Lariangi
Lariangi adalah seni pertunjukan yang berasal dari Kaledupa Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Seni pertunjukan ini berupa tarian tradisional. Tarian ini telah ditetapkan menjadi Warisan Budaya Nasional pada 2013 dan dinominasikan sebagai Warisan tak Benda oleh UNESCO.[1]
Asal Usul
suntingBerdasarkan etimologi, lariangi terdiri atas dua suku kata, yakni lari dan angi. Lari berarti menghias atau mengukir, sedangkan angi berarti orang-orang yang berhias. Sebagai perwujudan dari lari atau menghias adalah pakaian para penari yang terdiri atas kain, manik-manik, hiasan sanggul, logam berukir untuk gelang, kalung, dan hiasan sarung. Masing-masing perwujudan lari memiliki simbol-simbol.[2]
Simbol-simbol itu, antara lain, pada bagian kepala disebut panto dan pintoru melambangkan derajat bangsawan. Hepupu atau konde melambangkan Kerajaan Buton. Bunga konde melambangkan Pagar Beton Keraton, dan toboy atas bawah kamba melambangkan prajurit-prajurit penjaga pasar benteng keraton. Selain itu, ada juga yang namanya hebindu atau sangi-sangi yang melambangkan Fatimah (anak Nabi Muhammad SAW), kalung melambangkan matahari dan bulan, naga melambangkan penjaga benteng keraton, sekori dan gelang bersusun melambangkan derajat bangsawan, kombo tipis melambangkan gadis atau wanita yang sudah menikah, pelapis kombo berwarna jingga melambangkan sore hari, punto atau wuray nibelo dasar hitam melambangkan malam hari, dan manik-manik putih melambangkan cahaya alam.
Lariangi merupakan tradisi lisan yang sudah ada sejak abad ke-14 ketika Raja Wakaaka dinobatkan sebagai raja pertama di Kaledupa. Sumber lisan lainnya menyatakan bahwa tarian tradisional ini diperkirakan ada sejak tahun 1634 atau abad ke-17, yakni pada masa Kesultanan Buton. Pada zaman dulu, tari lariangi dimainkan di istana raja. Tarian ini memiliki fungsi sebagai media penyebaran informasi kepada masyarakat. Para penari menyampaikan informasi sekaligus bermaksud untuk memberikan nasihat ataupun sebagai media hiburan dengan gerakan tari dan lagu.
Lariangi diwariskan turun-temurun hingga kini. Gerakan menari diajarkan secara lisan dari generasi ke generasi, termasuk lagunya. Tarian ini diyakini bisa menjadi warisan dunia tak benda, mengingat banyaknya simbol-simbol bermakna di setiap detail riasan dan pakaian, juga pesan-pesan kebaikan yang terkandung dalam syair-syairnya.
Pertunjukan
suntingTarian lariangi pada saat ini sudah berubah karena harus menyesuaikan dengan zaman. Tarian ini pada mulanya adalah tari persembahan untuk menghibur raja, tapi kini para penonton diperbolehkan untuk ikut bergabung dalam tarian walaupun gerakannya asal-asalan. Tarian itu dalam pertunjukannya hampir mirip dengan tari tayub di Jawa. Para penari perempuan memberikan selendang kepada para tamu pria. Kemudian tamu pria yang telah diberi selendang wajib menari bersama dengan para perempuan ini. Mereka juga harus memberikan uang saweran kepada para penari.
Sebanyak 10 hingga 12 orang perempuan melakukan tarian yang berdurasi selama 10 menit ini. Lariangi sering dipentaskan pada saat acara adat dan hajatan. Tarian ini diiringi alat musik berupa kendang, gong, dan bonang. Gerakan tari Lariangi, sebelum dan sesudah selalu diiringi dengan perkataan le..le…, maksudnya, tari Lariangi siap ditampilkan, begitu juga sebaliknya.
Selain menari, mereka melantunkan syair-syair. Isinya mengisahkan kapal-kapal yang memasuki Pulau Kaledupa, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, pada masa lalu. para penari memainkan kipas, melirik, merendahkan tubuh, seperti pasang kuda-kuda, sambil terus melantunkan syair. Lagu pertama, ”Iya Malahu”, menceritakan satu cerita di Keraton Buton pada masa silam, tentang kapal-kapal yang masuk ke Kaledupa. Lagu kedua, ”Ritanjo”, tentang puji-pujian untuk Pulau Hoga. ”Mari kita sama-sama pelihara isi Pulau Hoga, terumbu kerangnya jangan dibom. Laut itu warisan dunia dari Barata Kaledupa,” begitu isi liriknya.[3]
Tarian didominasi oleh gerakan duduk dan melingkar dengan mengibaskan lenso atau kipas. Klimaks tarian ini berada di akhir tarian, yaitu gerakan yang dinamakan dengan nyibing. Nyibing dilakukan oleh dua orang penari lelaki. Mereka menari mengelilingi dua orang penari perempuan. Gerakan ini mengandung maksud, para lelaki, dalam kondisi apapun harus tetap melindungi para perempuan. Nyibing ini sangat ditunggu-tunggu oleh para lelaki. Lelaki akan sangat malu apabila diberi seledang tetap tidak memberikan uang saweran.
Pada zaman dulu, tarian ini dapat dipentaskan untuk raja hingga semalaman. Lagu yang dinyanyikan juga hampir mencapai 30-an. Isi syairnya bermacam-macam, ada mengenai sejarah, petuah, keindahan alam, perang, permainan, kisah cinta, dan lain-lain. Untuk menyesuaikan zaman, pentas tarian ini tidak lama, biasanya hanya dua hingga tiga lagu yang dimainkan.
Tari lariangi merupakan satu dari beberapa tarian yang diusulkan dalam MoU atau nota kesepahaman yang dapat digunakan sebagai rekomendasi untuk mematenkan seni budaya yang ada di nusantara ke UNESCO. Tarian ini merupakan bagian dari keragaman budaya dan tradisi masyarakat yang ada di Wakatobi selain, di antaranya tari eja-eja dan kuiramba dari Tomia, tari badanda dari Binongko, dan tari kenta-kenta dari Wangi-Wangi. Seni budaya tersebut merupakan bagian dari tradisi lisan yang perlu dilestarikan sebagai salah satu kekayaan daerah.[4]
Referensi
sunting- ^ https://kwriu.kemdikbud.go.id/info-budaya-indonesia/warisan-budaya-tak-benda-indonesia/
- ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-12-01. Diakses tanggal 2017-11-18.
- ^ http://travel.kompas.com/read/2015/06/20/184300127/Lariangi.dan.Kearifan.Wakatobi
- ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-12-01. Diakses tanggal 2017-11-18.