Sandiwara

(Dialihkan dari Lakon panggung)

Sandiwara atau sering disebut juga tonil adalah suatu jenis cerita, bisa dalam bentuk tertulis ataupun tak tertulis, yang terutama lebih ditujukan untuk dipentaskan daripada dibaca. Sebuah lakon tertulis merupakan suatu jenis karya sastra yang terdiri dari dialog antar para pelakon dan latar belakang kejadian. Lakon tidak tertulis biasanya diambil dari cerita yang sudah umum diketahui dan hanya menjabarkan secara umum jalan cerita dan karakter-karakter dalam cerita tersebut. Contoh karya lakon tertulis yang terkenal misalnya adalah Romeo and Juliet dari William Shakespeare. Sebuah sandiwara bisa berdasarkan naskah (skenario) atau tidak. Apabila tidak, maka semuanya dipentaskan secara spontan dengan banyak improvisasi.

Tonil sendiri dikenal mulai dikenal rakyat Indonesia pada zaman kolonial Belanda sebelum Perang Dunia II. Pada masa itu, banyak yang mengartikan tonil juga dengan istilah komedi terutama komedi bangsawan atau komedi stambul.[1]

Asal-usul

sunting

Tonil diadopsi dari bahasa Belanda yaitu Het toneel dan digunakan di Indonesia sekitar tahun 1920-an yang juga diartikan sebagai sebuah sandiwara.

Kata sandiwara sendiri merupakan istilah yang didengungkan oleh Sri Paduka Mangkunegoro VII dari Surakarta. Berasal dari bahasa Jawa, sandiwara tersusun atas dua kata yaitu sandi dan wara. Sandi memiliki arti rahasia. Wara atau juga disebut dengan warah memiliki arti pengajaran. Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara, sandiwara memiliki makna pengajaran yang dilakukan dengan perlambang.

Kata sandiwara didengungkan oleh KGP Mangkunegara VII agar masyarakat tidak lagi menggunakan istilah tonil.

KGP Mangkunegara VII sendiri menganggap bahwa istilah tonil terlalu kebarat-baratan. Istilah yang diambil dari kata tonil sendiri cukup banyak yaitu drama, komedi, lakon dan lain sebagainya.

Kata tonil ataupun sandiwara digunakan untuk merujuk pada kata teater ataupun pentas drama. Hal ini disebabkan karena pada masa itu di Indonesia belum dikenalkan istilah teater sehingga masyarakat pada masa itu akan mengenalnya dengan istilah tonil.

Pada saat melakukan penelitian pada masa poskolonial, Evan Darwin Winet dalam buku Dramaturgi Sandiwara Potret Teater-Potret Teater Populer dalam Masyarakat Poskolonial mendapatkan beberapa kesimpulan terkait tonil di Indonesia.

Menurutnya, dalam sejarah Indonesia tonil disebutkan merupakan istilah yang merujuk kepada teater. Istilah yang dikenal juga sebagai sandiwara ini diperoleh melalui praktik Barat. Pengembangan tonil pada saat itu banyak terjadi di perkotaan Jawa.

Winet juga meyakini bahwa tonil, sandiwara maupun teater merupakan perkembangan dari entitas yang sama yaitu teater Barat. Penggunaan istilah ini juga digambarkan sebagai perkembangan seni dramatik di Indonesia secara diakronis.[1]

Perkembangan sandiwara

sunting

Pada tahun 1926, diketahui terbentuk sebuah tonil Melayu besar yang diberi nama Malay Opera Dardanella di Sidoarjo, Jawa Timur. Pendiri tonil ini ialah Willy Klimanoff atau yang juga dikenal dengan nama A Piedro yang merupakan seorang Rusia yang lahir di Penang.

Grup tonil Dardanella ini diketahui merombak kebiasaan-kebiasaan panggung yang biasanya dilakukan oleh stambul. Salah satu bentuk rombakan yang dilakukan oleh grup ini adalah pada saat layar diangkat mereka akan segera main tanpa melakukan introduksi.[1]

Beberapa grup sandiwara terkenal muncul dari sejak awal tahun 1920-an seperti Miss Riboet Orion ada tahun 1925 kemudian Miss Tjitjih pada tahun 1928.

Pada masa pendudukan Jepang, fungsi pementasan sandiwara mulai berubah yang awalnya sebagai fungsi hiburan namun telah bergeser ke fungsi propaganda atau kampanye terselubung.[2]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c Septiani, Zefanya. "Bung Karno Menciptakan 17 Tonil Saat Diasingkan di Ende & Bengkulu, Apa Sih Itu?". detikedu. Diakses tanggal 2024-10-16. 
  2. ^ "Kesenian Sandiwara, Pertunjukan Penuh Teka-teki ala Masyarakat Indramayu". merdeka.com. 2020-04-14. Diakses tanggal 2024-10-16. 

Pranala luar

sunting