Pangeran Kusumadinata II (bahasa Sunda: ᮊᮥᮞᮥᮙᮂᮓᮤᮔᮒ |᮲|, translit. kusumahdinata kadua, har. 'kusumadinata kedua') yang terkenal sebagai Prabu Geusan Ulun dalam genealogi wangsa Sumedang adalah putra dari Pangeran Kusumahdinata I (Pangeran Santri), terlahir dengan nama Angkawijaya. Selain dianggap sebagai raja daerah atau mandala dari Kerajaan Sumedang Larang, ia juga mendapat gelar jabatan Nalendra dari Kerajaan Sunda yang berpusat di Pakuan Pajajaran. Pangeran Angkawijaya (kelak bergelar Prabu Geusan Ulun) lahir pada tanggal 3 bagian terang bulan srawana tahun 1480 saka (+ 19 Juli 1558).

Kusumadinata II
Prabu Geusan Ulun
Pangeran Kusumadinata II
Nalendra Sumedang Larang
ke-8
Berkuasa1578–1608 (30 tahun berkuasa)
Naik takhta1578; 445 tahun lalu (1578)
PendahuluKusumadinata I
PenerusKusumadinata III
KelahiranAngkawijaya
19 Juli 1558
Sunda
Kematian1608
Kerajaan Sumedang Larang Sumedang Larang
Pemakaman
Kompleks Pemakaman Dayeuh Luhur
PasanganNyi Mas Cukang Gedeng Waru
Harisbaya
Nyi Mas Pasarean
Keturunan
Dari Gedeng:[1]
      1. Pangeran Rangga Gede alias Kusumadinata IV.
      2. Ki Kadu Rangga Gede.
      3. Ki Rangga Patra Kelana.
      4. Ki Aria Rangga Pati.
      5. Ki Ngabehi Watang.
      6. Nji Mas Demang Cipaku.
      7. Nji Mas Ngabehi Martayuda.
      8. Nji Mas Rangga Wiratama.
      9. Raden Rangga Nitinagara alias Dalem Rangga Nitinagara.
      10. Nji Mas Rangga Pamade.
      11. Nji Mas Dipati Ukur.
      12. Pangeran Tumenggung Tegal Kalong.
      13. Kiai Demang Tjipakoe.
Dari Harisbaya[2]
    • Pangeran Aria Suriadiwangsa.[2][3][4]
    • Pangeran Tumenggung Tegal Kalong.[2][5]
    • Raden Rangga Nitinagara.[2][6]
    • Raden Arya Wiraraja I.[2]
Dari Pasarean
Nama takhta
Nalendra Prabu Geusan Ulun
Bahasa Sundaᮌᮩᮞᮔ᮪ ᮅᮜᮥᮔ᮪
AyahKusumadinata I
IbuRatu Pucuk Umun
AgamaIslam

Dia dijadikan titik tolak urutan para menak keturunan Sumedang serta diposisikan sebagai bupati pertama walaupun istilah bupati belum dikenal pada waktu itu. Mulailah urutan para penguasa atau Bupati yang memerintah Sumedang secara turun menurun, dimulai dari pewarisan kekuasaan/kerajaan kepada salah satu putra Kusumadinata I yang bernama Prabu Geusan Ulun atau Pangeran Kusumadinata II dan bergelar Nalendra yang memerintah dari tahun 1578 sampai tahun 1608.[7]

Meneruskan kepemimpinan Pakuan Pajajaran

sunting
 
Makam Prabu Geusan Ulun Adji Putih yang terletak di komplek pemakaman Dayeuh Luhur Kabupaten Sumedang.
 
Halaman dari Babad Pajajaran, biografi paling lengkap mengenai Prabu Siliwangi. Disalin ulang di Sumedang pada abad 19 dengan aksara Cacarakan.

Pada masa pemerintahannya datang menghadap untuk mengabdi serombongan orang yang dipimpin oleh empat Kandage Lante (bangsawan/ abdi raja setingkat bupati) dari Pakuan Pajajaran yang telah hancur diserang Kesultanan Banten, kedatangannya selain melaporkan bahwa Kerajaan Sunda telah bubar juga meminta agar Prabu Geusan Ulun meneruskan kepemimpinan Pakuan Pajajaran, diserahkanlah mahkota emas milik Raja Pakuan Pajajaran yang bernama Binokasih (Mahkota Binokasih) berikut perhiasan serta atribut kebesaran lainnya sebagai bentuk pernyataan bahwa Kerajaan Sumedang Larang telah ditetapkan sebagai penerus kekuasaan Pakuan Pajajaran.

Ke empat Kandaga Lante tersebut adalah :

  1. Batara Sang Hyang Hawu (Sanghyang Hawu atau lebih dikenal sebagai Eyang atau Embah Jaya Perkasa).
  2. Batara Pancar Buana (Terong Peot).
  3. Batara Dipati Wiradijaya (Nangganan).
  4. Batara Sang Hyang Kondang Hapa.

Dengan kejadian tadi berarti kedudukan dan kekuasaan Prabu Geusan Ulun, Raja Sumedang Larang, menjadi lebih besar dengan menerima hibah sebagian besar wilayah bekas Kerajaan Pakuan Pajajaran (seluruh Tatar Sunda kecuali Banten dan Cirebon), sementara Raja Pakuan Pajajaran terakhir (Prabu Nusiya Mulya/Raga Mulya/ Suryakancana) menurut kabar menyingkir ke Gunung Salak sambil menghimpun kekuatan untuk serangan balasan, namun tidak pernah terlaksana karena dia keburu meninggal dunia. Walaupun telah menerima wilayah kekuasaan dari bekas Kerajaan Pakuan Pajajaran, sulit bagi dia untuk mengembangkan kekuasaannya karena posisi Kerajaan Sumedang Larang terjepit di antara dua kekuatan besar kerajaan yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon yang sama-sama mengincar wilayah bekas Pakuan Pajajaran.

Pada masa pemerintahannya terkenal dengan peristiwa yang menggemparkan sekaligus memalukan yaitu, dibawa kaburnya Ratu Harisbaya salah satu istri Raja Cirebon Pangeran Girilaya Panembahan Ratu pada saat Prabu Geusan Ulun berkunjung ke Keraton Cirebon sekembalinya dari Kerajaan Demak dalam rangka memperdalam agama Islam, terjadi penyerbuan Cirebon yang mengakibatkan dia terpaksa menyingkir ke Dayeuh Luhur bersama Ratu Harisbaya serta sebagian kecil rakyat dan pengikutnya. Meski pada akhirnya tercapai perdamaian dengan Cirebon namun Sumedang Larang mengalami kerugian besar yaitu hilangnya wilayah Sindang Kasih yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Majalengka diserahkan kepada Panembahan Ratu Cirebon sebagai pengganti talak tiga atas nama Ratu Harisbaya, sejak itulah pusat pemerintahan Sumedang Larang pindah dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur dan akhirnya dia wafat dan dimakamkan disana bersama Ratu Harisbaya.

Ratu Harisbaya diperistri oleh Pangeran Geusan Ulun sebagai istri kedua dan memiliki anak salah satunya bernama Suriadiwangsa yang kelak bergelar Pangeran Kusumadinata III, sementara dari istri pertama yang bernama Nyai Mas Cukang Gedeng Waru memiliki anak salah satunya bernama Rangga Gede dan diberi gelar Pangeran Kusumadinata IV, untuk tidak menimbulkan pertengkaran di kemudian hari maka pada tahun 1601 wilayah Sumedang Larang dibagi dua yang masing-masing dipimpin oleh kedua putranya diatas.[8]

Dalam masa Kesultanan Mataram

sunting

Dalam masa tersebut Kesultanan Mataram-Jawa Tengah di bawah pimpinan Sultan Agung mengalami masa keemasan dan merupakan kesultanan yang sangat kuat, dilatar belakangi kekhawatiran terhadap ekspansi kesultanan Banten ke arah Timur setelah menaklukkan Pakuan Pajajaran, mendorong Suriadiwangsa berangkat ke Mataram meminta perlindungan.

Setibanya di Mataram dia menyampaikan maksudnya kepada Sultan Agung, dan mendapat sambutan hangat serta mendapat gelar Rangga Gempol Kusumadinata dari Sultan Agung yang dalam urutan silsilah Sumedang disebut Rangga Gempol I. Penghargaan lain dari Sultan Agung ialah menjuluki wilayah kekuasaan Sumedang tersebut dengan nama Prayangan artinya daerah yang berasal dari pemberian dibarengi oleh hati yang ikhlas dan tulus. Di kemudian hari dengan lafal setempat nama Prayangan berubah menjadi Priangan, berbeda dengan kata Parahyangan (Para-Hyang-an) yang artinya identik tempat tinggal para dewa atau orang suci (Hyang).

Latar belakang lainnya yang mendorong Sumedang menempatkan diri di bawah pretensi atau proteksi Mataram:

  1. Hanya Kerajaan atau Kesultanan Mataram di bawah kepemimpinan Sultan Agung yang dianggap dapat mengimbangi kekuatan Banten.
  2. Ratu Harisbaya merupakan kerabat Raja atau Sultan Mataram, sehingga yang berangkat ke Mataram adalah putranya sendiri (Raden Suriadiwangsa alias Rangga Gempol I).
  3. Seperti halnya Sumedang Larang, Kerajaan atau Kesultanan Mataram memiliki pendahulu yang sama yaitu Kerajaan Galuh, sehingga masih memiliki kekerabatan.
  4. Rasa sakit hati terhadap Banten yang telah menghancurkan Pakuan Pajajaran, dibarengi pula rasa takut menghadapi kemungkinan ekspansi Kesultanan Banten dalam rangka menguasai wilayah bekas Pakuan Pajajaran.
  5. Akibat peristiwa Harisbaya hubungan Sumedang Larang dengan Cirebon menjadi kurang harmonis, timbul pula kekhawatiran terhadap ekspansi Cirebon.
  6. Sementara itu sedang terjadi perang dingin antara Kesultanan Banten dengan Kesultanan Cirebon sementara Sumedang Larang terjepit di antara dua kekuasaan tadi sehingga mengambil jalan keluar dengan mengabdikan diri ke Mataram, yang memiliki kekuatan melebihi kedua Kesultanan tadi.[9]

Sumedang baru pertama kali memiliki meriam dan senjata api ± 30 tahun kemudian pada periode pemerintahan Pangeran Rangga Gempol III (Pangeran Panembahan) itupun dalam jumlah sedikit yang diperoleh dari pemberian Belanda. Aria Suriadiwangsa alias Kusumadinata III alias Rangga Gempol I diangkat sebagai Bupati Wadana Prayangan, jabatan yang setingkat dengan Gubernur masa kini yang membawahi wilayah seluruh Jawa Barat kecuali Cirebon dan Banten (sebelum Banten menjadi propinsi pada era reformasi) termasuk membawahi wilayah yang dikuasai Rangga Gede alias Pangeran Kusumadinata IV, tidak berapa kemudian dia mendapat perintah untuk menaklukkan Sampang Madura.

Lihat pula

sunting

Bacaan lanjutan

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Erni Muthalib (Sabtu, 07 April 2012). "Silsilah Keluarga Pangeran Santri Koesoemadinata". Erni Muthalib Blog. Diakses tanggal 3 Agustus 2015. 
  2. ^ a b c d e Uka Tjandrasasmita (2009). "Arkeologi Islam Nusantara". Kepustakaan Populer Gramedia. Diakses tanggal 3 Agustus 2015. 
  3. ^ Hardjasaputra, A. Sobana. (Jumat, 21 Juni 2013). Permasalahan Dalam Sejarah Sumedang - Tinjauan Akademis, Blog Prof. Dr. A. Sobana Hardjasaputra. Diakses 8 Agustus 2015.
  4. ^ Nama alias Pangeran Dipati Rangga Gempol I alias Kusumahdinata IV. Bupati Wedana Mataram I untuk seluruh wilayah Pasundan.
  5. ^ Mertua Sultan Mataram
  6. ^ Yang menurunkan para bupati dan pembesar (Keluarga Wangsatanu).
  7. ^ Patanjala: jurnal penelitian sejarah dan budaya. Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. 2014. 
  8. ^ "Kala Sumedang Larang di Bawah Kuasa Mataram". Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia. 2020-11-07. Diakses tanggal 2023-11-16. 
  9. ^ Faktor ini dapat disebabkan karena, Kerajaan atau Kesultanan Banten, Cirebon dan Mataram sangat kuat pada masa itu, mereka memiliki pantai-pelabuhan tempat berbagai kegiatan bukan hanya perdagangan tetapi juga masuknya persenjataan modern ukuran masa itu.

Pranala luar

sunting
Gelar kebangsawanan
Didahului oleh:
Kusumadinata I
Raja Sumedang Larang
15781608
Diteruskan oleh:
Kusumadinata III