Lingko adalah lahan komunal dari sistem pengelolaan sawah yang berbentuk sarang laba-laba pada usaha pertanian pada masyarakat Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Bagian tengah sawah ini menjadi titik nol dari tanah ulayat yang dibagi-bagi. Pengelolaan lahan pertanian milik bersama khas Manggarai ini sudah berlangsung selama berabad-abad. Pembagian ini dilakukan untuk menjamin hak dasar semua warga di wilayah setempat untuk mendapatkan lahan pertanian.[1]

Lingko, lahan komunal di Nusa Tenggara Timur

Lingko dimiliki bersama oleh beberapa klan kumpulan beberapa klan (wa’u) pada satu golo. Istilah golo yang secara harafiah berarti bukit, merujuk pada sebuah permukiman tradisional. Meskipun demikian, golo sebagai pemukiman tidak harus di puncak bukit, bisa juga di kaki bukit, tergantung jauh-dekatnya mata air.[2] Dari sinilah kemudian muncul istilah[3]

  • cicing (kaki bukit/batas luar kebun)
  • langang (garis jari-jari/batas antara kebun)
  • lodok (pusat lingkaran/pusat kebun)

Lihat juga

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Editor (2022-03-19). "Lodok, Warisan Budaya Agraris Masyarakat Manggarai". 1001 Indonesia (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-09-29. 
  2. ^ Floresa, Tim (2015-01-23). "Mengenal "Lodok" dan "Odok" dalam Sistem Pembagian Kebun Orang Manggarai". Floresa. Diakses tanggal 2024-09-29. 
  3. ^ "Lingko: Gambaran Kekayaan Tradisi Leluhur dan Adat Istiadat di Flores". RRI. 2024-02-27. Diakses tanggal 2024-09-29.