Korespondensi bunyi

Korespondensi bunyi (phonemic correspondence atau kesepadanan bunyi) adalah metode perbandingan untuk menemukan hubungan antar bahasa dalam bidang bunyi bahasa[1]. Metode ini merupakan suatu perkembangan dari Grimm's Law yang dirumuskan pada abad XIX oleh Jacob Grimm (1787–1863). Hasil korespondensi lebih lanjut akan menjadi dasar hipotesa mengenai bunyi proto dari tingkat-tingkat perkembangan sebelumnya (rekonstruksi).

Sejarah

sunting

Pada abad  XIX dan XX, beberapa teori mengenai munculnya bahasa dalam masyarakat manusia bermunculan. Teori-teori tersebut antara lain teori tekanan sosial, teori onomatopetik, teori interyeksi, teori nativistik, teori yo-he-ho, teori isyarat, teori permainan vokal, teori isyarat oral, teori kontrol sosial, teori kontak sosial, dan teori Hockett-Ascher. Jika teori-teori ini benar, maka dapat dimengerti bahwa warisan dari kelompok asal tersebut akan diturunkan dan dipantulkan kembali melalui kata-kata kerabat dewasa ini. Dengan menerima asumsi bahwa kelompok-kelompok itu berkembang dari suatu kelompok kecil dalam masa lampau yang tidak diketahui, maka kita dapat menelusuri kembali situasi masa lampau itu dengan bertolak dari kenyataan. Langkah awal untuk menelusuri hal ini adalah menemukan kesamaan-kesamaan yang terjadi karena warisan yang sama itu.

Hubungan yang teratur mengenai bunyi-bunyi bahasa yang didasarkan pada kata yang memiliki makna yang mirip mula-mula dirumuskan di abad XIX dengan nama Hukum Bunyi. Hukum ini dirumuskan oleh Jacob Grimm (1787-1863) dalam penelitiannya mengenai bahasa German dan bahasa Indo-Eropa yang lain. Grimm menemukan kenyataan bahwa ada pergeseran bunyi atau pertukaran bunyi yang teratur antara bahasa-bahasa German dan bahasa Yunani-Latin. Pergeseran bunyi tersebut ditulis dalam bukunya Deutsche Grammatik yang terbit tahun 1819. Sejak saat itu hukum bunyi juga disebut sebagai Grimm’s Law.

Perkembangan selanjutnya, istilah hukum bunyi dianggap mengandung tendensi adanya ikatan yang ketat. Sehingga istilah itu diganti menjadi korespondensi bunyi (phonemic correspondence atau kesepadanan bunyi). Istilah ini dianggap lebih menggambarkan proses perbandingan bahasa yang tidak mutlak dan dinamis.

Metode

sunting

Korespondensi Bunyi

sunting

Segmen-segmen yang berkorespondensi dibandingkan satu sama lain dalam berbagai bahasa. Setelah mendata kata-kata dari sejumlah bahasa, dilakukan perbandingan fonem dengan fonem lain dari tiap segmen. Untuk memperjelas bagaimana prinsip perbandingan tersebut, terdapat contoh dari bahasa Indo-Eropa. Perbandingan tersebut menggunakan sepuluh bilangan utama karena adanya kemiripan antara satu sama lain. Penggunaan bilangan utama ini terbilang menguntungkan karena tidak adanya makna tambahan atau konotasi lain. Ada 8 bahasa yang dikelompokkan menjadi tiga satuan: kelompok Yunani-Latin-Sanskerta-Gotik (Indo-Eropa), kelompok Akkadia-Ibrani-Arab (Semit), dan Jepang yang berada di luar kelompok-kelompok tersebut. Korespondensi fonemik pada bahasa Indo-Eropa sebagai berikut:

  1. / d - d - d - t / : perangkat korespondensi yang terdapat dalam glos “dua” dan “sepuluh”
  2. / h - s - s - s / : perangkat korespondensi pada awal “enam” dan “tujuh”
  3. / e - e - a - i,e / : perangkat korespondensi pada vokal awal “sepuluh” dan “tujuh”

Pada bahasa Semit, ditemukan korespondensi fonemik sebagai berikut:

  1. / s - s - s / : perangkat korespondensi pada “enam” dan “tujuh”
  2. / e - ‘a -’a / : perangkat korespondensi pada “empat” dan “sepuluh”

           Bahasa Austronesia juga dapat dibandingkan dengan cara seperti di atas. Misalnya untuk kata “hidung” seperti berikut:

                       Melayu:           hidung

                       Ma’anyan:       urung

                       Banjar:            hidung

                       Malagasi:        uruns

                       Lamalera:       irung

                       Jawa:               irung

                       Batak:             igung

                       Tagalog:          ilung

           Dari data-data di atas, didapatkan perangkat korespondensi sebagai berikut:

                       / h - Ø - h - Ø - Ø - Ø - Ø - Ø /

                       / i -  u  - i -  u -  i  -  i  -  i  -  i /

                       / d - r  -  d - r -  r  -  r  -  g -  l /

                       / u - u  - u - u - u  -  u  - u -  u /

                       / ŋ - ŋ -  ŋ - ŋ -  ŋ -  ŋ  - ŋ -  ŋ /

                       / Ø - Ø -Ø- ∆ - Ø - Ø - Ø - Ø /

           Suatu perangkat korespondensi fonemis tidak hanya diperoleh dari satu pasang kata saja, melainkan harus diturunkan dari seluruh kemungkinan yang dapat diperoleh dari bahasa-bahasa yang dibandingkan.

Pembentukan Korespondensi Fonemis

sunting

Sesudah mencatat indikator korespondensi, maka harus diadakan pengujian supaya korespondensi tersebut memiliki status kuat, dan jangan sampai ada korespondensi yang seharusnya ada ternyata diabaikan, dan sebaliknya. Prosedurnya adalah sebagai berikut.

Rekurensi Fonemis

sunting

Tindakan pertama setelah menemukan perangkat korespondensi fonemis adalah menemukan pasangan-pasangan lain yang mengandung pasangan tersebut. Misalnya glos ‘rumah’ dibawah ini yang berasal dari bahasa Inggris, Jerman, Belanda, Denmark, dan Swedia ditemukan korespondensi fonemis sebagai berikut.

           /h - h - h - h -h/

           /aw-aw-ø-u:-u:/

           /s - s - s - s - s/

Dari setiap korespondensi harus diperkuat dengan sejumlah rekurensi pada pasangan-pasangan kata yang lain. Misalnya perangkat korespondensi /aw - aw - ø - u: - u:/ dalam glos ‘rumah’ dijumpai kembali pada pasangan-pasangan lain pada tabel berikut.

Gloss Inggris Jerman Belanda Denmark Swedia
tikus maws maws møus mu:s mu:s

Dalam bahasa Nusantara kita dapat melihat contoh pada kata ‘batu’, Melayu: batu, Jawa: watu, Batak: batu, Lamalera: fato. Dari pasangan ini terdapat indikasi adanya perangkat korespondensi fonemis

           /b - w - b - f/

           /a - a - a - a/

           /t - t - t - t /

           /u - u - u - u/

Kalo hubungan antara fonem-fonem itu menjadi perangkat korespondensi fonemis yang sesungguhnya maka harus diperoleh rekurensinya sebagaimana contoh di atas. Semakin banyak data yang ditemukan maka semakin meyakinkan korespondensi fonemis tersebut.

Namun, ada juga kemungkinan bahwa dari data-data yang ada diperoleh korespondensi yang tidak sejalan dengan korespondensi yang telah ditetapkan. Aliran Junggramatiker menerangkan bahwa hal itu mengikuti hukum bunyi yg lain, jadi tidak selalu hanya ada satu korespondensi.

Ko-okurensi

sunting

Sebuah perangkat korespondensi selalu diturunkan dari kata-kata yang mirip bentuk dan maknanya. Karena prinsip ini terdapat bentuk-bentuk tertentu yang diabaikan sebagai bentuk yang mirip dengan bentuk-bentuk yang lain dalam bahasa kerabat. Padahal bentuk tersebut juga bentuk kerabat. Ko-okurensi adalah gejala-gejala tambahan yang terjadi sedemikian rupa pada kata-kata kerabat yang mirip bentuk dan maknanya, sehingga dapat mengaburkan baik kemiripan bentuk maknanya maupun korespondensi fonemisnya dengan kata-kata lain dalam bahasa kerabat lain.

Contoh pada kata ‘baru’ pada bahasa Melayu; baru, Jawa: weru, Karo: ‘mbaru, dan Lamalera: fu. Melihat bentuk fu yang identik dengan fu yang berarti ‘busur’, agaknya ada kecenderungan untuk menyingkirkan bentuk tersebut, sehingga tidak perlu juga menambah /f/ pada perangkat korespondensi /b-w-b-f/. Tetapi melihat dengan memperhatikan gejala-gejala sejenis yang terdapat dalam bahasa-bahasa Nusantara lainnya, maka /f/ dalam kata fu ‘baru’ tetap merupakan korespondensi tadi. Kata fu telah mengalami kontraksi dari bentuk: baru - waru - weru (n) - wehu - weu - fu. Mula-mulai fonem /r/ menjadi /h/ kemudian /h/ menghilang dari bentuk itu, dan akhirnya kedua vokal tadinya mengapit /h/ mengalami proses sandi dalam menjadi /u/.    

Gejala menghilangnya /r/ antara vokal merupakan peristiwa yang umum dalam bahasa nusantara. Misalnya bahasa jawa beras - weras - wehas - weas - wos.

Analogi

sunting

Menghilangnya /h/ antara vokal yang berasal dari /r/ antar vokal dalam bahasa Bali dan Lamalera terjadi karena analogi, contoh yang lain asu - aho - ao. Analogi sendiri merupakan suatu proses pembentukan kata mengikuti contoh-contoh yang sudah ada.

Korespondensi fonemis biasanya mulai terjadi antar bahasa kerabat ketika muncul perubahan-perubahan. Dan ini merupakan suatu proses yang dapat dipahami. Tetapi ada juga analogi yang muncul dalam suatu situasi peralihan yang lain, dalam hubungan dengan bahasa-bahasa non-kerabat. Pola perubahan antara bahasa kerabat itu dapat dipakai sebagai dasar untuk mengubah bentuk-bentuk dari bahasa non-kerabat sehingga dapat diterima dalam bahasa sendiri. misal kata pikir yang dirasa asing tetapi bila menjumpai kata fikir dalam bahasa Arab dapat saja timbul dugaan bahwa ada semacam korespondensi.

Pembentukan kata baru berdasarkan analogi bisa terjadi juga dalam bahasa-bahasa kerabat, atau malahan juga dalam bahasa sendiri sehingga seolah-olah ada semacam kemiripan bentuk karena warisan. Misal kata berniaga dan berjuang dalam bahasa Indonesia yang mengandung prefiks ber- seperti yang terdapat dalam berjalan, berdiri, dan lain-lain. Padahal analogi tersebut muncul karena prefiks ba- dalam bahasa Minang berubah menjadi ber- dalam bahasa Indonesia. Padahal kata baniago berasal dari vanijjya Sansekerta yang merupakan kata dasar dan baujuang: ba + ujuang.

Jadi perlu diperhatikan masalah analogi. Apakah kata-kata yang dipakai dalam perbandingan itu tidak dibentuk berdasarkan prinsip analogi.

Penutup

sunting

Teknik penetapan korespondensi fonemis antara bahasa-bahasa yang memiliki kekerabatan telah dikembangkan oleh ahli tata bahasa abad XIX dengan nama Lautgesetz atau dikenal pula dengan nama Hukum Bunyi. Sebagai metode perbandingan, korespondensi fonemis tidak dapat berdiri sendiri, karena memiliki pertalian dengan korespondensi antara kata-kata yang dianggap satu asal. Dalam menentukan masalah korespondensi fonemis antara bahasa kerabat sejauh mungkin harus dihindari istilah menjadi, seperti contoh fonem /w/ bahasa Jawa menjadi fonem /b/ dalam bahasa Melayu. Tidak ada istilah menjadi dalam bahasa kerabat, yang ada hanyalah  kesepadanan atau korespondensi. Akan tetapi, istilah menjadi bisa dipergunakan apabila dapat dihubungkan antara bahasa sekarang dengan bahasa yang lebih tua, seperti bentuk ao dalam bahasa Lamalera dengan aho atau asu dalam bahasa Jawa.

Akhirnya, perlu ditarik kesimpulan mengenai penetapan korespondensi fonemis antara bahasa kerabat sebagai berikut.

  1. Dalam sejarah bahasa, perubahan bunyi (fonem) terjadi secara teratur.
  2. Apabila sudah diperoleh indikator mengenai korespondensi fonemis, maka indikator tersebut harus diuji melalui rekurensi fonemis untuk mendapat korespondensi yang teruji kebenarannya atau sahih.
  3. Agar korespondensi fonemis itu tidak diabaikan dalam bentuk-bentuk kerabat tertentu, maka harus dipersoalkan pula adanya ko-okurensi, yaitu korespondensi atau gejala lain yang timbul di samping korespondensi yang ada.
  4. Tetapi di pihak lain, agar suatu bentuk yang mirip dengan bentuk-bentuk kerabat lain jangan dimasukkan dalam rangkaian kata yang menghasilkan suatu korespondensi fonemis, maka hendaknya diperhatikan pula bentuk-bentuk yang mirip yang terjadi karena analogi. Bentuk yang mirip, yang terjadi karena proses analogi bukanlah kata-kata kerabat, sehingga harus ditolak.

Referensi

sunting
  1. ^ Keraf, Gorys (1996). Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. hlm. 40.