Penyakit Hansen

(Dialihkan dari Lepra)

Penyakit Hansen atau Morbus Hansen yang dahulu dikenal sebagai penyakit kusta atau lepra adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang sebelumnya, diketahui hanya disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae,[1] hingga ditemukan bakteri Mycobacterium lepromatosis oleh Universitas Texas pada tahun 2008,[2] yang menyebabkan endemik sejenis kusta di Meksiko dan Karibia, yang dikenal lebih khusus dengan sebutan diffuse lepromatous leprosy.[3] Sedangkan bakteri Mycobacterium leprae ditemukan oleh seorang ilmuwan Norwegia bernama Gerhard Henrik Armauer Hansen pada tahun 1873 sebagai patogen yang menyebabkan penyakit yang telah lama dikenal sebagai lepra. Saat ini penyakit lepra lebih disebut sebagai penyakit Hansen, bukan hanya untuk menghargai jerih payah penemunya, melainkan juga karena kata leprosy dan leper mempunyai konotasi yang begitu negatif, sehingga penamaan yang netral lebih diterapkan untuk mengurangi stigma sosial yang tak seharusnya diderita oleh pasien kusta.[4]

Penyakit Hansen
Seorang pria berusia 24 tahun yang menderita kusta.
Informasi umum
SpesialisasiPenyakit menular Sunting ini di Wikidata

Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas; dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar.[5] Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah, seperti pada penyakit tzaraath.

Sejarah

sunting

Konon, kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM, dan telah dikenal oleh peradaban Tiongkok kuno, Mesir Kuno, dan India.[6] Pada tahun 1995, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan terdapat dua hingga tiga juta jiwa yang cacat permanen karena kusta.[7] Walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat dirasakan kurang perlu dan tidak etis, beberapa kelompok penderita masih dapat ditemukan di berbagai belahan dunia, seperti India dan Vietnam.

Pengobatan yang efektif terhadap penyakit kusta ditemukan pada akir 1940-an dengan diperkenalkannya promin, yang disusul dengan pengenalan dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga, bakteri penyebab lepra secara bertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar. Hal ini terjadi hingga ditemukannya pengobatan multiobat pada awal 1980-an dan penyakit ini pun mampu ditangani kembali.

Ciri-ciri

sunting
 
Lesi kulit pada paha.

Manifestasi klinis dari kusta sangat beragam, namun terutama mengenai kulit, saraf, dan membran mukosa.[8] Pasien dengan penyakit ini dapat dikelompokkan lagi menjadi kusta tuberkuloid (Inggris: paucibacillary), kusta lepromatosa (penyakit Hansen multibasiler), atau kusta multibasiler (borderline leprosy).

Kusta multibasiler, dengan tingkat keparahan yang sedang, adalah tipe yang sering ditemukan. Terdapat lesi kulit yang menyerupai kusta tuberkuloid namun jumlahnya lebih banyak dan tak beraturan; bagian yang besar dapat mengganggu seluruh tungkai, dan gangguan saraf tepi dengan kelemahan dan kehilangan rasa rangsang. Tipe ini tidak stabil dan dapat menjadi seperti kusta lepromatosa atau kusta tuberkuloid.

Kusta tuberkuloid ditandai dengan satu atau lebih hipopigmentasi makula kulit dan bagian yang tidak berasa (anestetik).

Kusta lepormatosa dihubungkan dengan lesi, nodul, plak kulit simetris, dermis kulit yang menipis, dan perkembangan pada mukosa hidung yang menyebabkan penyumbatan hidung (kongesti nasal) dan epistaksis (hidung berdarah) namun pendeteksian terhadap kerusakan saraf sering kali terlambat.

Tidak sejalan dengan mitos atau kepercayaan yang ada, penyakit ini tidak menyebabkan pembusukan bagian tubuh. Menurut penelitian yang lama oleh Paul Brand, disebutkan bahwa ketidakberdayaan merasakan rangsang pada anggota gerak sering menyebabkan luka atau lesi. Kini, kusta juga dapat menyebabkan masalah pada penderita AIDS.[9]

Penyebab

sunting
 
Mycobacterium leprae.
 
Paket terapi multiobat.

Mycobacterium leprae adalah penyebab dari kusta.[5] Sebuah bakteri yang tahan asam M. leprae juga merupakan bakteri aerobik, gram positif, berbentuk batang, dan dikelilingi oleh membran sel lilin yang merupakan ciri dari spesies Mycobacterium.[10] M. leprae belum dapat dikultur pada laboratorium.[11]

Patofisiologi

sunting

Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara.[12] Selain manusia, hewan yang dapat tekena kusta adalah armadilo, simpanse, dan monyet pemakan kepiting.[13] Terdapat bukti bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita kusta, dan diduga faktor genetika juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok penyakit kusta di keluarga tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta yang berbeda pada setiap individu.[14] Faktor ketidakcukupan gizi juga diduga merupakan faktor penyebab.

Penyakit ini sering dipercaya bahwa penularannya disebabkan oleh kontak antara orang yang terinfeksi dan orang yang sehat.[15] Dalam penelitian terhadap insidensi, tingkat infeksi untuk kontak lepra lepromatosa beragam dari 6,2 per 1000 per tahun di Cebu, Philipina[16] hingga 55,8 per 1000 per tahun di India Selatan.[17]

Dua pintu keluar dari M. leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus lepromatosa menunjukkan adanya sejumlah organisme di dermis kulit. Bagaimanapun masih belum dapat dibuktikan bahwa organisme tersebut dapat berpindah ke permukaan kulit. Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukanya bakteri tahan asam di epitel deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan bahwa mereka tidak menemukan bakteri tahan asam di epidermis.[18] Dalam penelitian terbaru, Job et al menemukan adanya sejumlah M. leprae yang besar di lapisan keratin superfisial kulit di penderita kusta lepromatosa. Hal ini membentuk sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar keringat.[19]

Pentingnya mukosa hidung telah dikemukakan oleh Schäffer pada 1898.[20] Jumlah dari bakteri dari lesi mukosa hidung di kusta lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000 hingga 10.000.000 bakteri.[21] Pedley melaporkan bahwa sebagian besar pasien lepromatosa memperlihatkan adanya bakteri di sekret hidung mereka.[22] Davey dan Rees mengindikasi bahwa sekret hidung dari pasien lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per hari.[23]

Pintu masuk dari M. leprae ke tubuh manusia masih menjadi tanda tanya. Saat ini diperkirakan bahwa kulit dan saluran pernapasan atas menjadi gerbang dari masuknya bakteri. Rees dan McDougall telah sukses mencoba penularan kusta melalui aerosol di mencit yang ditekan sistem imunnya.[24] Laporan yang berhasil juga dikemukakan dengan pencobaan pada mencit dengan pemaparan bakteri di lubang pernapasan.[25] Banyak ilmuwan yang mempercayai bahwa saluran pernapasan adalah rute yang paling dimungkinkan menjadi gerbang masuknya bakteri, walaupun demikian pendapat mengenai kulit belum dapat disingkirkan.

Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti berusaha mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda.[26] Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Hal ini dilaporan berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah endemik dan kemudian berpindah ke daerah non-endemik. Secara umum, telah disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.

Pengobatan

sunting

Sampai pengembangan dapson, rifampin, dan klofazimin pada 1940an, tidak ada pengobatan yang efektif untuk kusta. Namun, dapson hanyalah obat bakterisidal (pembasmi bakteri) yang lemah terhadap M. leprae. Penggunaan tunggal dapson menyebabkan populasi bakteri menjadi kebal. Pada 1960an, dapson tidak digunakan lagi.

Pencarian terhadap obat anti kusta yang lebih baik dari dapson, akhirnya menemukan klofazimin dan rifampisin pada 1960an dan 1970an.[27]

 
Obat terapi multiobat kusta.

Kemudian, Shantaram Yawalkar dan rekannya merumuskan terapi kombinasi dengan rifampisin dan dapson, untuk mengakali kekebalan bakteri.[28] Terapi multiobat dan kombinasi tiga obat di atas pertama kali direkomendasi oleh Panitia Ahli WHO pada 1981. Cara ini menjadi standar pengobatan multiobat. Tiga obat ini tidak digunakan sebagai obat tunggal untuk mencegah kekebalan atau resistensi bakteri.

Terapi di atas lumayan mahal, maka dari itu cukup sulit untuk masuk ke negara yang endemik. Pada 1985, kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di 122 negara. Pada Pertemuan Kesehatan Dunia (WHA) ke-44 di Jenewa, 1991, menelurkan sebuah resolusi untuk menghapus kusta sebagai masalah kesehatan masyarakat pada tahun 2000, dan berusaha untuk ditekan menjadi 1 kasus per 100.000. WHO diberikan mandat untuk mengembangkan strategi penghapusan kusta.

Kelompok Kerja WHO melaporkan Kemoterapi Kusta pada 1993 dan merekomendasikan dua tipe terapi multiobat standar.[29] Yang pertama adalah pengobatan selama 24 bulan untuk kusta lepromatosa dengan rifampisin, klofazimin, dan dapson. Yang kedua adalah pengobatan 6 bulan untuk kusta tuberkuloid dengan rifampisin dan dapson.

Sejak 1995, WHO memberikan paket obat terapi kusta secara gratis pada negara endemik, melalui Kementrian Kesehatan. Strategi ini akan bejalan hingga akhir 2010.

Pengobatan multiobat masih efektif dan pasien tidak lagi terinfeksi pada pemakaian bulan pertama.[6] Cara ini aman dan mudah. jangka waktu pemakaian telah tercantum pada kemasan obat.[6]

Komplikasi

sunting

Ragam komplikasi kusta yang bisa terjadi:

  1. Kelumpuhan tangan dan kaki akibat kerusakan saraf Bahkan dalam beberapa kasus, pasien dapat mengalami cedera tanpa tanda-tanda tertentu sebelum akhirnya kehilangan jari tangan atau jari kaki.
  2. Perubahan bentuk wajah. Contohnya benjolan dan pembengkakan permanen Tidak hanya wajah, bagian membran mukosa hidung atau lapisan dalam hidung juga berpotensi mengalami kerusakan yang menyebabkan mimisan parah.
  3. Radang iris mata yang dapat memicu glaukoma Selain itu, kusta juga dapat mempengaruhi kondisi kornea mata dan membuatnya tidak peka. Hal ini menyebabkan terbentuknya jaringan parut yang berujung pada kebutaan
  4. Gagal ginjal
  5. Disfungsi ereksi dan infertilitas khususnya bagi pria[30]

Epidemiologi

sunting
 
Distribusi penyakit kusta dunia pada 2003.

Di seluruh dunia, dua hingga tiga juta orang diperkirakan menderita kusta.[7] India adalah negara dengan jumlah penderita terbesar, diikuti oleh Brasil dan Myanmar. Tetapi untuk kasus kusta baru, Indonesia menduduki posisi nomor-3 dengan 16.825 kasus dan angka kecacatan 6,82 orang per sejuta penduduk. Kasus kusta baru tertinggi terdapat di India dengan 134.752 kasus, kemudian diikuti oleh Brazil dengan 33.303 kasus.[31]

Pada 1999, insidensi penyakit kusta di dunia diperkirakan 640.000, pada 2000, 738.284 kasus ditemukan. Pada 1999, 108 kasus terjadi di Amerika Serikat. Pada 2000, WHO membuat daftar 91 negara yang endemik kusta. 70% kasus dunia terdapat di India, Myanmar, dan Nepal. Pada 2002, 763.917 kasus ditemukan di seluruh dunia, dan menurut WHO pada tahun itu, 90% kasus kusta dunia terdapat di Brasil, Madagaskar, Mozambik, Tanzania dan Nepal.

Kelompok berisiko

sunting

Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat menekan sistem imun. Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita.

Situasi global

sunting
Tabel 1: Prevalensi pada awal 2006, dan tren penemuan kasus baru pada 2001-2005, tidak termasuk di Eropa
Daerah Prevalensi terdaftar

(rate/10,000 pop.)

Kasus baru yang ditemukan pada tahun
Awal 2006 2001 2002 2003 2004 2005
Afrika 40.830 (0.56) 39.612 48.248 47.006 46.918 42.814
Amerika 32.904 (0.39) 42.830 39.939 52.435 52.662 41.780
Asia Tenggara 133.422 (0.81) 668.658 520.632 405.147 298.603 201.635
Mediterania Timur 4.024 (0.09) 4.758 4.665 3.940 3.392 3.133
Pasifik Barat 8.646 (0.05) 7.404 7.154 6.190 6.216 7.137
Total 219.826 763.262 620.638 514.718 407.791 296.499
Tabel 2: Prevalensi dan Penemuan
Negara Prevalensi terdaftar

(rate/10,000 pop.)

Penemuan kasus baru

(rate/100,000 pop.)

Awal 2004 Awal 2005 Awal 2006 Selama 2003 Selama 2004 Selama 2005
  Brasil 79.908 (4.6) 30.693 (1.7) 27.313 (1.5) 49.206 (28.6) 49.384 (26.9) 38.410 (20.6)
  Republik Demokratik Kongo 6.891 (1.3) 10.530 (1.9) 9.785 (1.7) 7.165 (13.5) 11.781 (21.1) 10.737 (18.7)
  Madagaskar 5.514 (3.4) 4.610 (2.5) 2.094 (1.1) 5.104 (31.1) 3.710 (20.5) 2.709 (14.6)
  Mozambik 6.810 (3.4) 4.692 (2.4) 4.889 (2.5) 5.907 (29.4) 4.266 (22.0) 5.371 (27.1)
    Nepal 7.549 (3.1) 4.699 (1.8) 4.921 (1.8) 8.046 (32.9) 6.958 (26.2) 6.150 (22.7)
  Tanzania 5.420 (1.6) 4.777 (1.3) 4.190 (1.1) 5.279 (15.4) 5.190 (13.8) 4.237 (11.1)
Total 112.092 60.001 53.192 80.707 81.289 67.614

Sebagaimana yang dlaporkan oleh WHO pada 115 negara dan teritori pada 2006 dan diterbitkan di Weekly Epidemiological Record, prevalensi terdaftar kusta pada awal tahun 2006 adalah 219.826 kasus.[32] Penemuan kasus baru pada tahun sebelumnya adalah 296.499 kasus. Alasan jumlah penemuan tahunan lebih tinggi dari prevalensi akhir tahun dijelaskan dengan adanya fakta bahwa proporsi kasus baru yang terapinya selesai pada tahun yang sama sehingga tidak lagi dimasukkan ke prevalensi terdaftar. Penemuan secara globa terhadap kasus baru menunjukkan penurunan.

Tabel 1 menunjukkan penemuan kasus secara global menurun sejak 2001. Tabel 2 menunjukkan situasi kusta pada enam negara utama.

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Sasaki S, Takeshita F, Okuda K, Ishii N (2001). "Mycobacterium leprae and leprosy: a compendium". Microbiol Immunol. 45 (11): 729–36. PMID 11791665. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-01-13. Diakses tanggal 2007-11-03. 
  2. ^ (Inggris) "A new Mycobacterium species causing diffuse lepromatous leprosy". Department of Laboratory Medicine, The University of Texas MD Anderson Cancer Center; Han XY, Seo YH, Sizer KC, Schoberle T, May GS, Spencer JS, Li W, Nair RG. Diakses tanggal 2010-12-13. 
  3. ^ (Inggris) "Comparative Sequence Analysis of Mycobacterium leprae and the New Leprosy-Causing Mycobacterium lepromatosis". Department of Laboratory Medicine, DNA Analysis Core Facility, School of Health Sciences, The University of Texas M. D. Anderson Cancer Center, Institut Pasteur, Unité de Biologie des Bactéries Intracellulaires, Institut Cavanilles de Biodiversitat i Biologia Evolutiva, Universitat de València, CIBER en Epidemiología y Salud Pública (CIBERESP); Xiang Y. Han, Kurt C. Sizer, Erika J. Thompson, Juma Kabanja, Jun Li, Peter Hu, Laura Gómez-Valero, dan Francisco J. Silva. Diakses tanggal 2010-12-13. 
  4. ^ (Inggris) "Hansen's Disease" (PDF). Department of Medicine, University of California; ROBERT H. GELBER, MD. Diakses tanggal 2010-12-13. 
  5. ^ a b Ryan KJ, Ray CG (editors) (2004). Sherris Medical Microbiology (edisi ke-4th ed.). McGraw Hill. hlm. 451-3. ISBN 0838585299. 
  6. ^ a b c "Leprosy". WHO. Diakses tanggal 2007-08-22. 
  7. ^ a b WHO (1995). "Leprosy disabilities: magnitude of the problem". Weekly Epidemiological Record. 70 (38): 269–75. PMID 7577430. 
  8. ^ Naafs B, Silva E, Vilani-Moreno F, Marcos E, Nogueira M, Opromolla D (2001). "Factors influencing the development of leprosy: an overview". Int J Lepr Other Mycobact Dis. 69 (1): 26–33. PMID 11480313. 
  9. ^ McNeil Jr DG (2006-10-24). "Worrisome New Link: AIDS Drugs and Leprosy". New York Times. Diakses tanggal 2007-05-07. 
  10. ^ McMurray DN (1996). Mycobacteria and Nocardia. in: Baron's Medical Microbiology (Baron S et al, eds.) (edisi ke-4th ed.). Univ of Texas Medical Branch. ISBN 0-9631172-1-1. 
  11. ^ Bhattacharya S, Vijayalakshmi N, Parija SC (2002). "Uncultivable bacteria: Implications and recent trends towards identification". Indian journal of medical microbiology. 20 (4): 174–7. PMID 17657065. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-09-27. Diakses tanggal 2007-11-03. 
  12. ^ Reich CV (1987). "Leprosy: cause, transmission, and a new theory of pathogenesis". Rev. Infect. Dis. 9 (3): 590–4. PMID 3299638. 
  13. ^ Rojas-Espinosa O, Løvik M (2001). "Mycobacterium leprae and Mycobacterium lepraemurium infections in domestic and wild animals". Rev. - Off. Int. Epizoot. 20 (1): 219–51. PMID 11288514. 
  14. ^ Alcaïs A, Mira M, Casanova JL, Schurr E, Abel L (2005). "Genetic dissection of immunity in leprosy". Curr. Opin. Immunol. 17 (1): 44–8. doi:10.1016/j.coi.2004.11.006. PMID 15653309. 
  15. ^ Kaur H, Van Brakel W (2002). "Dehabilitation of leprosy-affected people--a study on leprosy-affected beggars". Leprosy review. 73 (4): 346–55. PMID 12549842. 
  16. ^ Doull JA, Guinto RA, Rodriguez RS; et al. (1942). "The incidence of leprosy in Cordova and Talisay, Cebu, Philippines". International Journal of Leprosy. 10: 107–131. 
  17. ^ Noordeen S, Neelan P (1978). "Extended studies on chemoprophylaxis against leprosy". Indian J Med Res. 67: 515–27. PMID 355134. 
  18. ^ Weddell G, Palmer E (1963). "The pathogenesis of leprosy. An experimental approach". Leprosy Review. 34: 57–61. PMID 13999438. 
  19. ^ Job C, Jayakumar J, Aschhoff M (1999). ""Large numbers" of Mycobacterium leprae are discharged from the intact skin of lepromatous patients; a preliminary report". Int J Lepr Other Mycobact Dis. 67 (2): 164–7. PMID 10472371. 
  20. ^ Arch Dermato Syphilis 1898; 44:159–174
  21. ^ Shepard C (1960). "Acid-fast bacilli in nasal excretions in leprosy, and results of inoculation of mice". Am J Hyg. 71: 147–57. PMID 14445823. 
  22. ^ Pedley J (1973). "The nasal mucus in leprosy". Lepr Rev. 44 (1): 33–5. PMID 4584261. 
  23. ^ Davey T, Rees R (1974). "The nasal dicharge in leprosy: clinical and bacteriological aspects". Lepr Rev. 45 (2): 121–34. PMID 4608620. 
  24. ^ Rees R, McDougall A (1977). "Airborne infection with Mycobacterium leprae in mice". J Med Microbiol. 10 (1): 63–8. PMID 320339. 
  25. ^ Chehl S, Job C, Hastings R (1985). "Transmission of leprosy in nude mice". Am J Trop Med Hyg. 34 (6): 1161–6. PMID 3914846. 
  26. ^ Montestruc E, Berdonneau R (1954). "2 New cases of leprosy in infants in Martinique". Bull Soc Pathol Exot Filiales (dalam bahasa French). 47 (6): 781–3. PMID 14378912. 
  27. ^ Rees RJ, Pearson JM, Waters MF (1970). "Experimental and clinical studies on rifampicin in treatment of leprosy". Br Med J. 688 (1): 89–92. PMID 4903972. 
  28. ^ Yawalkar SJ, McDougall AC, Languillon J, Ghosh S, Hajra SK, Opromolla DV, Tonello CJ (1982). "Once-monthly rifampicin plus daily dapsone in initial treatment of lepromatous leprosy". Lancet. 8283 (1): 1199–1202. PMID 6122970. 
  29. ^ "Chemotherapy of Leprosy". WHO Technical Report Series 847. WHO. 1994. Diakses tanggal 2007-03-24. 
  30. ^ "Kenali Ragam Komplikasi Kusta". www.siloamhospitals.com. Diakses tanggal 2021-04-26. 
  31. ^ "Indonesia Peringkat Ketiga Pada Kasus Kusta Baru". 24 Januari 2015. 
  32. ^ "Global leprosy situation, 2006" (PDF). Weekly Epidemiological Record. 81 (32): 309–16. 2006. 

Bacaan lanjut

sunting
  • Clark E (1994). "Social Welfare and Mutual Aid in the Medieval Countryside". The Journal of British Studies. 33 (4): pp. 394–6. 
  • Icon Health Publications (2004). Leprosy: A Medical Dictionary, Bibliography, and Annotated Research Guide to Internet References. San Diego: Icon Health Publications. ISBN 0-597-84006-7. 
  • Rawcliffe C (2001). "Learning to Love the Leper: aspects of institutional Charity in Anglo Norman England". Anglo Norman Studies. 23: pp. 233–52. 
  • Rawcliffe C (2006). Leprosy in Medieval England. Ipswich: Boydell Press. ISBN 1843832739. 
  • Talarigo J (2004). The Pearl Diver: (fiction) young woman with leprosy is exiled to leprosy colony in Japan, 1929. Doubleday. ISBN 1-4025-8661-2. 
  • Tayman J (2006). The Colony : The Harrowing True Story of the Exiles of Molokai. Simon & Schuster. ISBN 0-7432-3300 Periksa nilai: length |isbn= (bantuan). 

Pranala luar

sunting
Sejarah kusta
Penelitian