saja berdiri setelah pemimpinnya, Syarif Abdurrahman Al Qadri meninggalkan Kerajaan Mempawah untuk mendirikan kerajaannya sendiri dengan dukungan dari VOC Belanda.[19] Luo Fangbo, yang ahli dalam diplomasi dan mencari peluang, berhubungan dengan Sultan yang baru dan lemah dari Kesultanan Pontianak untuk melawan bandit Tiongkok dan pemberontak Kongsis di timur dan barat secara bersama.[19] Dengan kerjasama, mereka meraih kemenangan besar.[14] Sultan Pontianak, Syarif Abdurrahman Alkadrie, menyadari bahwa dia bukan lawan dari warga suku dan tidak dapat mengatur mereka, sehingga dia memecah wilayahnya menjadi beberapa wilayah, dimana Luo Fangbo diberikan kuasa atas tanah di Dongwanlu sebagai tanda terima kasihnya dan cara untuk mengatur wilayahnya dengan lebih efektif.[14] Wilayah dalam yurisdiksi Luo Fangbo dibatasi oleh Molor di timur, Sungai Kapuas di barat, Dayuan (juga dikenal sebagai Daiyan Tayan, sekarang bagian hulu dan hilir wilayah Daiyan di Kabupaten Sanggau), Shanghou dan Sekadau di selatan, dan Lara serta Singkawang di utara.[14]
Aliansi Luo Fangbo dengan Kesultanan Pontianak banyak membawa keberhasilan pada 1789, Kesultanan Pontianak dengan bantuan Belanda berhasil mengambil alih wilayah dari Kesultanan Mempawah, didukung oleh Luo Fangbo. Awalnya didorong oleh Belanda, Kesultanan Pontianak mencoba untuk membangun sebuah istana di pinggiran perbatasan Kerajaan Mempawah di bagian hulu sungai. Perselisihan mengenai kewenangan sungai dan ketidakjelasan batas wilayah akhirnya berujung pada perang di antara keduanya.[18] Sejarawan Musni Umberan, memperkirakan bahwa Luo Fangbo sendiri yang mendorong Syarif Abdurrahman untuk menyerang Mempawah yang pada saat itu dipimpin oleh Kakak tirinya, bernama Gusti Daeng Jamiril.[20] Sultan Mempawah kalah dalam peperangan dan bergabung dengan Dayak untuk menyerang balik. Luo Fangbo kembali memecah kekuatan Sultan Mempawah dan mendorong mundur ke arah utara hingga Singkawang, yang diakhiri dengan Sultan Singkawang (kemungkinan merujuk ke Kesultanan Sambas) dan Sultan Mempawah menandatangani perjanjian damai dengan Luo Fangbo dimediasi oleh Sultan Pontianak setelah sebuah pengepungan yang berlangsung selama 9 bulan.[5] Tidak lama setelahnya, pada usia 57 tahun, popularitas Luo Fangbo meningkat tajam.[18][21] Hasilnya, sejak 1793, Sultan Pontianak memberikan otoritas luas bagi Luo Fangbo untuk mengatur kongsi Tiongkok dibawah manajemannya.[19] Dikatakan juga bahwa Sultan tidak dapat menahan kekuatan militer Luo Fangbo, sehingga Sultan sendiri meminta perlindungan dari Luo Fangbo untuk memastikan keberlangsungan hidup dari kerjaannya yang baru lahir. Setelah itu, masyarakat, dan keturunan Tiongkok di wilayah itu bergabung dengan Luo Fangbo untuk mencari perlindungan dan bekerja kepadanya.[18][21][22]
Terinspirasi oleh kesuksesan Konfederasi Heshun melakukan negosiasi dengan sultan setempat melalui penyatuan organisasi, Luo Fangbo mulai mendirikan sebuah republik yang berdiri sendiri dengan Dongwanlu (sekarang Mandor) sebagai ibukotanya. Kemudian merubah nama perusahaan Langfang menjadi Republik Lanfang setelah berhasil menyatukan 14 Kongsi.[11] Pada 1777, dia mengatur "Sistem Umum Besar Lanfang" dan memperkenalkan tahun baru Lan Phuong. Orang-orang dengan suara bulat mendukungnya dan menyebutnya sebagai "Pemimpin Dinasi Tang" (大唐總長), kemudian menganugerahkan kepadanya gelar mulia 'Bo'. Sebagai hasilnya, dia tidak dikenal lagi sebagai Lo Fong Pak namun sebagai Luo Fangbo.[23] Pada 1941, sejarawan Luo Xianglin mengatakan bahwa sejak pendirian Sistem umum besar Lanfang, prestise Fangbo, baik secara dalam maupun luar negeri, dapat membawanya untuk memproklamasikan diri sebagai Kepala pemimpin atau Raja. Dengan banyak pihak ingin agar Luo Fangbo mendapatkan status sebagai seorang Raja atau seorang Sultan.[18] Namun, Fangbo tetap merendah, memilih untuk merujuk dirinya sebagai kepala (Presiden), yang merefleksikan kekuasaan rakyat.[6] Sebagai tambahan, Kerajaan Dai Yan juga didirikan. Kerajaan ini didirikan secara khusus bagi Jenderal Wu Yuansheng, dimana dia berkuasa sebagai negara feodal.[5] Sistem Lanfang merupakan salah satu upaya awal untuk mendirikan sebuah sistem pemerintahan demokrasi di Asia Tenggara. Ini menampilkan kantor umum di tingkat atas, didukung oleh pejabat di semua tingkatan. Luo Fangbo mengorganisir badan-badan pemerintahan mandiri lokal dan menunjuk kepala suku Tionghoa dan pribumi perantauan sebagai kepala badan-badan ini. Pemerintahannya berbudi luhur dan diterima dengan baik oleh masyarakat setempat. Tanah di Dongwanlu subur, cocok untuk bertani dan beternak. Wilayah ini juga memiliki pegunungan, hutan, tambang emas, dan sumber daya yang melimpah, serta pelabuhan dan teluk yang memfasilitasi perkembangan transportasi. Selama pemerintahannya, diambil dari yang dia pelajari di rumah, dia memimpin rakyat untuk meningkatkan teknik pertanian, memperluas pertambangan mineral, mengembangkan bisnis transportasi, jalan raya, mendirikan sekolah, dan meningkatkan materi dan kehidupan budaya dari masyarakat.[22] Untuk menjaga keamanan wilayahnya, dia menerapkan pelatihan militer bagi semua orang. Dia mengatur warga yang muda dan kuat untuk turut serta dalam pelatihan militer, dan mereka bekerja sebagai buruh, petani, dan pedagang pada saat normal, berkumpul untuk bertempur pada masa perang. Dia juga mendirikan gudang senjata untuk memproduksi senjata, dan membangun pertahanan yang kuat.[11] Ketika Lanfang diambil alih Belanda pada 1884, "Sistem umum besar" yang dibuat oleh Luo Fangbo telah memilih 12 gubernur selama lebih dari 108 tahun keberadaannya di Kalimantan.[23]
Mengusir buaya dan masa jabatan politik
suntingTidak lama setelah pendirian Republik Lanfang, krisis seekor buaya terjadi di negerinya. Kelompok buaya berpindah ke perairan domestik Lanfang, dengan aktivitas yang merajalela, dan dari waktu ke waktu, mereka naik ke pantai untuk melahap manusia dan hewan, yang membuat masyarakat sangat khawatir dan terganggu, serta sangat membahayakan keselamatan jiwa dan harta benda masyarakat. Setelah menerima kabar ini, Luo Fangbo dengan cepat berkunjung ke wilayah terdampak dan berhasil memimpin warga untuk mengusir buaya. Pada waktu itu, Luo Fangbo merancang untuk secara diam-diam membawa orang untuk meracuni dan menyergap busur dan anak panah di tempat berkumpulnya buaya di satu sisi, dan di sisi lain, dia juga mengikuti metode pengorbanan buaya Han Yu di Chaozhou , menyiapkan meja kurban, membaca teks kurban, dan memerintahkan buaya untuk "segera meninggalkan negara itu." Dikatakan bahwa "permasalahan buaya" lokal berhasil dihilangkan dalam waktu yang tidak lama. Penduduk pribumi dan keturunan Tionghoa mengagumi pengusiran buaya Luo Fangbo dan menganggapnya sebagai orang yang luar biasa dengan kemampuan sihir.[24][5][22] Kemudian Luo Fangbo menduduki daerah penghasil emas puluhan mil di utara dan selatan, berpusat di Mando, dan mengangkat dirinya sebagai kepala tertinggi Kantor Umum Mando, badan pemerintahan daerah tersebut, sehingga membentuk komunitas Tionghoa yang berpemerintahan sendiri secara internal. Dia menerapkan undang-undang dan peraturan yang independen di wilayah tersebut, memungut pajak sendiri, menempatkan pasukan di tangan rakyat, dan dengan penuh semangat mendukung pengembangan pertambangan, pertanian, transportasi, kebudayaan dan pendidikan. Dibawah pemerintahan Luo Fangbo, wilayah Mandor melakukan praktek otonomi tingkat tinggi dan mendirikan wilayh politik republik semi-merdeka.[11][24] Dia mencoba menjadi wilayah pengikut bagi Dinasti Qing dan mengirim perwakilan bertemu dengan Kaisar Qianlong, meminta untuk menjadi sebuah wilayah pengikut, dengan harapan untuk menggabungkan wilayah Borneo Barat dengan wilayah Qing atau merubahnya menjadi wilayah pengikut. Luo Fangbo sangat kecewa karena Kaisar Qianlong tidak tertarik terhadap "orang-orang terlantar dari Kekaisaran Surgawi" dan tidak mengakui negara yang didirikan oleh warga Tiongkok di Asia Tenggara.[9] Namun, hal ini mencegah Belanda untuk menyerbu Lanfang selama 108 tahun, karena mereka percaya bahwa Lanfang merupakan sebuah negara bagian dari Dinasti Qing.[10]
Tahun-tahun terakhir
suntingPada 8 Juni 1793, The Times, diterbitkan di London, melaporkan di halaman pertama mengenai "Perusahaan Lanfang", menyatakan: "Kontribusi luar biasa dari Lafontaine, kepala Republic dari Grand Master Lanfang, yaitu, Lofangbo, berada dalam hubungan organik dengan Sultan Kalimantan, koordinasi berbagai kelompok etnis, dan penerapan sistem primitif institusi republik. Ekonomi juga berkembang dalam skala besar. Meskipun kekuasaan negara dibelakang negara barat, signifikansinya tidak kalah dengan tahun 1787. Signifikansinya tidak kalah pentingnya dengan arah demokrasi dan republik Amerika Serikat, di mana Washington terpilih sebagai Presiden pertama pada tahun 1787 dan Persatuan tersebut terwujud...."[13] Untuk kali terakhir, Luo Fangbo kembali ke kota kelahirannya di Sishan untuk mengunjungi kerabatnya. Dia membawa kembali satu tas perhiasan emas dan membagikannya kepada warga desa. Dia juga mengajak salah satu teman dekatnya, Xie Qinggao untuk menyaksikan niat baiknya di Borneo,[5] yang kemudian menulis buku mengenai perjalanannya.[4][25] 19 tahun setelah pendirian "Sistem umum Lan Fang Da" dan tahun kedua setelah Luo Fangbo meredakan kerusuhan di Xingang dan bekerja untuk tujuannya hampir selama 20 tahun, meninggal dunia pada usia 58 tahun karena sakit di 1795. Sebelum meninggal terdapat cerita bahwa pada 1794, Luo Fangbo pernah mengutus seorang pria bernama Huang Anba dari Zhenping, Guangdong, untuk membeli makanan dengan perhiasan emas dan perak yang disumbangkan oleh istri Luo Fangbo. Huang Anba kemudian lari membawa uang tersebut. Luo Fangbo bersumpah bahwa: "Mulai saat ini, posisi "tetua" di Lan Fang hanya dapat diteruskan oleh sesorang dari Prefektur Jiaying, dan wakilnya akan diambil dari seseorang dari Dapu. Posisi kepala, 'saudara ekor', dan 'nyonya tua' di tempat lainnya tidak dibatasi pada wilayah tersebut."[5] Di ranjang kematiannya, dia memberi tahu pengikutnya. Dia meninggalkan wasiatnya: “Pilihlah orang-orang bijaksana dan tunjuklah mereka."[6] Dia pun berkata, “Aku sudah merantau ke luar negeri dan mendapatkan apa yang ku miliki saat ini, yaitu anugerah dari semua saudara, aku tidak berani egois dengan tanah tersebut. Sebagai sesepuh tamu, aku hanya akan menjaga tanah dan menunggu orang bijak. ," jadi dia merekomendasikan Jiang Wubo (江戊伯), yang memiliki prestasi luar biasa dan keterampilan seni bela diri yang luar biasa, untuk menggantikannya.[26][27]
Karya pilihan
suntingLuo Fangbo adalah penulis ekphrasis Tiongkok pertama di Indonesia, dan karya utamanya termasuk "Syair untuk Gunung Emas" (金山赋), "Menghilangkan Penderitaan" (遣怀), dan "Tulisan Buaya" (鳄鱼文).[28] Dia juga menulis puisi dan cerita selama kekuasaannya seperti "Tiga Tahun Menekan Kaum Barbar dan Bandit" (平蛮荡寇经三载) dan "Persembahan Kurban kepada Dewa untuk Mengusir Buaya" (祭诸神驱鳄文).[5]
Warisan
suntingHai Lu (Catatan Laut), ditulis pada 1820, disusun oleh Xie Qinggao, seorang pengelana dan navigator dari Dinasti Qing, dikenal sebagai "Marco Polo" Tiongkok. Pada artikel "Kun Dian Guo" bab "Hai Lu", dikatakan bahwa Luo Fang Bo adalah seorang pria "ksatria yang hebat dan pandai bertarung."[4] Xie secara pribadi telah mengunjungi tempatnya, namun beberapa sejarawan percaya bahwa artikel ini buka but some scholars believe that the article is not memoar Xie sendiri, tetapi mungkin merupakan kumpulan informasi yang dikutip oleh penulis dari surat kabar atau rekaman percakapan orang lain.[25]
Pada 1905, politisi Tiongkok Liang Qichao menerbitkan "Chinese Colonial Eight Great Men Biography" pada edisi ke-63 dari "Xinmin Congbao." Luo Fangbo masuk dalam daftar sebagai salah satu dari delapan pria terbaik dari sejarah kolonial Tiongkok luar negeri. Pada masa krisis ketika Tiongkok diinvasi dan tekanan dari kekuatan Barat, publikasi ini mempromosikan sejarah Tiongkok dan dan merayakan peristiwa sejarah besar dan pahlawan. Tujuannya adalah untuk memperkuat semangat bangsa dan menginspirasi warga untuk mempromosikan tradisi baik dari merintis dan giat untuk merevitalisasi negara. Sejak itu, Luo Fangbo dan Republik Lanfang mulai dikenal oleh masyarakat umum di Tiongkok dan dipercayai dikenal luas oleh masyarakat Tiongkok sejak itu.[29]
Beberapa sejarawan menulis buku untuk memperingati pencapaian dari Luo Fangbo dalam mendirikan Republik Lanfang. Sejak sejarawan Hakka terkenal Luo Xianglin menulis buku berjudul "Republik Kalimantan Barat yang dibangun oleh Luo Fangbo", di mana ia meneliti kehidupan Luo Fangbo dan naik turunnya Republik Lanfang, dan dengan antusias memuji pemerintahan mandiri Tiongkok yang pernah ada ini sebagai "Republik dengan Kedaulatan Penuh". Dia menulis: "Mereka yang berbicara tentang demokrasi dan republikanisme akhir-akhir ini mengatakan bahwa sistem ini berasal dari Amerika Serikat, dan baru-baru ini dipraktikkan di Prancis, tanpa mengetahui bahwa nenek moyang mereka juga melakukan hal yang sama."[30][6] Serta penulis-penulis luar negeri yang kembali Zhang Yonghe, Zhang Kaiyuan dari Provinsi Fujian bagian barat menulis biografi Luo Fangbo sepanjang buku baru. Karya-karya ini membawa kembali sejarah Republik Lanfang kepada masyarakat. Pada 2004, sekitar seratus cendekiawan Indonesia, sejarawan dan selebiritis lokal membentuk sebuah scholars and local celebrities formed tim propaganda khusus melakukan perjalanan ribuan mil untuk memperingati sejarah Republik Lanfang.[31] Selain reputasinya yang tinggi di Kalimantan, pengaruh Luo Fangbo di Asia Tenggara juga sangat luas. Di Asia Tenggara, dikatakan bahwa banyak pemimpin keturunan Tiongkok di luar negeri dan politisi lokal mengagumi Luo Fangbo dengan sangat hormat. Seperti pendiri Singapura Lee Kuan Yew, yang secara rutin membandingkan dirinya dengan Luo Fangbo,[13] dan diperkirakan merupakan keturunan dari Langfang Hakkas.[32][17] Mantan Presiden Indonesia, Abdulrahman Wahid, pernah berkomentar tentang Luo Fangbo, membandingkan dia dan George Washington. Menyatakan bahwa "Di 1787, Washington dipilih sebagai Presiden pertama dari Amerika Serikat, mewujudkan federasi dan membangun sistem republik. Namun, pemimpin wilayah Hakka kami, Law Fong Poh, mendirikan sistem republik pada 'Sistem Umum Besar Lan Fong' pada 1776 di Borneo Timur (saat ini Kalimantan Barat), pulau terbesar ketiga di dunia, 10 tahun sebelum Amerika Serikat. Dalam hal kontribusi sejarahnya, Lo Fang Pak tidak kalah dengan Washington. Lo Fang Pak adalah salah satu tokoh besar dunia selain Washington."[13][11]
Di Pontianak, Indonesia, terdapat sebuah institusi peringatan bernama "Lan Fang Public School." Sebagai tambahan, terdapat pula balai peringatan dan pemakaman yang ditujukan baginya di Pontianak, bersama dengan beberapa kuil wihara. Pada tempat peringatan ini, sebuah bait yang umum ditunjukkan di kuil dengan menuliskan, "Ratusan pertempuran untuk menduduki sungai dan gunung, untuk menjungkirbalikkan bumi dan langit, dapat dibayangkan semangatnya pada masa itu; tiga bab mematuhi hukum, klasik dan militer, mahkota dan tata krama negara lama masih dipertahankan." Batu nisan di pemakaman mencatat pencapaiannya yang luar biasa. Setiap tahun pada hari semebilan di bulan kedua kalender bulan, ulang tahun Luo Fangbo, masyarakat berkumpul di makamnya untuk upacara persembahan. Komunitas lokal The local community menjunjung tinggi Luo Fangbo, memperingati dirinya di banyak kuil, kebanyakan di wilayah Pontianak untuk menghormatinya. Pada hari kelahirannya dan peringatan hari kematiannya (hari kedua dari bulan kesembilan kalender bulan), warga lokal rutin mengunjungi kuil untuk memberi penghormatan baginya.[9] Yang paling terkenal adalah Klenteng Lo Fang Pak, yang berlokasi di Sungai Purun Besar, Kecamatan Sungai Pinyuh, Mempawah, Pontianak. Struktur aslinya bertahan selama 107 tahun sebelum dihancurkan oleh Belanda saat mereka mengambil alih Pontianak.[33] Residen Cornelis Kater menodai dewa Lanfang dengan menghilangkan patung dewa pelindung kongsi Guan Di dan tablet Luo Fangbo dari markas kongsi. Infuriated, pengikut Luo Fangbo, etnis Tionghoa, dan beberapa sekutu Dayak memimpin pemberontakan besar-besaran atas nama Perang Kongsi Ketiga yang berakhir pada September 1885.[12] Pada beberapa waktu Klenteng dibangun kembali oleh pengikutnya dan kemudian terus digunakan lebih dari 281 tahun di Desa Sungai Purun Kecil.[34]
Pada 19 December 2015, hall peringatan di bekas kediaman Luo Fangbo dibuka di kota kelahirannya di Distrik Meixian, Meizhou, Provinsi Guangdong, memiliki lima ruangan eksibisi, yang memperkenalkan kehidupan Luo Fangbo dan sejarah dari Republik Lanfang dengan menggabungkan grafis dan teks.[35]
Pada 24 Maret 2018, upacara potong pita untuk memperingati perayaan ke-280 kelahiran Luo Fangbo dan pembukaan Taman Lanfang diadakan di Mandor (Dongwanlu), Kabupaten Landak, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia. Dalam rangka memperingati Republik Lan Fang, sebuah rezim independen Tiongkok yang didirikan oleh Luo Fang Bo di Wanlue Timur pada tahun itu, penyelenggara menamai pemakaman Luo Fang Bo dengan Lan Fang Yuan.[36] Bulan November tahun yang sama, sebuah monograf Luo Fangbo dirilis.[37]
Pada 13 Maret 2020, bekas kediaman Luo Fangbo diumumkan oleh Pemerintah Rakyat Munisipal Meizhou sebagai salah satu dari tujuh kelompok yang dilindungi oleh Satuan Pelestari Relik Kebudayaan Munisipal Meizhou (nomor seri 15).[38]
Pada Februari 2022, Taman Peringatan Luo Fangbo secara resmi dibuka, dengan plakat yang menjabarkan ekploitasi Luo Fangbo di Asia Tenggara, memiliki dua fungsi yaitu untuk memperingati sejarah dan sebagai tempat rekreasi.[39]
Referensi
sunting- ^ Groot, J.J.M. (1885). 漢字:太哥。來源:蘭芳公司歷代年冊 [Het Kongsiwezen van Borneo: eene verhandeling over den grondslag en den aard der chineesche politieke vereenigingen in de koloniën]. The Hague: M. Nijhof. hlm. 54.
- ^ a b Groot, J.J.M. (1885). Het Kongsiwezen van Borneo: eene verhandeling over den grondslag en den aard der chineesche politieke vereenigingen in de koloniën. The Hague: M. Nijhof.
- ^ Koon, Wee Kek (9 October 2022). "The first Chinese democracy was quite the success. It just wasn't in China". South China Morning Post (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 15 July 2024.
- ^ a b c Rui, Deng (2017). "From the Great Harmony Thought to the Practice of Republican Concepts: A Glimpse into Luo Fangbo's Deeds". Hakka Cultural and Historical Research. Meizhou Foreign Affairs and Overseas Chinese Affairs Bureau (2).
- ^ a b c d e f g h i j "兰芳共和国编年史". Lanfang Chronicles (dalam bahasa Inggris). Singapore Art Museum: National Arts Council of Singapore. 2010-08-16. Diakses tanggal 2024-07-20.
- ^ a b c d e Xianglin, Luo (1961). A Study of the Republic Established by Luo Fangbo and Others in West Borneo. Hong Kong: China Society. ISBN 9789067785297.
- ^ "下南洋:精彩摘錄". Sin Chew Daily. 5 May 2016. Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 May 2016. Diakses tanggal 15 July 2024.
- ^ Mingyang, Li, ed. (3 September 2018). "漂洋过海去谋生 "华侨之乡"梅县的客侨故事". China Qiaowang. Voice of Overseas Chinese. Diakses tanggal 18 July 2024.
- ^ a b c d "一介落第书生如何建立亚洲第一个共和国". Haiwai Net. Diakses tanggal 15 July 2024.
- ^ a b Chi'ao, Zhao (23 February 2006). "消失的华人国家兰芳共和国 _文化星期五" [The Lost Chinese State: Lan Fang Republic]. China Internet Information Center. Diarsipkan dari versi asli tanggal 23 February 2006. Diakses tanggal 18 July 2024 – via Archive.org.
- ^ a b c d e Eng, Robert (1 October 2020). "Chinese Principalities in the Borderlands of Southeast Asia: Historical Significance and Memory of Hà Tiên, Lanfang, and Kokang". World History Connected. 17 (2).
- ^ a b Somers Heidhues, Mary F. (2003). Golddiggers, farmers, and traders in the "Chinese districts" of West Kalimantan, Indonesia. Studies on Southeast Asia. Ithaca, N.Y: Southeast Asia Program Publications, Southeast Asia Program, Cornell University. ISBN 978-0-87727-733-0. OCLC 52052835.
- ^ a b c d "消失的华人国家兰芳共和国". news.lyd.com.cn. Diakses tanggal 15 July 2024.
- ^ a b c d e Wei'an, Zhang; Rongjia, Zhang (1 June 2009). "客家人的大伯公:蘭芳公司的羅芳伯及其事業" (PDF). Hakka Studies: 57~88. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 25 July 2021.
- ^ 李, 長傅; 温, 雄飛; 姚, 枬 (1991). 南洋華僑史 . 南洋華僑通史 . 中南半島華僑史綱要 ; 馬來亞華僑史綱要 (dalam bahasa Tionghoa). Shanghai Bookstore Publishing House .
- ^ Hananto, Akhyari. "Lanfang. Republik Pertama di Nusantara, Akar Pendiri Singapura". www.goodnewsfromindonesia.id. Diakses tanggal 2024-07-20.
- ^ a b Ginanjar, Dhimas (29 August 2012). "Kejayaan Lan Fang, Republik Pertama di Indonesia, yang 'Berlanjut' di Singapura". Jawa Pos. Diakses tanggal 2024-07-20.
- ^ a b c d e f 高宗熹 (1992). 客家人: 東方的猶太人 (dalam bahasa Tionghoa). 武陵出版有限公司. ISBN 978-957-35-0603-4.
- ^ a b c Raditya, Iswara N. (2017-09-12). "Republik Lanfang, Republik Pertama di Nusantara". Tirto. Diakses tanggal 2024-07-18.
- ^ Umberan, Musni (1995). Sejarah kebudayaan Kalimantan. Departeman [i.e. Departemen] Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
- ^ a b Elly (2011-02-21). "Republik Pertama di Nusantara - Republik Lan Fang". Indonesia Media Online (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-07-20.
- ^ a b c Hananto, Akhyari. "Lanfang. Republik Pertama di Nusantara, Akar Pendiri Singapura". www.goodnewsfromindonesia.id. Diakses tanggal 2024-07-20.
- ^ a b "罗芳伯:开埠异域". www.meizhou.gov.cn. Diakses tanggal 15 July 2024.
- ^ a b "People's Biographies I. Luo Fangbo". Guangdong Provincial Records. Guangdong Provincial People's Government Local Chronicles Office. hlm. 101‒102.
- ^ a b Zhou, Yunshui; Lin, Feng (2018). Xi Poluozhou Hua ren gong si shi liao ji lu. Kejia xue yan jiu cong shu. Di 3 ji = Hakka studies (edisi ke-Di 1 ban). Guangzhou: Ji nan da xue chu ban she. hlm. 6‒9. ISBN 978-7-5668-2152-2. OCLC 1045423685.
- ^ "Chapter 1 Character Biographies - Section 1 Ancient Characters". Meizhou City Annals (dalam bahasa Tionghoa). 2. Guangdong Provincial Information Network. 2 December 2023. hlm. 1863–1864.
- ^ "Characters - Biographies - I. Ancient times". Records of Meixian County (dalam bahasa Tionghoa). Guangdong Provincial Information Network. hlm. 1103.
- ^ "印度尼西亚骈文举隅". Guang Ming Daily. Diakses tanggal 15 July 2024.
- ^ Liang, Qichao (1989). Yin bing shi he ji (edisi ke-Di 1 ban). Beijing: Zhonghua shu ju : Xin hua shu dian Beijing fa xing suo fa xing. ISBN 978-7-101-00475-5.
- ^ Yuzhen, Tang (ed.). "张林:他信的"星盘"". Ifeng. Diakses tanggal 15 July 2024.
- ^ ""罗芳伯之旅"别开生面(侨史拾贝)". Sina News. People's Daily. Diakses tanggal 15 July 2024.
- ^ Iman, Kyle (11 March 2020). "In 1777, a Chinese gang in Borneo created the first democratic republic in S.E. Asia". Cilisos (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 15 July 2024.
- ^ Ginanjar, Dhimas (16 August 2012). "Menelusuri Sisa-Sisa Kejayaan Lan Fang, 'Republik' Pertama di Indonesia". Jawa Pos. Diakses tanggal 18 July 2024.
- ^ Utami, Maudy (3 February 2019). "Usia 281 Tahun, Kelenteng Lo Fang Pak Sungai Purun Kecil Ramai Pengunjung". Tribunpontianak.co.id. Diakses tanggal 18 July 2024.
- ^ "罗芳伯故居纪念馆落成". www.meizhou.gov.cn. Diakses tanggal 16 July 2024.
- ^ "罗芳伯墓园开园". Meizhou Daily.
- ^ "丘峰赠书 罗芳伯后人". www.meizhou.gov.cn. Diakses tanggal 16 July 2024.
- ^ "Meizhou Municipal People's Government announces the seventh batch of Meizhou". www.meizhou.gov.cn. Diakses tanggal 16 July 2024.
- ^ "春日参观梅县石扇罗芳伯纪念公园- 梅州日报数字报". Meizhou Daily. Diakses tanggal 16 July 2024.