La Ode Bulae Raja Muna (1830-1861)

La Ode Bulae bergelar Sangia Laghada adalah Putera Raja Muna La Ode Saete (1816 - 1830). Pada saat diangkat menjadi Raja Muna, La Ode Bulae baru berusia 12 tahun. Pengangkatan La Ode Bulae sebagai Raja Muna berkenaan dengan mangkatnya ayahandanya La Ode Saete. Karena pada saat mangkat Raja Muna XXV La Ode saete hanya memiliki satu anak laki-laki yang baru berusia 12 tahun yaitu Laode Bulae, maka Saraano Wuna bersepakat mengangkatnya sebagai Raja Muna menggantikan ayahandanya.

Pengangkatan La Ode Bulae yang baru berusia 12 tahun tersebut menjadi dilema karena pada saat penobatannya sebagai Raja La Ode Bulae masih terlalu muda dan dianggap belum cakap mengendalikan pemerintahan. Namun pada saat yang bersamaan Kerajaan Muna membutuhkan seorang pemimpin karena pada saat itu Muna sedang berkonfrontasi dengan Belanda serta sekutunya Buton. Sedangkan untuk melakukan prosedur pengangkatan raja seperti yang telah diatur yaitu melalui pemilihan yang dilakukan oleh Sarano Wuna (lembaga yang berwenang memilih dan mengangkat raja) sangat tidak mungkin karena pasukan koalisi Buton –Belanda terus mengganggu.

Dalam situasi yang pelik tersebutlah, maka Sarano Wuna mengambil keputusan cepat dengan mengangkat La Ode Bulae Putera Raja La Ode Saete sebagai Raja Muna Namun karena Raja La Ode Bulae masih sangat belia dan diangap belum cakap menjalankan pemerintahan, maka Sarano Wuna menunjuk La Aka ( Bonto balano / Menteri Utama) untuk menjalankan pemerintahan, sedangkan La Ode Bulae tetap sebagai kepala negara.

Momen mangkatnya Raja La Ode Saete dan raja penggantinya yang masih sangat muda dimanfaatkan oleh Belanda untuk menguasai pemerintahan kerajaan Muna dengan memaklamatkan secara sepihak bahwa segala urusan pemerintahan Kerajaan Muna berada dalam kendali Pemerintahan Kolonial Belanda, tentu melalui sekutunya, Buton.

Raja La Ode Bulae yang masih begitu muda belum cukup mampu melawan maklumat tersebut, dan juga Bonto Balano La Aka y ang hanya seorang pelaksana raja, belum mampu memobilisasi rakyat untuk melakukan perlawanan, Belanda dengan leluasa menunjuk seorang Wali Raja dari Kesultanan Buton untuk menguasai Muna.

Setelah Dewasa, La Ode Bulae mejalankan pemerintahan melanjutkan kebijakan Ayahandanya, La Ode Saete, menyerukan untuk melakukan konfrontasi dengan Kolonial Belanda dan Sekutunya, Kesultanan Buton. La Ode Bulae menyerukan perang semesta terhadap Kolonial Belanda dan Buton sehingga terjadi berang besar antara Kerajaan Muna melawan Belanda dimana seperti biasa, Belanda menggunakan kakitangannya, yaitu Kesultanan Buton.

Dalam sebuah perang di tahun 1861, Belanda dan sekutunya, Buton, berhasil menangkap La ode Bulae dan membawanya ke persidangan pengadilan di Makassar. Dalam persidangan pengadilan tersebut, La Ode bulae dinyatakan bersalah dan diasingkan di Pulau Nusa Kambangan. Pengasingan ke Nusakambangan terjadi kemungkinan karena di tahun 1861 itu Belanda sedang membangun benteng yang kelak akan menjadi penjara. Pembangunan benteng tersebut menggunakan tenaga para tahanan dari berbagai daerah di Hindia Belanda[1].

Setelah diasingkan ke Nusakambangan La Ode Bulae dibawa ke Bengkulu.

  1. ^ Media, Kompas Cyber (2022-07-30). "Sejarah Pulau Nusakambangan sebagai Tempat Bui, Berawal dari Napi Bangun Benteng Tahun 1861 Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2024-01-27. 

Referensi

sunting