Lampu minyak tanah

jenis perlengkapan pencahayaan

Lampu minyak tanah atau lampu parafin adalah lampu yang menggunakan bahan bakar berupa minyak tanah untuk penerangan. Penggunaan lampu minyak tanah telah dimulai sejak abad ke-10 di Kordoba akibat penemuan metode penyulingan minyak tanah oleh Ar-Razi (864–925 M). Komponen utama lampu minyak tanah ialah sumbu, penampung minyak tanah dan semprong. Penerangan diperoleh melalui penyerapan minyak tanah ke sumbu yang kemudian terbakar dan menghasilkan cahaya dari api.

Ilustrasi lampu minyak tanah secara umum.

Efisiensi energi pada lampu minyak tanah tergolong rendah dengan daya guna sebesar 0,8 lumen per Watt. Sejak penemuan lampu listrik, lampu minyak tanah mulai berkurang penggunaannya. Namun lampu minyak tanah masih dimanfaatkan untuk pematangan buah jeruk dan pemanasan pada mesin tetas telur. Lampu minyak tanah juga digunakan dalam Festival Tumbilotohe oleh suku Gorontalo.

Sejarah

sunting
 
Model lampu minyak tanah yang digunakan di Kekhalifahan Kordoba pada abad ke-10 Masehi.

Manusia awalnya memperoleh penerangan dari bahan kayu bakar. Setelahnya, terjadi perkembangan teknologi penerangan yang mengurangi pemakaian energi pada alat penerangan dengan penggunaan lilin dan minyak paus. Setelah itu, lampu minyak tanah digunakan sebagai bagian dari penemuan baru dalam teknologi penerangan.[1]

Lampu minyak tanah telah digunakan sebagai alat penerangan sejak abad ke-10 Masehi. Penggunaannya diawali dengan penemuan dua metode penyulingan untuk menghasilkan minyak tanah oleh Ar-Razi (864–925 M) pada abad ke-9 Masehi. Ar-Razi awalnya menemukan metode penyulingan minyak tanah menggunakan tanah liat. Kemudian ia menemukan lagi satu metode penyulingan minyak tanah menggunakan amonium klorida. Melalui penyulingan secara berulang, dihasilkan minyak tanah yang murni dan aman untuk digunakan sebagai penerangan.[2]

Komponen

sunting
 
Api yang dihasikan oleh lampu minyak tanah dengan cahaya redup.

Lampu minyak tanah terdiri dari tiga komponen, yaitu sumbu, penampung minyak tanah dan semprong. Bagian sumbu terhubung langsung dengan minyak tanah. Sumbu terbuat dari bahan yang mampu menyerap minyak tanah dari penampungan. Fungsi sumbu sebagai penyala api melalui penyerapan minyak tanah secara perlahan. Sementara semprong merupakan bagian penutup lampu yang memiliki lubang di bagian atasnya.[3]

Cara pakai

sunting

Cahaya yang dihasilkan oleh lampu minyak tanah dapat diatur menggunakan sumbu yang dapat dinaikkan dan diturunkan posisinya. Sumbu berperan sebagai penyerap bahan bakar berupa minyak tanah atau parafin secara perlahan-lahan. Hanya sedikit bagian pada sumbu yang terbakar habis. Panas yang dihasilkan pada sumbu membuat parafin berubah menjadi gas saat terbakar di sekitar sumbu. Perubahan parafin menjadi gas kemudian menghasilkan cahaya yang terang.[4]

Efisiensi energi

sunting

Efisiensi energi pada lampu minyak tanah tergolong rendah dengan harga energi yang tergolong mahal.[5] Lampu minyak tanah hanya menghasilkan daya guna sebesar 0,8 lumen per Watt. Cahaya yang dihasilkan oleh lampu minyak tanah lebih redup dibandingkan dengan cahaya yang dihasilkan oleh lampu pijar buatan Thomas Edison pada tahun 1879. Cahaya yang dihasilkan oleh lampu pijar buatan Thomas Edison bernilai lima kali lipat dari lampu minyak tanah pada tiap satuan Watt.[6] Selain itu, lampu minyak tanah menurunkan kualitas udara di sekitarnya.[7]

Pemanfaatan

sunting

Pemanfaatan praktis

sunting

Sumber penerangan

sunting

Sebanyak 4.700 lampu telah menerangi masjid-masjid di Kordoba pada abad ke-10 Masehi. Minyak tanah seberat 11 ton digunakan untuk menyalakan lampu-lampu tersebut tiap tahunnya.[2] Pemanfaatan lampu minyak tanah sebagai sumber penerangan mulai berkurang sejak ditemukannya lampu listrik. Pemakaian lampu minyak tanah juga mulai digantikan dengan lampu lilin ketika terjadi pemadaman listrik.[8]

Sumber panas pada mesin penetas telur

sunting

Lampu minyak tanah merupakan sumber panas paling sederhana untuk mesin penetas telur. Pemakaian lampu minyak dapat pada mesin tetas tradisional maupun mesin penetas telur modern. Keberhasilan penetasan telur menggunakan lampu minyak tanah dapat mencapai 80%.[9] Area pemanasan tiap unit lampu minyak maksimal seluas 80 × 60 cm baik pada mesin penetas telur tradisional maupun semi-modern. Sebanyak dua unit lampu minyak diperlukan untuk masa awal pemeliharaan telur yang mencapai lima hari.[10]

Pada mesin penetas telur tradisional, lampu minyak tanah ditempatkan di rak bawah yang terpisah dari telur. Dua unit lampu minyak tanah yang diletakkan pada lantai dasar mesin penetas telur dapat memanaskan telur sebanyak 300 butir pada satu rak.[11] Penetasan telur sebanyak 300 butir menggunakan lampu minyak tanah pada mesin penetas telur memerlukan minyak tanah sebanyak 9–10 liter.[12]

Pemakaian lampu minyak tanah pada mesin penetas telur terhubung dengan termoregulator. Bentuk termoregulator yang dihubungkan ke lampu minyak tanah ialah kapsul yang memiliki eter yang dapat mengembang dan mengempis. Termoregulator dihubungkan dengan lampu minyak tanah menggunakan jarum. Fungsi jarum ialah mendorong atau menurunkan tongkat yang dipakai untuk membuka atau menutup penutup lampu minyak tanah.[13] Kelemahan penggunaan lampu minyak tanah untuk penetasan telur ialah tingginya risiko kebakaran pada kondisi pengawasan dan kehati-hatian yang rendah selama penggunaannya.[9]

Pematangan buah

sunting

Sejak tahun 1900, petani di Amerika Serikat memiliki kebiasaan mematangkan buah jeruk menggunakan lampu minyak tanah. Buah jeruk dipetik ketika masih berwarna hijau dan dimatangkan dalam ruangan tertutup menggunakan lampu minyak tanah. Proses pematangan ditandai dengan perubahan warna jeruk dari hijau menjadi kuning. Perubahan ini dapat terjadi karena hasil pembakaran minyak tanah pada lampu minyak tanah menghasilkan gas etilen. Keberadaan gas etilen berperan sebagai hormon yang aktif dalam proses pematangan buah.[14]

Pemanfaatan kebudayaan

sunting
 
Festival Tumbilo Tohe

Festival Tumbilo Tohe

sunting

Lampu minyak tanah digunakan dalam salah satu tradisi Suku Gorontalo yang disebut Festival Tumbilo Tohe. Festival Tumbilo Tohe merupakan tradisi pemasangan lampu pada tiga malam terakhir bulan Ramadan. Tumbilo Tohe dalam bahasa Gorontalo berasal dari kata tumbilo dan tohe yang berarti pasang lampu. Lampu minyak tanah yang digunakan dibuat dari botol atau kaleng bekas yang sumbunya terbuat dari sumbu kompor minyak. Sumbu dipasang pada bagian penutup lampu minyak tanah. Tradisi Tumbilo Tohe telah dimulai sejak abad ke-15 dengan bahan bakar sebelum memakai minyak tanah berupa damar lalu minyak kelapa. Lampu minyak tanah dipasang di pagar, tepi jalan dan di depan rumah.[15]   

Referensi

sunting

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Flavin dan Lenssen 1995, hlm. 76-77.
  2. ^ a b Laksana, Puji (2008). Ensiklopedia Bahan Bakar Minyak. Semarang: ALPRIN. hlm. 54. ISBN 978-979-021-455-2. 
  3. ^ Mustopa (2021). Ramadhan Menyapa Penduduk Bumi, Menaiki Tangga Langit. Sleman: Penerbit Deepublish. hlm. 80. ISBN 978-623-02-2484-3. 
  4. ^ Challoner, Jack (2000). Harahap, Ayu B., ed. Jendela IPTEK: Energi. Diterjemahkan oleh Mujiyanto, Januarius. Jakarta: Balai Pustaka. hlm. 34. ISBN 979-666-113-6. 
  5. ^ de Vries, dkk. 2011, hlm. 4.
  6. ^ Flavin dan Lenssen 1995, hlm. 77.
  7. ^ de Vries, dkk. 2011, hlm. 56.
  8. ^ Martaatmaja, S. (2008). Sejarah tentang Alat Penerangan. Semarang: ALPRIN. hlm. 25. ISBN 978-602-8094-61-0. 
  9. ^ a b Wakhid 2016, hlm. 26.
  10. ^ Wakhid 2016, hlm. 27.
  11. ^ Mito dan Johan 2011, hlm. 109.
  12. ^ Mito dan Johan 2011, hlm. 110.
  13. ^ Suharno, Bambang (1996). Beternak Itik Secara Intensif. Niaga Swadaya. hlm. 46. ISBN 978-979-4893-43-2. 
  14. ^ Hayati, Rita (2022). Sulaiman, Ismail, ed. Teknologi Pascapanen Hasil Pertanian. Banda Aceh: Syiah Kuala University Press. hlm. 52. ISBN 978-623-264-765-7. 
  15. ^ Yusuf dan Toet (2012). Indonesia Punya Cerita. Jakarta Timur: Cerdas Interaktif. hlm. 95. ISBN 978-979-788-346-1. 

Daftar pustaka

sunting
  • Flavin, C., dan Lenssen, N. (1995). Gelombang Revolusi Energi [Power Surge: Guide to the Coming Energy Revolution]. Diterjemahkan oleh Hasibuan, N,, dan Maimoen, S. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461-222-7.