Larung Sembonyo adalah budaya sedekah laut yang telah dilakukan secara turun-temurun oleh nenek moyang dari masyarakat lokal nelayan Prigi terwujud dalam upacara adat. Hal ini merupakan bentuk rasa syukur masyarakat nelayan Prigi akan hasil laut yang telah diperoleh. Upacara ini juga sebagai permohonan akan keselamatan masyarakat nelayan Prigi ketika mencari ikan di laut. Kebiasaan ini telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian kebudayaan masyarakat Kabupaten Trenggalek, terutama yang tinggal di pesisir pantai Prigi.

Upacara Larung Sembonyo

Upacara Larung Sembonyo ini lahir dari cerita tradisional mengenai peristiwa gaib ketika seseorang Tumenggung dan pasukannya melakukan perluasan wilayah atau babad alas pada daerah tersebut. Peristiwa tersebut menjadi asal mula adanya mitos yang berkembang oleh masyarakat pesisir pantai Prigi. Warga pesisir pantai Prigi mempercayai tradisi ini diselenggarakan dalam penanggalan Jawa ketika Senin Kliwon, bulan Selo. Ketika tradisi ini tidak lagi dilakukan maka warga sekitar akan merasakan ada sesuatu yang terasa kurang. Upacara Larung Sembonyo ini biasanya dilakukan oleh para nelayan dan petani yang bercocok tanam atau melaut di daerah Prigi. Upacara ini sebagai rasa hormat kepada leluhur yang telah membuka wilayah tersebut sebagai pemukiman. Tumenggung Yudho Negoro dan keempat saudaranya merupakan tokoh penting peristiwa pertama kali ketika membuka lahan di daerah tersebut. Warga sekitar meyakini ketika upacara adat ini tidak dilaksanakan, maka akan terjadi panen yang gagal, sulitnya menangkap ikan, wabah atau penyakit yang menyebar, bencana alam, dan berbagai kesulitan lainnya.[1]

Larung Sembonyo dipercayai berkembang dari tahun 1985 yang terlaksana secara ramai dan besar-besaran, yang sebelumnya pernah berhenti dikarenakan kondisi politik tidak mendukung. Tradisi Larung Sembonyo telah menjadi agenda rutin warga kabupaten Trenggalek yang didukung oleh pemerintah kabupaten Trenggalek untuk nguri-uri tradisi budaya ini. Upacara Larung Sembonyo disebut dengan berbagai istilah seperti sedekah laut, larung sembonyo, upacara adat sembonyo, mbucal sembonyo, atau bersih laut.[2]

Sejarah

sunting

Larung Sembonyo mulanya berawal dari kisah pernikahan Tumenggung Yudha Negara yang berasal dari Kerajaan Mataram (Jawa Tengah), ia adalah utusan kerajaan Mataram untuk melakukan perluasan lahan di sepanjang pantai pulau Jawa. Tumenggung dipercayai sebagai seseorang kesatria yang mempunyai kekuatan luar biasa dalam bertempur, dan berbakat dalam hal babad alas di wilayah arah Timur. Utusan ini disebabkan terdapat kejenuhan kerajaan Surakarta yang berekspansi keluar dan berperang, dengan adanya banyak wilayah yang belum diperluas. Perencanaan perluasan lahan dimulai dari Pacitan, Sumbreng Munjungan, Demuk Kalidawir Tulungagung dan Prigi Watulimo. Dalam perluasan lahan tersebut Tumenggung Yudha tidak sendiri, ia didampingi oleh saudara-saudaranya, yaitu Raden Pringgo Jayeng Hadilaga, Raden Yaudha, Raden Yaudhi, dan Raden Prawira Kusuma. Ketika menjalani mandat banyak rintangan yang dihadapi selama perjalanan. Ketika ditengah perjalanan akhirnya Tumenggung Yudha memberikan keputusan dengan menempatkan para saudaranya pada daerah yang mereka singgahi untuk membuka lahan baru diwilayah tersebut. Namun Tumenggung Yudha tetap melakukan perjalanan menuju wilayah Pantai Prigi untuk menyelesaikan misi dari kerajaan yang telah dimandatkan.[2]

Akhirnya Tumenggung beserta prajuritnya sampai di wilayah Prigi, yang kala itu masih gelap dan angker, karena tidak tampak adanya kehidupan di sana. Tempat itu hanya ada para kelompok makluk gaib, dan Sang Tumenggung menemui penguasa makluk gaib wilayah tersebut, agar dapat menempati wilayah yang angker itu. Sebelum itu Tumenggung melakukan meditasi dan bertapa atau bersemedi di wilayah tersebut. Pada akhirnya sang penguasa makluk gaib menyetujui sang Tumenggung untuk menempati wilayah tersebut dengan satu ketentuan yaitu menikahi putri dari penguasa makluk gaib pantai selatan yang bernama Putri Gambar Inten.[3]

Upacara pernikahan Tumenggung Yudha Negara dan Putri Gambar Inten dilaksanakan pada hari senin pasaran Kliwon bulan Selo dalam penanggalan Jawa. Tanggal tersebut yang sekarang menjadi penanggalan pelaksanaan Upacara Larung Sembonyo. Setelah Pernikahan dilaksanakan maka Tumenggung Yudha dapat membuka wilayah Prigi yang nantinya sebagai tempat mencari nafkah para nelayan yang ada disekitarnya.[3]

Sebagai rasa syukur atas hasil laut yang melimpah dan untuk memperingati hari pernikahan sang pembuka lahan Teluk Prigi maka para nelayan mengadakan upacara tradisi sedekah laut, yang oleh masyarakat sekitar dinamakan Larung Sembonyo. Kata Sembonyo ini berasal dari nama mempelai tiru-tiruan, yang dijadikan menyerupai boneka kecil dari tepung beras ketan. Adonan tepung yang telah jadi dibentuk bulat-bulat sebagai kepala, dan ada yang dibentuk sebagai badan yang menjadi seperti sepasang mempelai boneka yang sedang bersanding. Boneka ini diletakkan diatas perahu lengkap dengan perlengkapan satang, yaitu alat untuk mengemudikan perahu. Dan ada juga bentuk mempelai tiruan terbuat dari ares batang pisang yang dihiasi dengan bunga kenanga dan melati, lecari. perlengkapan upacara adat sembonyo juga terdapat seserahan atau sesaji serta perlengkapan lain layaknya upacara pernikahan tradisi jawa.[3]

Upacara adat ini tepatnya dilaksanakan di Teluk Prigi, Desa Tasik madu atau Karanggongso, Kecamatan Watulimo. Upacara adat atau upacara tradisional lainnya tempat pelaksananaannya berada didesa Tasik madu, Prigi, Margomulyo, Karanggandu, dan Karanggongso.[2]

Referensi

sunting
  1. ^ "Larung Sembonyo Pantai Prigi, Budaya Eksotis Nelayan". humassetda.trenggalekkab.go.id (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-24. Diakses tanggal 2019-03-24. 
  2. ^ a b c "Trenggalek Tourism .:. Larung Sembonyo Is One Of Trenggalek Traditional Ceremony". www.eastjava.com. Diakses tanggal 2019-03-24. 
  3. ^ a b c Suparlan. 2001. Sejarah Singkat Adanya Larung Sembonyo di Pantai Prigi, Kecamatan Watulimo, Kabupaten Daerah TK II Trenggalek.