Konsistensi dan logika

Konsistensi dan logika merupakan sebuah kesatuan dalam ilmu logika yang terdapat teori konsistensi semantik dengan semantik lainnya yang tidak mengandung kontradiksi dalam berpikir. Ketiadaan kontradiksi tersebut diartikan sebuah semantik yang berhubungan dengan sintaksis. Dalam definisinya menyatakan bahwa sebuah teori yang konsisten bila mempunyai model. Istilah guna logika tradisional itu diperkenalkan oleh Aristoteles. Teori sintaksis yang konsisten tidak terdapat rumus dan penyangkalan dari sebuah pembuktian aksioma terkait teori-teori pada sistem deduktif.[1] Sudut pandang dan cara berpikir menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam diri umat manusia. Segala apa yang dilakukan terlebih dahulu menjadi bahan pertimbangan untuk melangkah dalam mengambil keputusan. Adanya proses dimana ada sejumlah langkah yang harus dilakukan sebagai pilihan alternatif dua atau lebih dan memerlukan pendekatan sistematis. Pengambilan keputusan yang baik setidaknya memperhatikan suatu masalah, fakta, dan data yang matang agar pengambilan tindakan menjadi lebih efektif dan tepat.

Logika itu sangat penting dalam kehidupan sehari-hari kemudian berkaitan pula dengan kemampuan bernalar karena sebagai manusia tentunya diberikan kemampuan penalaran. Intinya adalah semua manusia secara tidak sadar pasti menggunakan logikanya dalam menjalani kehidupan. Dalam diri manusia terdapat lapangan penyelidikan logika karena hanya manusia yang mampu melakukan aktivitas berpikir. Jalan pikiran manusia tentunya didapati dari apa yang telah dipelajari dengan membaca maupun mendengar mengenai aturan berpikir.[2] Aspek berpikir inilah yang disebut objek material logika dalam mempelajari aturan berpikir maka semestinya dapat tercipta teknik-teknik berpikir untuk menuntun cara berpikir lurus. Ilmu logika biasa disebut logika episteme dimana ilmu yang mendalami kapasitas dalam berpikir secara baik, tepat dan sistematis. Acuan dalam berpikir rasional dengan kapasitas mengacu pada akal budi sanggup untuk mewujudkan kognitif ke dalam aksi. Logis sendiri diartikan sebagai masuk akal. Kalimat yang benar dengan logis dan non logis dapat diganti dengan istilah lain tanpa mempengaruhi perubahan nilai kebenaran. Ilmu sesuatu hal yang penting dimiliki oleh individu dalam menjalani kehidupan. Rasa kagum manusia atau individu tentang alam ciptaan Tuhan merupakan asal sebuah ilmu dimana tiap individu dibekali oleh hasrat ingin tahu dan sifatnya untuk mengetahuinya sejak ia masih kanak-kanak. Istilah Ilmu berasal dari bahasa arab yang kemudian diterjemahkan dengan arti pengetahuan. Dalam beberapa kajian kefilsafatan ilmu mengandung tiga unsur yang salah satunya adalah produk atau kumpulan pengetahuan dan informasi yang handal dan telah teruji kebenarannya. Ilmu itu bagian dari filsafat yang mampu menjawab berbagai hakikat kelimuan yang termasuk didalamnya adalah ilmu alam dan ilmu sosial. Filsafat ilmu menempatkan ilmu pengetahuan sebagai sasaran dan penyangga keberadaan eksistensi dari ilmu.[3]

Dalam kamus besar bahasa Indonesia pengertian konsistensi adalah sebuah ketetapan atau kemantapan dalam bertindak.[4] Teori ini memandang manusia sebagai seseorang yang secara aktif memproses dengan mencoba untuk memahami secara keseluruhan mengenai apa yang dirasakan. Secara tidak langsung pikiran membuat manusia aktif untuk menyusun dan menafsirkan dunia mereka dengan membuat kecocokan diantara sikap-sikap. Hubungan antara komponen afeksi dan kognisi senantiasa dalam keadaan konsisten dimana orang berusaha membuat kognisinya secara konsisten bersamaan dengan afeksinya. Keyakinan seseorang tentang suatu fakta ditentukan oleh pilihan afeksinya. Konsekuensi yang akan terjadi jika perubahan dalam komponen afeksi mengalami perubahan pada komponen kognisi. Dalam hal mengubah sikap maka komponen afeksi ini diubah kemudian mengubah komponen kognisi sehingga pada akhirnya terjadi perubahan sikap.[5]

Berpikir secara logis untuk dapat memecahkan masalah sebagai proses menalar tentang suatu objek dengan cara menghubungkan serangkaian pendapat hingga pada titik kesimpulan menurut aturan-aturan logika. Berpikir yang demikian diyakini dapat menarik sebuah kesimpulan untuk dapat di pertanggung jawabkan. Berpikir logis memiliki kesamaan dengan berpikir konsisten. Konsistensi dan logika akan saling mempengaruhi pada alam pikiran manusia.[6] Adanya proses yang saling memberikan dukungan antara logika dan konsisten dimana nalar begitu diperlukan agar dapat mencapai kesimpulan sehingga situasi atau masalah terselesaikan dengan logika yang benar.[7] Pengelompokkan elemen secara logis dan konsisten haruslah sesuai dengan kriteria logika. Dengan mengidentifikasi pengukuran yang error atas penilaian para pakar melalui Pengukuran ini agar mengetahui logika inkosistensi penilaian. Berpikir dalam memusatkan perhatian pada satu titik agar masalah dapat terpecahkan dengan baik tentunya dalam proses berpikir secara logis.

Arif Rahman dalam bukunya menjelaskan bahwa berpikir logis memiliki tiga komponen yakni konsep dimana inti dari sebuah objek maupun kejadian dalam arti yang sangat luas berupa gambaran luas dari objek atau kejadian tersebut dengan rumusan rasa ingin tahu untuk lebih memahami akan suatu hal. Kemudian keputusan dikategorikan sebagai aksi seseorang dengan menyatakan untuk mengakui atau memungkiri suatu pernyataan ketika telah memahami dua hal itu setelah itu tercipta definisi. [7] Lain halnya dengan keputusan jika dikatakan telah memberikan putusan atau aksi dalam menyatakan pendapat meskipun itu berbeda dengan kata lain keputusan ini berdasar dari tindakan atau budi. Sikap merupakan bagian dari sistematisasi secara berkesinambungan terhadap motivasi, emosi, persepsi dan proses kognitif dengan menghargai berbagai aspek lingkungan. Sikap yang baik terlahir dari berpikir logis dan konsisten dalam mengatur tata laku kehidupan. Sikap juga memiliki komponen agar mampu merealisasikan kemampuan berpikir kritis karena dalam komponen itu terhadap kepercayaan, perasaan dan perilaku. Sikap merupakan bagian dari sistematisasi secara berkesinambungan terhadap motivasi, emosi, persepsi dan proses kognitif dengan menghargai berbagai aspek lingkungan. Sikap yang baik terlahir dari berpikir logis dan konsisten dalam mengatur tata laku kehidupan. Sikap juga memiliki komponen agar mampu merealisasikan kemampuan berpikir kritis karena dalam komponen itu terhadap kepercayaan, perasaan dan perilaku.

Asumsi

sunting

Untuk asumsi yang berkembang mengenai konsistensi dan logika bahwasanya kita perlu memisahkan dua kata konsistensi dan logika agar dapat memahami makna dari dua kalimat tersebut. Cholid Narbuko menjelaskan bahwa teori logika itu seperti ilmu pengetahuan yang menyangkut asas, aturan, hukum, urutan kedalam bentuk nalar individu yang dapat mengantar pikiran tersebut pada suatu kebenaran.[8] Sedangkan konsistensi yang diuraikan oleh Reza M. Syarif adalah memusatkan perhatian pada suatu bidang tertentu kemudian menyelesaikannya dan setelah itu berpindah pada bidang lain apabila pokok awal telah kukuh.[9] Dengan demikian konsistensi dan logika bisa dikatakan bentuk pemikiran manusia yang tetap fokus dan konsisten sehingga menciptakan pondasi yang kuat dalam memahami kebenaran ilmu pengetahuan tersebut. Dari asumsi yang dijelaskan tersebut bahwa logika dan pengetahuan itu suatu hal yang memiliki kesatuan yang utuh apabila tiap individu fokus untuk bernalar dengan memusatkan pikiran agar konsisten pada bidang yang ditekuni.

Asumsi konsistensi kognitif begitu menjelaskan mengenai manusia sebagai makhluk individu dengan pemahamannya akan makna hubungan dan struktur pengetahuan mereka. Beberapa pandangan umum yang berasumsi bahwa orang yang mencari konsistensi kognisinya lebih menekankan pada hubungan keseimbangan atau ketidakseimbangan antar individu. Sementara komponen afeksi lainnya saling behubungan dengan kognisi dimana seseorang akan berusaha konsisten dalam berlogika beserta afeksi tadi. Keyakinan atau pendirian individu mempengaruhi pengetahuan suatu fakta. Asumsi teori lainnya adalah berusaha bertahan melalui perilaku dan sikap yang nyata karena manusia pastinya akan dihadapkan pada suatu masalah atau konflik. Pengetahuan termasuk dalam hasil penalaran berpikir kritis berdasarkan logika. Konsep konsistensi dan logika juga pernah disinggung oleh Aristoteles melalui logika tradisionalnya. Beliau ini merupakan filsuf terkemuka di zamannya yang menempatkan konsistensi logika pada pemikiran logika tradisional. Logika Aristoteles mencakup tiga aspek yakni, konsep, proposisi, dan silogisme yang akan dijelaskan secara ringkas pada artikel ini. Konsep bagi Aristoteles lebih kepada pemikiran abstrak yang dinyatakan dalam isyarat maupun tanda-tanda tertentu atau bisa diartikulasikan dengan alat untuk berbicara dan kata-kata yang tertulis. Proposisi bagi Aristoteles digunakan untuk menyatakan kebenaran atau penyangkalan. Dalam proposisi ini kalimat demi kalimat dapat mengandung sifat benar dan salah. Lain pula dengan silogisme menurut bapak filsuf ini menggambarkan sebuah silogisme deduktif yang bermula dari menetapkan sesuatu kebenaran universal dan silogisme ini mempunyai pengaruh yang cukup kuat. Logika tradisional Aristoteles banyak digunakan di segala penjuru dunia dalam mengenal filsafat masa Yunani kuno. Disisi lain juga beragam tanggapan dari para filsuf-filsuf Islam dimana mereka ada yang menggunakan dan ada pula yang tidak menggunakan dengan membuat logika pemikiran Islam tersendiri.[10]

Dalam kaidah ilmu berpikir Mantiq pertama kali dirintis oleh Aristoteles kemudian berkembang dalam dunia Islam pada masa kejayaan dinasti Umayyah. Kemunculan logika ini di dalam Islam begitu mendapat banyak ragam tanggapan dari berbagai kalangan pemikir muslim. Dalam ilmu ini ternyata telah banyak menggunakan berbagai istilah dalam Islam seperti Pengukur akal, ilmu alat, dan pengukur ilmu. Ketiga tokoh muslim ternama yang memberikan istilah tersebut antara lain Al Farabi, Ibnu Sina dan Ali Al-Ghazali. Sementara ulama lain menyebutnya mantiq dengan cabang pemikiran dan ilmu tentang kaidah.[11] Sistematika dalam berpikir secara logis haruslah menguasai ilmu logika. Artiannya banyak kalangan memanfaatkan atau menggunakan metode ini tanpa menggunakan ilmu logika hanya memakai naluri sebagai seorang manusia. Logika sebagai ilmu yang telah memenuhi berbagai syarat baik itu dari segi ilmiah dan metode serta obyeknya sejak zaman plato. Indikasinya ditemukan pada ungkapan Aristoteles yang telah menyinggung tentang silogisme logika dari para filsuf pendahulu dalam bentuk global. Aristoteles pun secara umum tidak pernah menyebut kata-kata “logika” dalam buku-bukunya, ia menyebutnya dengan analisis untuk menyelidiki sudut pandang yang bertitik tolak dari putusan yang benar, kemudian dialektik untuk menyelidiki sudut pandang lain yang bertitik tolak dari hipotesis yang tidak pasti kebenarannya.Teori logika mulai menjadi suatu ilmu yang lebih sistematis dengan lengkap terperinci sehingga tidak heran jika Aristoteles disematkan sebagai bapak logika.[10]

Lain halnya dengan sebuah klaim yang dibuat oleh Fisher dimana konsistensi logis dinilai gagal. Hasil karya Fisher didasarkan pada konsep dimana manusia sebagai pencerita atau lebih dikenal dengan teori naratif. Teori ini dikembangkan oleh Walter Fisher yang meyebutkan adanya sebuah keyakinan beliau bahwa manusia itu seorang pencerita dan dengan pertimbangan ini akan mempengaruhi nilai, emosi dan estetika menjadi dasar dan perilaku. Kemudian Robert Roeland ikut berpendapat bahwa adanya sebuah ide pada masyarakat sebagai pencerita yang telah diadopsi oleh banyak mata pelajaran di sekolah karena ketertarikan sebuah narasi. Kedua ahli ini mengasumsikan bahwa narasi manusia itu dipengaruhi oleh logika dan konsistensinya terhadap data empirik atau ilmu pengetahuan.[5]

Konsep Dasar

sunting

Sikap Konsistensi seseorang berpengaruh pada perilaku setiap orang atau individu tersebut dimana konsistensi dimengerti sebagai kesesuaian antara perkataan dan tindakan. Dalam berpikir kritis dan logis konsistensi juga sangat dibutuhkan agar terjadi kesesuaian antara berpkir kritis dan logis dan tindakan serta perkataan. Sesuatu hal diyakini kemudian dikemukakan harus berbarengan dengan logika sehingga akan terlihat akurat dan memiliki kebenaran argumentasi sesuai sudut pandangnya. Konsistensi begitu penting dalam ilmu filsafat karena konsistensi merupakan koherensi atau teori kebenaran. Logika begitu bijak apabila konsistensi logis menjadi bagian yang tak terpisahkan.[12]

Dalam menjalani aktivitas dan kehidupan keseharian kita tentu akan berhadapan langsung dengan kehidupan sosial yang memiliki banyak pilihan untuk diambil. Pengambilan keputusan tidak segampang dari kita untuk membayangkan perlu langkah yang bijak agar konsekuensi logis yang diterima mendapat pembenaran dan tidak mengada-ada. Penalaran sebagai proses berpikir untuk mencapai kesimpulan yang menjadi bagian dari konsistensi (logika) kesimpulan tersebut berupa kognitif. Menalar berarti menghasilkan pengetahuan yang mempunyai karakteristik dalam menemukan kebenaran. Pusat dari logika tentunya gagasan yang menyangkut kebenaran logis.[13]

Dijelaskan sebelumnya konsistensi dalam ilmu logika semantik dengan semantik yang lainnya dan tidak mengandung kontradiksi. Berpikir logis serta konsisten akan pemikiran tersebut merupakan karakteristik yang perlu dibangun agar tercipta pemodelan cara berpikir yang baik. Setiao orang sesuai dengan pemahamannya dan pengetahuan individu tersebut. Selain memiliki karakteristik berpikir logis haruslah memiliki tata aturan yang harus dipenuhi setiap individu untuk dapat berpikir rasional dan benar. Kebenaran yang logis sering dipahami dalam suatu proposisi secara analitis jika kebenaran itu hanya berkisar pada istilah-istilah penyusunannya.[14]

Kemampuan menalar yang dimiliki oleh setiap individu dalam mengembangkan ilmu pengetahuan tidak dapat diragukan lagi. Harfiahnya tiap-tiap individu dilahirkan ke muka bumi dibekali dengan akal untuk menalar dalam mengungkapkan mana yang jahat dan mana pula yang baik. Tiap individu juga diwajibkan untuk menuntu ilmu agar pengetahuan jauh lebih maju dan berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Kemampuan manusia dalam mengembangkan pengetahuan disebabkan oleh dua faktor antara lain:[14]

  • Dengan penalaran manusia telah mampu untuk berkembang dan mengembangkan ilmu pengetahuan karena berpikir dalam menalar ialah salah satu kemampuan berpikir logis dalam acuan berpikir tertentu.
  • Dengan bahasa manusia mampu mengkomunikasikan berbagai informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi itu.

Dalam sebuah logika bahwasanya kebenaran bisa terlihat sebagai bentuk properti dari proposisi atau kalimat. Logika memainkan peran yang sering didefinisikan dalam istilah berbarengan dengan validitas dalam kebenaran. Sifat kebenaran diuraikan secara detail dalam teorinya lalu korespondensi mengambil tempat untuk mewakili hal-hal sebagaimana adanya. Mengidentifikasikan kebenaran diperlukan koherensi dari proposisi yang saling memberikan dukungan. Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran untuk mengetahua jawaban dari pengetahuan itu sendiri. Para pemikir pun telah menggunakan tiga macam cara untuk menguji kebenaran yaitu dengan menggunakan teori korespondesi, koherensi dan pragmatik. Adapun teori-teori tersebut adalah[15]

  • Teori koherensi sama dengan teori kebenaran sesuai dengan kriteria koheren atau konsistensi. Pengujian kebenaran pada teori ini didapatkan pada pernyataan dan pengetahuan yang tidak di uji melalui korespondensi. Teori kebenaran atau konsisten ini telah dipastikan teruji kebenarannya.
  • Teori pragmatik adalah sebuah teori yang memandang bahwa arti dan ide yang telah dibatasi oleh konsekuensi ilmiah. Teori ini dilihat dari tolak ukur kegunaan. Seorang pragmatis akan tahu sebuah kebenaran jika suatu pernyataan diukur dengan kriteria sebuah pernyataan bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Kesimpulannya adalah teori ini memiliki kriteria pengetahuan dan memiliki kegunaan praktis. Contoh seorang penggagas sebuah ide untuk menciptakan desa swaswembada melalui forum masyarakat desa yang diberikan waktu oleh moderator untuk mengemukakan pendapatnya dan semua peserta rapat menyetujui dan memulai untuk mengaplikasikan langkah awal dari ide tersebut sehingga pihak lain megerjakan tugas agar desa menjadi desa swasembada. Ketika semua telah direalisasikan maka masyarakat mendapat guna dan manfaat dari desa swasembada itu.
  • Teori koresponden merupakan segala materi pengetahuan yang mengandung cakupan ilmu memiliki hubungan korespondensi sesuai dengan objek yang dituju. Teori koresponden cenderung ke logika induktif dengan metode dalam berpikir dan bertolak dari hal-hal yang khusus karena berdasar fakta yang mendukung.

Perkembangan teori ini dimulai pada abad ke-19 dibawah pengaruh dan pengikut mazhab idealism. Selain dari beberapa keterangan tersebut tentunya teori ini juga memiliki kelemahan dalam dua permasalahannya seperti :[15]

  • Pernyataan yang tidak saling berhubung, dimana pernyataannya masih belum mengarah pada kebenaran. Tetapi pernyataannya belum termauk dalam pembuktian kebenaran contohnya antara pernyataan keponakanku yang nakal mengganggu saya yang lagi beristirahat dan Binatang Peliharaanku Menganggu saya yang lagi beristirahat.
  • Pengecekan setiap Pernyataan yang memiliki hubungan dengan kenyataan. Dari sini kita juga tidak mampu mengecek sis kebenaran koherensi tersebut.

Masalah itu terlahir dari sebuah pertentangan keyakinan, moral dan ketidaksanggupan untuk mengecek pernyataan yang dilontarkan oleh berbagai pihak dalam keadaan tertentu. Suatu proposisi benar kemudian tergantung pada hubungan dan praktiknya. Sesuatu hal yang benar-benar diyakini itu berguna apabila merupakan sebuah hasil yang ideal dari sebuah penyelidikan tanpa akhir dan harus memenuhi standar ketegasan yang terjamin.

Ada pula kebenaran non ilmiah berdasarkan penalaran logika bersifat ilmiah diantaranya kebenaran secara kebetulan, karena akal sehat, kebenaran agama wahyu, intuitif, sepkulasi dan lain sebagainya. Kemudian teori tentang kebenaran dimana kita melihat sebagai sebuah gagasan yang kosong dan tidak memiliki sifat menarik. Kebenaran itu begitu diperoleh melalui pemikiran yang luas akan sesuatu yang ada maupun tak ada. Penemuan dan pengujian dari kebenaran dibagi kedalam madzab seperti realisme, naturalisme, positivisme dan lain sebagainya.[16] Para pemikir Islam ketika berlogika pastinya memperhatikan kejelasan dan konsistensi yang tidak dapat dipisahkan dari Sang Khalik. Bisa dikatakan transedental keilaihan lebih terfokus dan terarah selain dari imanent kultural. Pemikir islam sangat gemar mendalami mantiq tetapi harus sesuai dengan rambu dan kaidah agama yang sudah ditetapkan. Pemikir tersebut menyadari eksistensi keberadaan Tuhan sebagai inti dari semua wujud.[17]

Konsistensi dan Logika Pada Ilmu Pengetahuan

sunting

Ilmu sains atau ilmu pengetahuan adalah segala usaha sadar dalam menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan sebuah pemahaman dari berbagai segi kenyataan. Ilmu juga merangkum sekumpulan pengetahuan atas dasar teori-teori yang disepakati dan di dapatkan secara sistematis melalui pengkajian oleh seperangkat metode ilmu yang telah diakui.[18] Sejatinya prinsip dari ilmu pengetahuan memiliki perbedaan seperti yang telah dijelaskan bahwa pengetahuan itu segala pembentukan pemikiran assosiatif dalam menjalin pemikiran dengan aspek pemikiran lainnya. Berdasarkan hal tersebut pemahaman pengetahuan lebih kepada hubungan kausalitas hakiki dan universal. Fakta, teori, konsep dan fenomena merupakan bagian komponen dalam membangun ilmu pengetahuan. Konsep lebih terhubung pada fenomena karena gejala atau kejadian oleh panca indera diabstraksikan dengan berbagai konsep kemudian fakta yang didapatkan secara empirik.[19] Sumber ilmu pengetahuan itu berasal dari fenomena dan fakta data kemudian dianalisis menggunakan nalar sehingga konsistensi logika terbentuk.

Salah satu filosof yang cukup kuat dalam menyesuaikan perkembangan filsafat ilmu pengetahuan modern yang berkembang saat ini adalah Francis Bacon. Bentuk pemikiran dasar beliau mulai merekonstruksi ilmu pengetahuan di abad 20 M. Filsafat yang diperkenalkan oleh Bacon seperti positivism logical dimana pemikiran ini adalah bentuk ekstrem dari empirik yang berpandangan bahwa suatu teori tidak hanya dibenarkan sejauh ia dapat dibuktikan dengan fakta-fakta yang diperoleh melalui observasi tetapi juga dipertimbangkan mempunyai makna. Penjelasan filsafat ini lebih kepada penjelasan tiap individu memahami alam, berkonsultasi dengan alam dan bukan dengan tulisan Aristoteles.[20]

Proses kegiatan berpikir yang memiliki tujuan dalam memperoleh pengetahuan yang jelas untuk memahami ilmu pengetahuan karena dalam pengetahuan memiliki ikatan dengan kebenaran tentang apa yang dipikirkan dan diteliti. Pertumbuhan ilmu pengetahuan secara evolutif diartikan sebagai pertumbuhan yang berlangsung lama. Pengaruh dinamika keilmuan begitu mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan.[21] Evolusi dari pengetahuan berlangsung secara terus menerus dan bergerak simultan oleh berbagai temuan-temuan baru berdasar pada data dan penemuan baru. Penemuan teori-teori baru di dasari oleh kontruksi keilmuan yang didapatkan dalam problem kehidupan sehari-hari. Berpikir logis pada bidang keilmuan agar dapat menghasilkan penemuan-penemuan teori baru dimana perkembangan ilmu pengetahuan sangat dinamis dari waktu ke waktu berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah diperbaharui.[20]

Ilmu pengetahuan diperoleh dari berbagai konstruksi sistematis dari sebuah cara berpikir dengan didukung oleh penelitian yang menggunakan metode rasional yang bisa dipertanggungjawabkan. Pengetahuan ini dirumuskan sesuai dengan kenyataan yang telah terungkap oleh para peneliti. Pengetahuan yang di peroleh dari cara berpikir kemudian dirumuskan dan tersusun sebagai hasil dari proses berpikir yang spekulatif disebut filsafat.[22]

Rujukan

sunting
  1. ^ "Konsistensi Logika". www.konsistensi logika. info. Diakses tanggal 9/12/2021. 
  2. ^ Hidayat, Ainur (2018). Filsafat Berpikir (PDF). Pamekasan: Duta Media. hlm. 3. ISBN 978-602-6546-55-5. 
  3. ^ Syafrini, Nora (2019). "Kebenaran dalam Ilmu" (PDF). Skripsi: 3–5. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2018-08-26. Diakses tanggal 2021-12-14. 
  4. ^ "Pengertian Konsistensi". kbbi.kemdikbud.go.id. 2016. Diakses tanggal 9/12/2021. 
  5. ^ a b Tjandra, Elvi (2013-1-2). "Hubungan antara Komponen Kognitif, Komponen Afektif dan Komponen Perilaku Terhadap Sikap Konsumen Memanfaatkan Teknologi Internet" (PDF). Manajemen. XVII: 43–44.  Analisis Kritik Sosial Dalam Cerpen Bocah Berseragam biru. http://digilib.mercubuana.ac.id/manager/t!@file_artikel_abstrak/Isi_Artikel_359518765570.pdf
  6. ^ Rohman, Arif. "Naskah Buku Epistemologi dan Logika Pendidikan" (PDF). Pendidikan: 140. 
  7. ^ a b Maulani, Gilang (1 Februari 2021). "Berpikir Sistematis dan cara melatih logika". www.qubisa.com. Diakses tanggal 12/11/2021. 
  8. ^ "Pengertian Logika Menurut Para Ahli". www.trigonalmedia.com. Diakses tanggal 12/12/2021. 
  9. ^ S.M, Mutawakkil. "Konsisten". www.penaindo.com. Diakses tanggal 15/12/2021. 
  10. ^ a b Purwanto, Muhammad (2019). Ilmu Mantiq (PDF). Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia. hlm. 55. ISBN 978-602-450-360-4. 
  11. ^ Munib, Abdul; Atnawi (2020/Juli). "Dinamika Pesantren dan Logika". Pendidikan dan Pemikiran Keislaman. 2: 114. 
  12. ^ "Kajian Peran Konsistensi Diri Terhadap Prestasi Belajar Matematika" (PDF). Formatif 3: 99. 2015. 
  13. ^ Darmawan, Aditya (9 Oktober 2020). "Syarat Berpikir Logis dan Komponen-Komponen Dasarnya". www.tirto.id. Diakses tanggal 14/12/2021. 
  14. ^ a b "Konsep Dasar Berpikir :Sebuah Pengantar Ilmiah" (PDF). Makalah Akademik: 3–4. 2007. 
  15. ^ a b Arwanda, Muhammad (2 April 2021). "Koherensi dan Pragmatik". pusaranmedia.com. Diakses tanggal 14/12/2021. 
  16. ^ Wahono, Romi (20 Februari 2007). "Hakekat Kebenaran". www.romisatriawahono.net. Diakses tanggal 15/12/2021. 
  17. ^ Nasrul, Erdy (25 Januari 2018). "Ciri Khas Sains Islam". Republika. Diakses tanggal 15/12/2021. 
  18. ^ Dawaty, Syafni (19 November 2020). "Ilmu Pengetahuan". www.raharja.ac.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-04-12. Diakses tanggal 12/12/2021. 
  19. ^ Firman, Firman (2003). "Ilmu Pengetahuan, Teori dan Penelitian". osf.io. Diakses tanggal 12/12/2021. 
  20. ^ a b Kusmanto, Thohir Yuli (2014). "Rekonstruksi Paradigma Ilmu Pengetahuan Untuk Keberlanjutan Ekologis" (PDF). Sosiologi Reflektif. 1: 167. 
  21. ^ Wahana, Paulus (2008). "Menguak Kebenaran Ilmu Pengetahuan Dan Aplikasinya" (PDF). Filsafat: 274. 
  22. ^ Sunarto, Bambang (2015). "Bangunan Ilmu" (PDF). Makalah. Institute Seni Indonesia Surakarta: 1–2.